Selama empat generasi keluarga Dion mengalami fenomena 'tading maetek' atau ditinggal mati oleh orang tua pada usia dini. Tapi seorang yatim juga sama seperti manusia lainnya, mereka jatuh cinta. Dion menaruh hati pada seorang gadis dari keluarga berada dan berusia lebih tua. Cintanya berbalas tapi perbedaan strata sosial dan ekonomi membuat hubungan mereka mendapat penolakan dari ibu sang gadis. Dengan sedikit yang ia miliki, Dion tak cuma menghadapi stigma tapi juga perubahan zaman yang menuntut adaptasi, determinasi dan tantangan moral.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27: Ikan Mas Arsik
Setelah dua minggu dirawat di rumah sakit akhirnya Dion pulang ke kontrakannya dengan tongkat kruk, kaki di-gibs dan mengenakan rib brace atau sabuk penyangga tulang rusuk.
Butuh waktu untuk terbiasa dengan keadaannya. Apalagi dipannya tanpa kaki-kaki sehingga ia harus berjuang untuk berbaring. Karenanya ia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan duduk di teras, menonton televisi atau duduk di depan komputer.
Beruntung di rumah itu menggunakan toilet duduk karena pengontrak sebelumnya adalah penderita disabilitas.
Yang paling menyusahkan adalah ketika harus menjalani fisioterapi. Dion harus mencari seseorang untuk mencarikan becak dayung untuk membawanya ke jalan utama lalu kemudian mencari becak mesin menuju rumah sakit. Kecuali hari Sabtu, Wina yang libur kuliah mengantarnya dengan taksi.
Luka di wajah Dion juga sudah mengering. Tapi goresan pisau itu meninggalkan bekas sepanjang 6-7 cm, melintang dari bawah mata kiri melewati puncak tulang pipi ke arah bawah telinga.
“Lukanya akhirnya kering. Tapi agaknya akan meninggalkan bekas,” ujar Wina sambil memeriksa wajah Dion.
“Sepertinya akan menyeramkan” ucap pemuda itu.
“Ini kan baru sembuh jadi masih jelas terlihat. Lihat, warnanya saja masih merah. Lama kelamaan akan tersamar,” jelas Wina sambil menyodorkan cermin pada Dion memberi kesempatan pemuda itu memandang sendiri bekas luka itu.
“Apa Wina masih mau sama Dion dengan wajah begini?” tanya Dion sembari melihat bekas luka di wajah melalui cermin.
“Aih, malah Dion semakin cakep. Seperti seorang badboy padahal hatinya melankolis,” jawab Wina menghibur.
“Ada lho operasi khusus untuk menghilangkan bekas luka seperti itu,” tambah Wina.
“Operasi plastik kah? Nggak usah deh. Biarlah begini adanya. Seumur-umur luka ini akan mengingatkanku akan kebaikanmu,” kata Dion lirih sambil meletakkan tangannya di kedua punggung Wina.
“Tuh kan, hati melo,” ledek Wina sambil tersenyum lalu mengecup bekas luka Dion.
Setelah empat minggu menjalani fisioterapi, gibs kaki Dion dilepas. Ia juga tak diharuskan mengenakan rib brace lagi.
Meskipun masih harus menggunakan tongkat kruk, Dion diperbolehkan kembali bekerja. Terapis mewanti-wanti bahwa Dion harus ekstra hati-hati dan tidak diperbolehkan mengangkat beban meskipun rasa sakit sudah jauh berkurang.
...***...
Dua bulan setelah hari naas itu, Dion akhirnya mulai menjalani hari-harinya seperti biasa. Meskipun ia masih harus tetap menjalani fisioterapi dan menggunakan tongkat siku, Dion juga sudah diperbolehkan menggunakan sepeda motor.
“Ini cuma di antara kita, jangan memberitahu pada Nita dan Atik. Aku semakin yakin pria terakhir yang datang dengan mobil dan menendang wajahku adalah Reinhard paman Wina,” ujar Dion setengah berbisik pada Andi dan Hendrik yang duduk bersamanya di kafe pusat perbelanjaan.
Mereka memutuskan duduk di sana karena pacar-pacar mereka sedang sibuk memilih-milih pakaian yang bisa memakan waktu berjam-jam.
“Aku serius meminta agar kalian merahasiakan. Aku tak ingin hubungan Wina dan pamannya meruncing.”
“Jangan khawatir, Bro, kami akan merahasiakannya,” sahut Hendrik sambil menatap Andi yang juga mengangguk mendengar kalimat itu.
“Kita balas saja. Kita culik si Reinhard itu dan menghajarnya seperti yang ia lakukan padamu. Aku mau lihat apa kepalanya yang sombong itu cukup kuat kalau dipukul dengan tongkat besi,” ujar Andi emosi.
Meskipun mewarisi keramahan ayahnya yang asli Sleman, tapi lahir dan besar di Medan membuat Andi juga memiliki sifat keras.
“Iya, aku pasti akan bantu. Tanganku juga sudah gatal. Aku tak suka dengan pengecut itu. Sumpah, akan ku patahkan kedua kakinya,” geram Hendrik yang semasa SMA adalah atlet gulat gaya Yunani-Romawi.
“Ah, bukannya tak percaya pada kalian. Karena aku juga akan bersikap sama seandainya salah satu dari kalian mengalami hal yang sama seperti yang terjadi padaku. Masalahnya, aku perlu memastikan dahulu 100 persen bahwa pria itu adalah dia. Saat ini aku masih yakin 60 persen.”
“Seandainya pun itu dia, aku tak ingin memulai konflik tak berujung. Misalnya nih di masa depan aku berjodoh dengan Wina, apa kata orang kalau tahu aku pernah menculik dan menghajar paman dari istriku sendiri,” tambah Dion tersenyum ingin meredakan emosi kedua temannya.
“Apalagi dari sisi adat Tapanuli, itu sangat tabu,” timpal Hendrik.
“Aku ingin memastikan kalau pria itu adalah Reinhard, maka aku akan tahu bersikap bagaimana. Kalaupun di masa depan orang-orang tahu apa yang sudah dilakukannya padaku, maka rasa malu akan menghantuinya sepanjang hidup,” lanjut Dion.
“Benar juga sih. Akan lebih mudah seandainya pria itu bukan pamannya Wina,” Andi menyetujui.
“Oppung sangat baik padaku. Ia bahkan menutup semua biaya perobatan. Reinhard itu adalah satu-satunya anak laki-laki Oppung,” jelas Dion lagi.
“Pelik masalahmu, Bro. Posisimu serba salah. Sebaiknya si Reinhard itu berdoa hubunganmu dan Wina tidak putus. Kalau putus, kita culik dia,” cetus Hendrik disertai anggukan Andi.
“Salah satu pengeroyok itu, yang kecil dan berkepala plontos, rasanya pernah aku lihat. Tapi tak ingat di mana dan kapan. Kalau aku bisa menjumpainya, aku bisa memaksanya untuk mengaku siapa yang memberi mereka perintah,” tutur Dion.
“Ingat-ingatlah, Bro. Kita datangi dia. Kalau dia tak mau mengakui siapa yang memberi perintah, kita gunduli lagi kepala plontosnya sampai semua kulit kepala lepas,” geram Andi.
Cukup lama mereka ngobrol di tempat itu. Mereka yang semula berencana menonton film akhirnya gagal karena acara belanja ternyata lebih lama dari yang diperkirakan semula.
Di penghujung sore itu, Dion mengantar Wina ke rumahnya. Kali ini ia tak mau cuma sampai di gerbang. Dion mengantar Wina dan parkir tepat di depan teras rumah. Dion memang ingin memberi pesan bahwa ia tak terintimidasi pada Reinhard.
Dion dan Wina pun ngobrol di teras rumah bersama Oppung hingga waktu makan malam tiba. Obrolan mereka berlanjut di meja makan. Oppung yang merasa senang kesehatan Dion sudah pulih menyiapkan makanan spesial hari itu, Ikan Mas Arsik. Oppung sendiri yang meracik bumbu masakan itu meskipun Mbak Sari lah yang memasaknya.
“Semoga kau sehat selalu dan ke depannya jauh dari segala mara bahaya,” ucap Oppung memberi kata-kata pengharapannya usai berdoa sebelum makan malam dimulai. Oppung lalu mendekatkan piring berisi ikan mas berukuran besar ke depan Dion.
“Tapi Wina juga mau ikan yang besar itu, Oppung,” protes Wina.
“Ah iya, nanti minta lah sama Dion tapi biar lah dia makan duluan,” cetus Oppung pada cucunya yang manja itu.
“Kan Dion yang baru sembuh dari sakit, bukan kau. Ikan ini simbol syukur dan pengharapan atas kebahagiaan dan kesehatan,” tambah Oppung coba memberi pengertian pada Wina yang tadi memasang wajah cemberut.
“Kenapa cuma Dion sendiri, Oppung? Sama Wina lah juga, kami berdua,” desak Wina masih manja.
“Hah! Menikah lah dulu kalian biar Oppung bikin seperti ini untuk kalian berdua,” kata Oppung membuat Mbak Sari dan Mbak Ria yang makan bersama mereka tertawa.
Setelah mengambil sepotong ikan mas ke piringnya, Dion lalu memotongkannya untuk Wina yang ukurannya lebih besar membuat gadis itu merasa senang.
Dion lalu menyodorkan piring itu ke hadapan Mbak Sari dan Mbak Ria. Sejenak kedua wanita itu ragu lalu menatap pada Oppung yang direspons dengan anggukan tanda setuju. Mbak Sari dan Mbak Ria pun mengambil potongan ikan ke piring masing-masing.
Sehabis makan malam, Dion dan Wina melanjutkan obrolannya di teras depan rumah. Dion yang mengharapkan kehadiran Reinhard harus kecewa karena pria itu tak menunjukkan batang hidungnya. Bahkan ketika ia meninggalkan rumah itu, Reinhard tak juga muncul.
Sebenarnya Reinhard tadi sudah tiba di rumah tapi melihat motor Dion terparkir di depan teras, ia meminta supirnya memutar mobil pergi ke suatu tempat.