Di tepi Hutan Perak, pemuda desa bernama Liang Feng tanpa sengaja melepaskan Tianlong Mark yang merupakan tanda darah naga Kuno, ketika ia menyelamatkan roh rubah sakti bernama Bai Xue. Bersama, mereka dihadapkan pada ancaman bangkitnya Gerbang Utama, celah yang menghubungkan dunia manusia dan alam roh.
Dibimbing oleh sang bijak Nenek Li, Liang Feng dan Bai Xue menapaki perjalanan berbahaya seperti menetralkan Cawan Arus Roh di Celah Pertapa, mendaki lereng curam ke reruntuhan Kuil Naga, dan berjuang melawan roh "Koru" yang menghalangi segel suci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hinjeki No Yuri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bai Xue Menebar Aura Peraknya untuk Menuntun Rombongan
Kabut Lembah semakin pekat saat rombongan menuruni jalur batu retak. Langkah mereka tertahan oleh udara dingin berembun, hingga tiap tarikan napas meninggalkan jejak uap di depan wajah. Di depan, lereng lembah menjulang curam, terpahat akar dan lumut tebal yang licin tertimpa tetesan kabut. Liang Feng berdiri di samping gerbang batu ketiga, menatap ke depan.
“Kita sudah melewati Reruntuhan Batu Naga.” gumamnya. “Sekarang saatnya… menerobos Lembah Kabut.” Ia menarik ujung kerah jubahnya dan menatap Bai Xue.
Bai Xue menunduk hormat, moncongnya mengisyaratkan kesiapan. “Aku akan menebar aura perakku.” desisnya lembut. “Ikuti jejak cahaya dan kabut takkan menyesatkanmu.”
Langkah pertama mereka menapaki tanah basah, di mana kabut merayap mengikuti pijakan. Bai Xue melompat ke atas batu mendatar, ekor peraknya melingkar, memancarkan aura perak redup, seperti lentera hidup berdetak samar. Cahaya itu menyibak kabut, menyingkap jejak jalur berlumut.
Di bawah sinar aura, akar dan batu tampak lebih kontras, rintangan tersembunyi pun terkuak. Wei Xin menoleh ke Liang Feng dengan mata terpesona. “Kelihatannya… aku bisa melihat jalan lebih jelas.” ujarnya pelan.
Lin Hua mencatat dengan saksama “Aura Bai Xue berfungsi sebagai pemandu, mengarahkan kita kearah jalur yang tepat melalui kabut.”
Liang Feng mengangguk. “Ikuti saja ke mana cahayanya memimpin.” Ia mengambil napas, lalu melangkah di belakang Bai Xue, dengan pedang naga terhunus hanya sekadar untuk berjaga-jaga.
Setelah beberapa puluh langkah, kabut menggulung kembali, merahasiakan pemandangan lembah. Desiran angin berhembus, menimbulkan alunan bisikan samar-samar seperti seruan roh yang menggoda.
Seorang relawan, Jia Ming, terhenti. “Aku mendengar suara… memanggil namaku.” Suaranya bergetar. “Ada yang mengusikku dari kabut.”
Bai Xue menoleh, aura peraknya berdenyut lebih terang. “Jangan hiraukan panggilan itu,” desisnya. “Ambil satu langkah ke depan dan biarkan cahayaku yang menuntun.”
Liang Feng melangkah ke depan, menepuk pundak Jia Ming. “Jangan takut. Jika kau mendengar bisikan, tatap cahaya perak, maka itulah jalannya.”
Mereka lalu bergerak bersama, menaati cahaya lembut. Bisikan kian memudar, hingga kabut lembah hanya menjadi latar putih yang senyap.
Saat kabut mereda sedikit, rombongan tiba di dataran rendah, yaitu sebuah lapangan sempit penuh bebatuan halus, di tengahnya berdiri tiga tiang batu tanpa pahatan. Angin malam membawa aroma tanah basah. Liang Feng menurunkan pandang ke tiang.
“Inilah Lembah Kekosongan.” desaknya, menirukan nama yang disebut Nenek Li. “Roh-roh di sini pernah terkubur, tetapi kabut mempermainkan memori mereka. Mari cepat lewatkan.”
Bai Xue menelan napasnya, lalu menggelengkan kepala. Aura peraknya memancar lebih luas, menciptakan lingkaran cahaya di sekeliling lapangan. Tiang batu bergetar, kabut di dekatnya terpecah, memperlihatkan jalur batu terajam.
Lin Hua menyambar pena. “Lembah Kekosongan dengan ujian memori. Jika kita terjebak kenangan lama, kita bisa kehilangan arah.” Ia memandang kearah rombongan. “Pastikan kita terus di sinar perak Bai Xue.”
Ketika mereka menapaki jalur sempit, kabut putih menyeruak, lalu membentuk bayangan samar-samar di diri mereka masing-masing. Liang Feng melihat seorang bocah kecil menatapnya, wajahnya persis bayangan dirinya saat pertama kali menemukan Bai Xue di tepi hutan. “Feng…” suara lembut memanggilnya.
Bayangan itu menepuk pundak Liang Feng, menghembuskan sepoi kangen. Hatinya berdegup. Ia hampir menoleh, namun cepat-cepat menegakkan kaki. “Tidak…” gumamnya pelan. Ia menatap cahaya perak di atas kepala Bai Xue. “Bai Xue, aku tak boleh tergoda.”
Bai Xue menyalurkan aura lebih kuat. “Ingat ikatan kita, jalur yang tepat berada di depan.”
Dengan satu hembusan napas, kabut itu pecah lalu bayangan anak itu lenyap seperti embun pagi. Liang Feng menghela napas lega, melangkah lebih cepat. Di belakangnya, relawan juga menahan langkahnya, melawan dorongan memori tentang rumah desa, Nenek Li, bahkan bayangan Shen Wu muncul sekejap, lalu sirna oleh cahaya Bai Xue.
Setelah menembus Lembah Kekosongan, mereka tiba di jurang sempit yang di bawahnya sungai deras mengalir tergerus oleh batu. Dua tali terentang di antara tebing, jembatan bambu usang, plang kayu berbahasa kuno bergoyang pelan. “Jembatan Gantung…” Liang Feng menarik nafas panjang. “Ini akan menguji keberanian kita.”
Wei Xin menggenggam tongkat sakti. “Aku akan di depan, untuk menguji tali.” Ia melangkah, setiap pijakan bambu mengerang. Kawanan relawan menahan napas, menunggu.
Bai Xue mendarat di batang bambu terdepan, aura peraknya menciptakan lingkar perlindungan di atas tali. “Ikuti aku perlahan,” bisiknya.
Satu per satu, mereka meniti jembatan dengan Liang Feng berada di paling terakhir. Saat ia menjejak tali terakhir, kabut di bawah menggulung, menimbulkan gaung suara sungai. Pedang naga terhunus, ia menegakkan diri, lalu menyeberang dengan mantap. Di sisi lain, dahan-dahan rapuh, namun menuntun mereka ke tanah yang aman.
Di sisi lembah yang lain, tegak pintu batu sederhana yang merupakan Pos Bayangan, tanda perhentian sebelum menghadapi lereng curam. Batu-batu murahan menumpuk, memberi nuansa pos terabaikan. Di atasnya, ukiran tiga siluet yaitu manusia, naga dan rubah yang menjadi simbol persahabatan.
Nenek Li berdiri di depan, memegang kendi kecil air embun. “Selamat tiba di Pos Bayangan. Istirahat sejenak dan minum air ini, lalu kita susun strategi untuk lereng berikutnya.”
Mereka duduk di batu pipih, meneguk air embun dingin. Rasa kesegaran mengalir, memulihkan tenaga lelah. Lin Hua menggigil dan tengah menggambar peta lapangan. “Pos Bayangan yaitu titik pertemuan roh dan manusia. Sangat cocok untuk persiapan mental.”
Bai Xue mengepak lembut, aura peraknya memeluk para relawan. “Kalian semua hebat. Kita telah melewati dua pos besar.”
Saat semua beristirahat, suasana jadi hangat. Wei Xin menyendok kacang edelweiss dari kantongnya, lalu menawarkannya ke Liang Feng. “Feng-san, terima kasih sudah memimpin. Aku belajar banyak hari ini.”
Liang Feng tersenyum lembut. “Aku juga belajar dari kalian. Tanpa keberanian kalian, aku harus berjuang sendiri.”
Lin Hua membuka bukunya. “Aku menulis kisah pertama soal Lembah Kabut. Nanti bisa dibagikan kepada warga desa.” Ia menoleh ke Bai Xue. “Bagaimana rasanya membimbing kami?”
Bai Xue memancarkan aura perak hangat. “Menggetarkan, tapi senang. Kita bisa saling menjaga satu sama lain.”
Ketika helai kabut mulai menipis, Nenek Li berdiri. “Kita lanjut ke Pos Bayangan untuk bermalam. Namun lereng di depan… lebih curam. Bersiaplah dengan ramuan penahan dingin dan tali pengaman.”
Liang Feng berdiri, menebar pedang naga di udara. “Baik. Kita kumpulkan perlengkapan, kemudian maju ke lereng. Demi Puncak Perak.”
Rombongan menyiapkan tali, menempelkan klip pengaman pada ikat pinggang. Wei Xin memeriksa setiap simpul. Lin Hua menancapkan kompas di jaket. Bai Xue mengepak perlahan, menebar aura peraknya ke lereng curam yang membayangi di kejauhan.
“Besok fajar.” desis Bai Xue. “Kita akan lebih dekat dengan Puncak Perak.”
Liang Feng mengangguk mantap. “Hari ini kita belajar menguasai Tianlong Mark dan menembus kabut. Besok, kita buktikan keberanian di lereng terjal.”