Anya tidak menyangka bahwa hidupnya suatu saat akan menghadapi masa-masa sulit. Dikhianati oleh tunangannya di saat ia membutuhkan pertolongan. Karena keadaan yang mendesak ia menyetujui nikah kontrak dengan seorang pria asing.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Japraris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 25
Keesokan paginya.
Suara dering telepon membangunkan Anya. Ia mengerjapkan mata, cahaya pagi menerpa wajahnya. Layar ponsel menampilkan nama Bella. Ia keluar kamar menuju balkon mengangkat telpon, tak ingin membangunkan Kinan yang masih terlelap.
“Anya, kamu di rumah Arga sekarang?” suara Bella terdengar cemas.
“Aku di rumah Arga. Kamu sudah balik?”
“Ya, tadi malam. Dan… Rina mendatangiku.”
“Rina? Ada apa?”
“Masalah perusahaan MN. Penghasilan mereka menurun drastis semenjak kamu dipecat. Arga membatalkan kerja sama, bahkan meminta kompensasi! Anya, Pak Hendry dan Rina mencarimu selama beberapa hari. Pak Hendry ingin meminta mu kembali bekerja. Mereka menghubungi nomor lamamu, tapi tak tersambung. Rina minta nomor barumu tadi malam, tapi aku tidak kasih.”
Anya tercengang. Arga membatalkan kerja sama yang sudah ditandatangani, bahkan menuntut kompensasi? Bukankah seharusnya dia yang salah karena tiba-tiba membatalkan kerja sama? Apakah ini balasannya pada perusahaan yang telah memecatnya?
“Anya, kau dengar aku?” Bella bertanya, suaranya terdengar semakin khawatir.
“Eh, iya, aku dengar. Aku sudah tidak berhubungan lagi dengan perusahaan itu setelah dipecat. Apapun yang terjadi di perusahaan itu sudah bukan tanggung jawab ku lagi.”
Arga, yang mendengar percakapan itu dari balik pintu, mengerutkan kening. Ia lupa kalau Anya telah dipecat dan sekarang dia pengangguran. Ia merapikan dasinya dan turun menemui Rangga yang sudah menunggunya.
“Tapi aku agak kasihan juga pada mereka karena kerja sama dengan Danendra terputus begitu saja. bagaimanapun perusahaan itu yang menghidupiku selama ini,” Anya melanjutkan percakapannya dengan Bella.
"Kamu berencana membantu perusahaan tersebut?"
"Mungkin aku bisa mencoba berbicara dengan Arga."
“Lalu, kamu bagaimana sekarang? Mau kerja di mana?” tanya Bella, suaranya dipenuhi kekhawatiran.
Anya menghela napas, “Mau kerja di mana lagi di kota ini? Namaku sudah hancur, perusahaan mana yang mau menerimaku?” Kekecewaan tersirat jelas dalam suaranya.
“Bukannya David membantumu?”
“David sudah sangat berusaha, tapi tidak berhasil,” jawab Anya, nada suaranya datar, tanpa harapan.
“Arga?” Bella mencoba menggali lebih dalam.
“Aku belum melihatnya bertindak. Mungkin dia tidak ambil pusing dengan video itu atau mungkin dia menunggu waktu untuk bertindak. Arga tidak mudah ditebak,” Anya menjawab ragu-ragu. Wajahnya menampilkan ekspresi yang sulit dibaca – antara harapan dan keraguan.
“Anya, apa kau sudah bulat kembali pada Arga?” tanya Bella, nada suaranya sedikit tegang.
Anya tampak berpikir sejenak sebelum menjawab, “Aku memberinya kesempatan.” Ekspresinya menunjukkan sedikit keraguan, namun juga tekad yang samar.
“Sudah tahu siapa yang mencelakaimu waktu itu?” Bella penasaran.
“Belum. Bella, aku tutup telpon dulu. Aku mau masak sarapan sebelum Kinan dan Arga bangun,” Anya pamit, suaranya terdengar sedikit terburu-buru.
“Baiklah. Kalau ada butuh apa-apa, hubungi aku,” Bella terdengar khawatir.
“Ya.”
Anya mengakhiri panggilan, menghela napas panjang. Ia kembali ke kamar untuk melihat Kinan. Kinan yang masih tertidur pulas. Ia turun ke dapur, tetapi teleponnya berdering lagi. Kali ini David. Wajah Anya sedikit tegang ketika melihat nama David pada layar teleponnya.
“Anya, kau baik-baik saja? Arga tidak menyiksamu, kan?” Kekhawatiran terdengar jelas dalam suara David.
“Tidak, David. Arga baik padaku,” Anya menjawab tenang, mencoba meyakinkan David.
“Kinan?”
“Masih tidur. David…”
“Anya, Arga pasti sudah memberitahumu tentang pertunanganku. Anya, aku…” David terdengar gugup, suaranya sedikit bergetar.
“David, aku bahagia untukmu. Saatnya kau memikirkan kebahagiaanmu sendiri, lepaskan cinta yang bertepuk sebelah tangan,” Anya berkata dengan lembut namun tegas, penuh empati.
“Kau mendukungku?” Keheranan terdengar dalam suara David.
“Ya. Fahria gadis yang cantik dan baik. Keluarganya juga terpandang. Dia dan aku akan menjadi sahabat, seperti kita,” Anya tersenyum simpati.
“Anya…” David masih tampak ragu.
“David, jangan buat aku merasa bersalah,” Anya berkata dengan nada lembut namun sedikit serius.
“Baiklah. Kau harus datang ke pertunanganku."
“Aku tidak yakin bisa pergi. Kau tahu keadaanku. Aku tidak mau mengacaukan hari bahagiamu,” Anya menjelaskan dengan sedih namun penuh pengertian.
“Kalau kamu tidak datang, aku tidak akan bertunangan,” David mengancam, sebelum menutup telepon dengan sedikit desahan putus asa.
Anya menghela napas panjang, melanjutkan langkah ke dapur. Teleponnya berdering lagi. Nomor tak dikenal, tapi ia mengenali akhirannya: 8021. Reno. Ekspresi Anya berubah menjadi sedikit jengkel.
”Tunggu… Reno? Dari mana dia dapat nomorku? Nomor ini rahasia!” Keheranan dan sedikit rasa kesal tampak jelas dalam suaranya.
Namun ia mengangkatnya ingin mengetahui apa yang diinginkan Reno.
“Reno?”
“Anya, apa kabarmu?” Suara Reno terdengar penuh harap.
“Dari mana kau tahu nomorku?” Anya bertanya dengan nada dingin.
“Tak mudah mencari nomormu. Anya, aku tahu Arga bukan orang biasa. Tapi aku akan menghadapinya untuk mendapatkan mu kembali,” Suara Reno terdengar penuh keyakinan, dengan sedikit arogan.
“Reno, kau sungguh tak tahu malu!” Anya mematikan telepon dengan nada geram. Wajahnya terlihat sangat kesal.
“Mama.”
Suara Kinan memecah keheningan. Anya langsung tersenyum lembut. “Sayang, jangan berlari menuruni tangga. Jalan pelan-pelan.”
Kinan menurut.
“Mama, kenapa tidak membangunkan Kinan?”
“Tidurmu nyenyak sekali, Mama tidak mau mengganggu,” Anya menjelaskan dengan lembut, raut wajahnya penuh kasih sayang.
“Mama, Kinan mimpi Papa datang, membelai kepala dan mencium Kinan saat tidur. Sayangnya, Kinan belum melihat wajah Papa sudah terbangun,” Kinan berkata dengan ekspresi penuh harap.
Anya terdiam, matanya menunjukkan sedikit kerinduan. Ia berencana akan memperkenalkan Kinan pada Arga hari ini.
“Sayang, bantu Mama masak sarapan, yuk.”
“Baik, Mama.”
Di dapur, Anya tertegun. Makanan sudah tertata rapi di meja makan. Bibi, asisten rumah tangga Arga, tersenyum ramah.
“Nyonya muda, Nona muda. Silakan duduk untuk sarapan.”
“Tunggu Arga untuk sarapan bersama.”
“Tuan muda sudah sarapan bersama Tuan Rangga. Mereka sudah pergi ke kantor karena urusan penting,” Bibi menjelaskan dengan ramah.
Anya mengalah. Ia dan Kinan menikmati sarapan. Suasana terasa tenang, namun juga sedikit sepi karena ketiadaan Arga. Ia kecewa melewatkan kesempatan memperkenalkan Kinan pada ayahnya, terlihat dari raut wajahnya yang sedikit kecewa namun tetap tenang.
”Masih banyak kesempatan,” gumam Anya dalam hati, sebuah tekad tersirat dalam bisikan hatinya.
“Mama, Om Rangga itu baik banget! Tadi malam Om Rangga ngasih Kinan boneka besar!” seru Kinan, matanya berbinar-binar menceritakan pengalamannya tadi malam.
Anya tersenyum, “Sudah bilang terima kasih sama Om Rangga?”
Kinan mengangguk antusias, “Sudah, Ma! Terus… Om Rangga bilang ini rumahnya Om Jahat. Kenapa kita tidur di sini, Ma?” Wajah Kinan tampak sedikit bingung dan bertanya-tanya.
Anya mengelus lembut rambut Kinan, “Sayang, sebenarnya Om itu nggak jahat kok. Om itu cuma tegas aja.” Anya berusaha menjelaskan dengan sabar, memilih kata-kata yang mudah dipahami Kinan.
“Ooh…” Kinan masih tampak ragu-ragu, namun ia tampak menerima penjelasan ibunya.
“Mama nggak pergi kerja?”
“Nggak, Sayang,” jawab Anya, sambil tersenyum.
“Nggak jadi ke luar negeri, Ma? Om David tahu kita di sini?” Kinan kembali bertanya dengan ekspresi ingin tahu.
Anya mengangguk, “Iya, Sayang. Kinan mau nanam bunga? Kebetulan Mama lihat ada bunga yang perlu dirapikan di belakang rumah ini.” Anya mengalihkan perhatian Kinan dengan ide yang menyenangkan.
“Mau, Ma!” Mata Kinan kembali berbinar.
“Oke, kita ke sana,” Anya mengajak Kinan, senyumnya merekah, lega karena berhasil mengalihkan perhatian putrinya.
Mereka berjalan menuju belakang rumah. Ini bukan pertama kalinya Anya berada di kediaman Arga. Sebelum mereka pindah ke rumah mereka sendiri, mereka sempat tinggal di sini selama setahun. Dan bunga-bunga di belakang rumah ini adalah tanaman bunga kesayangan Anya dulu. Kenangan itu berkelebat dalam benaknya, diiringi perasaan haru dan sedikit getir.
Sepanjang hari itu, Anya menghabiskan waktu bersama Kinan. Mereka bermain, menonton film, dan Anya mengajari Kinan beberapa hal baru. Anya berusaha menikmati waktu bersama putrinya, melupakan sejenak masalah yang tengah mendera hidupnya.
seneng jika menemukan cerita yg suka alur cerita nya 👍🤗🤗
koq knapa gak dijelaskan sihhhh... 😒
Jangan menyia-nyiakan ketulusan seorang laki2 baik yg ada didepan mata dan terbukti sekian tahun penantian nya👍😁
Masa lalu jika menyakitkan, harus di hempaskan jauhh 👍😄
Gak kaya cerita lain, ada yg di ceritakan dulu awal yg bertele-tele.. malah malas nyimak nya 😁😁