Alya adalah gadis mandiri yang bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta. Hidupnya sederhana namun bahagia, hingga suatu hari ia harus menghadapi kenyataan pahit, ayahnya terlilit utang besar kepada seorang pengusaha kaya, Dimas Ardiansyah. Untuk melunasi utang itu, Dimas menawarkan satu-satunya jalan keluar—Alya harus menikah dengannya. Masalahnya, Dimas sudah memiliki istri.
Dengan hati yang terpaksa dan demi menyelamatkan keluarganya, Alya menyetujui pernikahan itu dan menjadi madu. Ia masuk ke dalam kehidupan rumah tangga yang dingin, penuh rahasia, dan ketegangan. Istri pertama Dimas, Karin, wanita anggun namun penuh siasat, tidak tinggal diam. Ia menganggap Alya sebagai ancaman yang harus disingkirkan.
Namun di balik sikap dingin dan keras Dimas, Alya mulai melihat sisi lain dari pria itu—luka masa lalu, kesepian yang dalam, dan cinta yang belum sempat tumbuh. Di tengah konflik rumah tangga yang rumit, kebencian yang mengakar, dan rahasia besar dari masa lalu,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 19
Pagi itu hujan mengguyur Jogja tanpa kompromi. Alya menatap keluar jendela kafenya yang masih sepi. Tetes air di balik kaca seolah menyuarakan isi hatinya — sendu, tapi tak bisa lagi basah oleh air mata.
Lalu Rey datang. Lagi.
Dengan mata lelah, wajah yang tak lagi serapi dulu, dan suara yang nyaris pecah.
“Alya… aku mohon. Jangan tutup pintumu sepenuhnya.”
Alya berdiri dari balik meja, menatapnya dengan dingin. Bukan karena benci. Tapi karena luka lama tak boleh dibuka paksa.
"Rey kamu datang lagi dari Jakarta?"
Rey menganggukkan kepalanya. "Ayla kita harus bicara."
Ayla menghela nafasnya. “Rey, berapa kali aku harus bilang? Kita sudah selesai.”
“Aku tahu aku salah! Tapi aku berubah, Alya. Aku bukan lelaki pengecut itu lagi. Aku tahu aku hancurkan kamu waktu itu. Tapi beri aku kesempatan buat memperbaiki semuanya.”
Alya menarik napas dalam.
“Kamu tahu kenapa aku tidak bisa kembali? Karena saat aku butuh kamu, kamu memilih pergi. Dan sekarang saat aku sudah belajar berjalan sendiri… kamu datang dengan harapan seolah-olah semua bisa diulang.”
“Karena aku masih mencintaimu, Alya!” bentak Rey, suaranya nyaris putus.
“Sayangnya, cintamu datang terlambat.”
Rey jatuh berlutut. Hujan mengguyur jaketnya yang basah. Orang-orang mulai memperhatikan, tapi Alya hanya berdiri terpaku.
“Aku nggak punya siapa-siapa lagi, Alya… Aira butuh kamu, aku butuh kamu…”
“Kamu punya anak Rey, kamu harus menjadi ayah yang kuat, Rey. Bukan ayah yang menggantungkan hidupnya pada orang yang sudah tak ingin bersamanya.”
Rey menggelengkan kepalanya. Ia masih kekeuh ingin meminta Ayla kembali padanya. "Ayla, aku mohon... Kembali lah bersama ku. Aku mencintaimu."
"Rey, maaf. Tapi aku tidak bisa." Ayla menutup pintu itu, dan membiarkan suara teriakan Rey menggema di depan rumah.
Beberapa hari kemudian, Rey kembali mengirim pesan. Panjang. Putus asa.
“Alya, kamu boleh membenciku, tapi jangan pura-pura tidak pernah ada kita. Aku mungkin pernah gagal jadi suami, tapi aku masih ingin jadi seseorang yang melindungi-mu, meski dari jauh. Kalau kamu butuh apa pun… aku akan datang. Bahkan kalau kamu menikah lagi, aku akan tetap di belakangmu. Karena kamu adalah rumah yang tak pernah bisa ku huni lagi.”
Alya membaca pesan itu… lalu menghapusnya.
Ia tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya, ia tidak merasa bersalah karena menolak Rey. Karena kini ia tahu, menjaga diri sendiri adalah bentuk cinta yang paling jujur.
Cinta Rey sudah tak bisa membalikkan waktu. Tapi dari ketulusannya, Alya belajar bahwa melepaskan juga butuh keberanian. DanAlya akhirnya menemukan ruang baru untuk bernapas — bukan untuk jatuh cinta, tapi untuk pulih.
*
Hujan baru saja reda. Sisa embun masih menggantung di jendela ketika Alya membuka gorden rumah kecilnya. Hari tampak biasa, tapi di dalam hatinya, badai justru baru mulai.
Pagi itu, Rey datang.
Bukan hanya dengan wajah lelah, tapi dengan mata penuh tekad. Ia duduk di ruang tamu, menatap Alya seolah ingin menembus tembok yang selama ini membatasi mereka.
“Aku nggak akan mundur, Alya. Aku masih mau jadi suamimu.”
Alya menatapnya tajam, menahan napas.
“Kita sudah tidak punya ikatan apa-apa lagi, Rey. Sudah lama.”
“Tapi aku belum pernah berhenti mencintaimu.”
Alya terdiam. Kata-kata Rey itu menusuk lebih dalam dari yang ia bayangkan. Cinta? Apa itu cukup? Bukankah dulu, cinta yang sama juga pernah membuatnya terluka nyaris mati rasa?
“Kamu bilang cinta. Tapi dulu saat aku menangis, kamu memilih pergi. Saat aku memohon, kamu diam. Dan sekarang saat aku belajar bahagia sendirian, kamu datang membawa cinta yang kamu biarkan mati dulu.”
“Aku salah, Alya. Aku pengecut. Tapi sekarang aku mau memperbaiki semuanya.”
“Dengan apa, Rey? Dengan janji baru yang bisa kamu lupakan saat lelah?”
Hening.
Rey mengepalkan tangannya.
“Aku nggak bisa bayangin kamu dengan lelaki lain. Aku tahu kamu dekat sama Fahri sekarang. Tapi…”
“Aku sama Fahri cuman teman, Rey.. Dan dia satu-satunya orang yang nggak memaksa aku kembali ke masa lalu.”
Rey menunduk. Ia terlalu lama hidup dengan egonya, sampai lupa bahwa Alya adalah manusia, bukan patung kesabaran.
Konflik batin Alya makin parah malam itu.
Ia duduk sendiri di ruang tengah, menatap surat-surat lama yang ditulis Dimas — suami yang dulu ia nikahi karena keadaan, tapi pergi dengan diam-diam membawa rasa bersalah besar.
“Jika suatu hari kamu mencintai orang lain, pastikan kamu melakukannya karena kamu bebas memilih… bukan karena kamu merasa harus menebus apa yang pernah terjadi di antara kita.”
Alya menangis. Ia tidak tahu apakah menolak Rey adalah keputusan paling bijak, atau sekadar bentuk trauma yang belum sembuh.
Esoknya, Fahri datang membawakan roti dari toko favorit mereka.
“Kak, kamu kelihatan capek.”
“Rey bilang dia masih mau jadi suamiku.”
Fahri menatap kosong, lalu duduk di samping Alya.
“Apa kamu masih mencintainya?”
Alya tak langsung menjawab. Ia hanya menatap keluar jendela.
“Mungkin aku masih menyimpan cinta. Tapi bukan cinta yang cukup untuk membangun rumah kembali. Mungkin hanya sisa luka yang belum benar-benar sembuh.”
Dan entah mengapa hati Fahri seperti di remas mendengar kejujuran Ayla.
Sore itu, Rey kembali mengirim pesan.
“Kalau kamu nggak bisa langsung terima aku lagi, setidaknya izinkan aku menunggu. Aku akan terus berjuang, sampai kamu percaya bahwa aku bisa jadi imam yang kamu butuhkan. Aku ingin menua bersamamu, Alya… bukan cuma menebus masa lalu.”
Alya membaca pesan itu lama. Lalu ia mematikan ponselnya, dan menyandarkan kepala di bahu Fahri..
“Kenapa cinta bisa datang saat semuanya sudah hancur?”
Fahri tersenyum lemah.
“Karena kadang manusia baru sadar siapa yang paling berarti… setelah kehilangan jadi nyata.”