Pertemuan antara Yohanes dan Silla, seorang gadis muslimah yang taat membawa keduanya pada pertemanan berbeda keyakinan.
Namun, dibalik pertemanan itu, Yohanes yakin Tuhan telah membuat satu tujuan indah. Perkenalannya dengan Sila, membawa sebuah pandangan baru terhadap hidupnya.
Bisakah pertemanan itu bertahan tanpa ada perasaan lain yang mengikuti? Akankah perbedaan keyakinan itu membuat mereka terpesona dengan keindahan perbedaan yang ada?
Tulisan bersifat hiburan universal ya, MOHON BIJAK saat membacanya✌️. Jika ada kesamaan nama tokoh, peristiwa, dan beberapa annu merupakan ketidaksengajaan yang dianggap sengaja🥴✌️.
Semoga Semua Berbahagia.
---YoshuaSatio---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mini itu menggemaskan
Silla mulai terlihat khawatir, sebentar-sebentar ia melirik jam yang tertempel di dinding tak jauh dari tempatnya berdiri.
Kaki dan tangannya mulai terasa kebas, pasalnya seharian ini Silla banyak berdiri atau mondar-mandir untuk mengejar penyelesaian target.
Angin malam semakin terasa dingin dan menusuk, padahal pintu sudah tertutup rapat.
“Duh, tenggorokan mulai protes nih ….” batin Silla merasakan kering di kerongkongannya. “Manusia itu kok nggak punya rasa capek merhatiin orang kerja, bantuin kek daripada cuma mainan ponsel, dasar pelit!” lanjutnya menggerutu dalam hati.
Yohan menarik napas, lalu melihat pada jam tangannya. “Gimana? Masih tahan kesombongannya?!” tanyanya dengan senyum licik terkembang di sudut bibir.
Silla memejamkan mata beberapa detik, lalu mengatur napas, tak ingin membiarkan dirinya kembali jatuh lebih dalam hanya karena jawaban spontan dan jujurnya yang justru semakin memperpanjang perdebatan.
"Tenang Silla tenang, tarik nafas, hembuskan, tarik lagi, hembuskan, tarik lagi ... habis ini kita jajan!” serunya membatin menyemangati dirinya sendiri. “Jangan kebakar sekarang, ini pabrik yang banyak barang mudah di lahap api asmara, eh api amarah. Xixixix ….”
“Pak Yohan … minta tolong tetap tenang jangan membuat fokus orang pecah!” Entah kenapa sekeras apapun ia berusaha, Silla tetap tak bisa menahan diri untuk tak membalas pertanyaan Yohan yang lebih terdengar seperti ejekan.
“Dah nggak usah banyak protes, selesaikan perlahan! jam enam pagi harus kelar!” tegas Yohan semakin tak memiliki pengampunan. “Berani mundur semenit saja, nggak ada pelunasan, dan kamu yang harus bayar penalti keterlambatan. Jangan memohon, air mata nggak bisa mengganti kerugian dan kepercayaanku. Waktu ku habis buat nungguin kicauanmu.”
Kalimat datar, yang diucapkan tanpa penekanan itu, begitu mulus meluncur dari mulut Yohan. Dalam hati ia hanya menunggu Silla mengakui kesalahannya dan meminta maaf untuk semua sikapnya.
Namun Silla tetaplah Silla dengan caranya. Bahkan gertakan Yohan tak membuatnya mundur. Silla kembali menyahut ucapan Yohan semaunya sendiri.
"Gak ada juga yang nyuruh kamu nunggu di sini, kalo mau pulang, pulang aja, gue jamin besok tinggal angkut!” Silla sedikit meninggikan suaranya.
Yohan tak percaya betapa beraninya Silla masih terus saja membantah, seolah Silla tak takut dengan resiko dibelakangnya. “Kamu pikir aku bisa percaya??” ucap Yohan yang telah kehabisan kata-kata. “Oke, ingat sanksi yang sudah disepakati di akhir kontrak!”
"Aduh Tuhaaan kok rasa pengen banget meledak ya denger dia ngoceh terus, padahal gak bantuin apa-apa loh dari tadi, sibuk aja terus ngingetin penalti ini dan itu, gue butuh satu dari Pak Yohan, diem dulu bibir kecilnya ya!”
Yohan membelalakkan mata, ia tak percaya Silla benar-benar masih berani melawannya, saking tak percayanya ia bangkit dari duduknya, menutup mulut dengan tangannya. ‘Wah … wah … dia berani sekali ….’ Bahkan membatin pun ia sampai kehabisan kata untuk menggambarkan bagaimana kuatnya pendirian Silla.
“Pantas masa depanmu suram, kerja lemot, mikir lemot, bisanya cuma masak seblak! Buka aja sana warung seblak!” ucap Yohan masih tak ingin kalah.
Meski dalam hati kecilnya, ia merasa ada hal yang membuatnya kagum dengan keberanian Silla, yang tak dimiliki kebanyakan perempuan yang dekat dengannya.
Silla menghentikan sejenak aktivitas tangannya, lalu mendengus dan memutar bola matanya jengah. “Bibir mu kecil, tipis, tapi entah kenapa kalimat yang keluar gak ada manis-manisnya, tapi makasih atas pujian seblak yang terdengar tulus tapi gengsi!”
Silla melirik sang Paman yang masih sibuk dengan setrika uapnya, pekerjaan sang paman hampir selesai, tapi waktu juga hampir habis. Sedangkan pekerjaan Silla baru selesai separuhnya.
"Okey gue tahu ini salah, gue juga gak berharap pembenaran atau pembelaan, tapi please berhenti ngomong tentang denda ini dan itu. Gue gak masalah denger lu ngomong kasar dan mencaci gue, tapi tolong satu hal, jangan bikin paman gue ragu sama usahanya. Gue cuman minta itu, gue udah janji pagi ini selesai, gue juga gak ngeributin lu ada disini, tolong hargain sedikit perasaan paman gue.”
Silla menurunkan nada bicaranya, ia tahu ia tak bisa menyelesaikan dalam tenggat kesombongannya sebelumnya. Meski ia juga tahu dua jam yang ia sombongkan bukan untuk dikerjakannya sendiri malam itu juga, tapi dua jam pagi jika dikerjakan lembur awal bersama pegawai lain.
“Tapi minimal jangan sebut masa depan gue suram, lu aja belum tentu berumur sampai masa depan itu,” imbuh Silla dengan suara makin lirih.
Yohan terdiam, entah kenapa ia tak lagi ingin menanggapi Silla. Yohan beranjak keluar, duduk di teras depan pabrik itu seraya menikmati sebatang rokok untuk mengusir hawa dingin malam itu.
Waktu terus berjalan, entah berapa lama Yohan bergelut dengan nyamuk di teras itu, ia tak bisa meninggalkan tempat itu, rasanya tak tenang, jadi harus memastikan semua selesai tepat waktu.
“Dingin!” gumamnya lalu mengambil jaket dari dalam mobil dan mengenakannya.
Yohan kembali masuk ke dalam pabrik. Sepi masih menjadi teman di sana. Namun ia tak melihat Silla, hanya pak Abdi yang masih menyelesaikan penghitungan akhir dan menjahit karung terakhir.
‘Hm, sudah selesai ternyata, baguslah,” gumam Yohan dalam hati seraya berjalan ke ujung ruangan menghampiri pak Abdi.
Namun langkahnya terhenti saat mendapati Silla terlelap di antara tumpukan kain tak jauh dari meja tempatnya tadi bekerja.
Yohan tersenyum kecil tanpa sadar memperhatikan wajah polos dan kuyu itu, sangat jauh dari make up seperti wanita-wanita yang dikenal Yohan.
‘Terlepas dari sifat galaknya, manis juga dia ….’ gumamnya tanpa berani mendekat. ‘Hm … benar kata Bang Hendi, sesuatu yang mini itu terasa lebih menggemaskan.’
"Ah gue pasti udah gila, ngapain bisa mikir begitu. Sekali ngeselin ya tetep ngeselin!" gumam Yohan lirih seraya menepuk kedua pipinya. "Tapi dia pasti lelah, kasihan juga pasti kedinginan."
Entah dorongan darimana, ada rasa bersalah dan tak tega menghampiri batin Yohan. Dilepasnya jaket yang baru saja dia kenakan, ia gunakan untuk menyelimuti Silla yang bersedekap, dengan mata terpejam.
Namun Silla terkejut, tidurnya yang masih belum terlalu lelap, masih bisa merasakan sesuatu yang tiba-tiba menyentuh kulitnya.
Karena terkejut itulah tangan Silla reflek menepis jaket yang baru saja diletakkan Yohan diatas tubuhnya, bahkan posisi Yohan masih menunduk belum sempat kembali berdiri tegak.
“Apa?! Mau apa?!” seru Silla dengan mata terbelalak, menatap heran bercampur kaget dimana Silla masih berusaha mengumpulkan kembali kesadarannya.
“Aku … cuma mau ….” Tak selesai Yohan menjelaskan maksudnya, matanya langsung tertuju pada jaketnya. “Hei! Ah, jaketku ….”
Sial! Jaket Yohan yang tertepis tangan Silla tak sengaja mendarat di antara onderdil mesin yang belum sempat dibereskan pak Abdi atau karyawannya.
Setelah menyadari yang terjadi, Silla segera bangkit, menoleh ke arah yang ditunjuk Yohan. Silla segera merangkak meraih jaket itu.
“Aduh, kotor ….” sesal Silla.
“Ah, sudah benar harusnya gue nggak usah peduli tadi!” Yohan pun menyesal lebih dalam, pasalnya itu adalah salah satu jaket kesayangannya.
“Sudah selesai, Pak. Alhamdulilah bisa tepat sebelum waktunya. Semua sudah siap, besok tinggal naikin ke armada,” Pak Abdi mendekati Yohan untuk melapor.
Yohan teralihkan dari Silla, lalu menatap pak Abdi masih dengan ekspresi kecewa. “Iya, bagus Pak.”
“Ada apa Pak? Kenapa ….” Pak Abdi menyadari ada sesuatu yang salah, terlihat jelas dari wajah Yohan.
Silla sedikit tertunduk namun dengan sifat beraninya, ia berucap. “Nggak usah sedih begitu, ini cuma minyak dan kotoran mesin, bisa dicuci!” terangnya dan segera berlalu meninggalkan dua pria yang satu berwajah kecewa, yang satu berwajah bingung.
...****************...
Bersambung ....
Up ny kalem bgt ya, doakan projek pekerjaan deal, biar bisa lanjut up banyak, dua judul. terimaksih reader yang selalu sabar menunggu🙏