Aini dan Brandon saling mencintai. Cinta mereka bersemi di pesantren tempat mereka menuntut ilmu. Akan tetapi, perbedaan kasta di antara keduanya membuat hubungan mereka menjadi rumit. Bapak Aini yang matre, sengaja menjodohkan Aini yang statusnya merupakan kembang desa, dengan anak juragan tanah setempat. Padahal, sebenarnya Brandon anak orang kaya. Orang tua Brandon yang memiliki pesantren Brandon dan Aini menuntut ilmu.
Hingga setelah sederet kesalahpahaman yang terjadi, dan delapan tahun telah berlalu, takdir kembali menemukan mereka dalam status berbeda. Aini yang hijrah ke Jakarta menjadi ART, justru bekerja di rumah orang tua Brandon. Selain mengetahui fakta bahwa ternyata Brandon merupakan anak dari orang kaya raya, Aini juga mengetahui bahwa pemuda yang statusnya masih menjadi kekasihnya itu akan menikah dengan wanita lain.
Sementara yang Brandon tahu, Aini sudah menikah, hingga akhirnya Brandon juga menyerah dan mau-mau saja dijodohkan dengan seorang perempuan cantik dari kerabat orang tuanya. Namun kini, di hadapannya, Aini justru mendadak hadir sebagai pembantu baru di rumahnya.
Kisah mereka memang belum usai. Namun masalahnya, selain bibit, bebet, sekaligus bobot mereka sangat berbeda, Tuan Muda yang dulu dianggap miskin juga sedang menjalani persiapan pernikahan di tahap akhir.
Lantas, bagaimana akhir dari kisah mereka? Akankah Brandon mengambil keputusan sulit yaitu meninggalkan persiapan pernikahannya untuk Aini yang masih sangat ia cintai? Atau, justru Aini yang akan diam-diam pergi mengakhiri kisah mereka yang terhalang kasta?
💗Merupakan bagian dari novel : Mempelai Pengganti Ketua Mafia Buta yang 💗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28 : Permohonan Aini
“Tak sampai satu minggu lagi, mas Brandon dan Lentera harus menikah,” lanjut paman Syam berharap ibu Chole segera memberikan keputusan demi kebaikan bersama.
“Saya janji, saya tidak akan melukainya. Saya bahkan akan memastikan, dia tetap memiliki kehidupan layak!” yakin paman Syam lagi karena sejauh ini, ibu Chole memang tipikal yang anti kekera*san.
Dari dalam, Aini mendengar apa yang paman Syam katakan kepada ibu Chole walau pria itu mengatakannya dengan lirih, dan terkesan sengaja disamarkan darinya agar Aini tidak tahu.
“Permisi, Bu,” ucap Aini bergegas menyusul, sebelum ibu Chole mengambil keputusan. Namun, ia masih melakukannya dengan sangat santun. Melangkah pun ia melakukannya dengan membungkuk.
“Tolong jangan ambil keputusan sebelum mas Brandon datang. Kita sama-sama tahu watak mas Brandon seperti apa. Saya tahu, apa yang saya dan mas Brandon lakukan salah. Namun saya juga yakin, sebagai wanita yang sudah melahirkan mas Brandon, Ibu mulai paham alasan kami melakukan kesalahan ini. Maaf Bu, jika saya tidak sopan apalagi kuran*g ajar.” Aini tidak berhenti, ia yang terus menunduk sopan cenderung takut di tengah jantungnya yang berdentum cepat berangsur berkata, “Delapan tahun yang lalu, alasan saya mau menjalin hubungan dengan mas Brandon ketika kami sama-sama di pesantren karena mas Brandon mengaku, beliau dari kalangan biasa. Pengakuan itu dikuatkan sepanjang mengenal, beliau bekerja di bengkel, dan sesekali beliau juga sampai turun ke sawah. Sama sekali tidak ada tanda-tanda mas Brandon orang berada apalagi kaya raya. Sampai akhirnya kami mendapat penolakan dari alm bapak saya, dan saya dijodohkan paksa dengan pria lain, sementara saat itu mas Brandon pergi tanpa pamit. Mas Brandon bilang saat itu, alasan beliau pergi karena keluarga di Jakarta kecelakaan dan belum sempat pamit. Saat itu saya juga kabur dari pernikahan yang harus saya jalani. Bapak saya meninggal, tapi fitnah keji telanjur membuat mas Brandon yakin bahwa saya sudah menikah mengkhianati janji kami. Terakhir, maksud bekerja ke Jakarta karena memang sedang butuh banyak biaya, dan saya tidak menyangka justru menjadi ART di rumah kalian ....”
“Awalnya mas Brandon memang sangat membenci saya. Bahkan mungkin jika bisa, beliau ingin membun*uh saya karena yang beliau tahu, saya sudah mengkhianatinya. Namun setelah tahu semuanya, beliau sampai menyusul saya dan membantu saya mengurus pemakaman ibu saya. Walau sampai detik ini, saya juga masih tidak percaya, beliau sudah menikahi saya. Benar-benar sulit dipercaya, kami menikah dan memang membangun bahagia di atas luka kalian semua.”
“Saya benar-benar minta maaf untuk itu. Namun bisa saya pastikan, tidak ada unsur guna-guna dalam hubungan kami. Karena meski agama saya tidak sekuat kalian, daripada untuk mengurus hal seperti itu, lebih baik saya menggunakan waktu saya untuk hal lain yang lebih bermanfaat.”
“Selebihnya, untuk kelanjutan hubungan saya dan mas Brandon, saya terima apa pun itu. Termasuk andai saya harus ... dicer*ai, saya terima asal mas Brandon yang melakukannya.”
“Mohon jangan mengambil keputusan tanpa mas Brandon karena kita sama-sama tahu watak mas Brandon. Kasihan beliau, ... kasihan kalian juga karena hasilnya pasti hanya luka.”
“Bukan bermaksud tidak memikirkan kalian terlebih nona Lentera, saya hanya terlalu tidak kuasa melawan kemauan mas Brandon. Terserah kalian menganggap saya apa. Namun untuk yang tadi, saya benar-benar memohon, tolong jangan mengambil keputusan tanpa mas Brandon.” Aini berangsur mundur sambil tetap membungkuk.
Belum genap tiga puluh detik, Anjar datang dengan motor maticnya. Anjar sudah langsung mengawasi kebersamaan di teras kontrakan. Di sore menjelang petang, ia tak hanya memergoki rombongan berpenampilan rapi khas orang kaya tengah bersama kakaknya. Karena mobil mewah juga turut terparkir di depan kontrakan kecil mereka.
“Assalamualaikum,” sapa Anjar masih menatap penuh tanya kebersamaan di teras. Ia mendapati kedua mata kakaknya yang sudah sembam.
“Waalaikumsalam ....” Aini menjadi orang yang langsung menjawab. Ia bahkan sengaja menghampiri Anjar, memberikan tangan kanannya untuk disalami oleh sang adik.
“Ini keluarganya mas Brandon,” ucap Aini mendadak ragu melanjutkan ucapannya. Ia ingin meminta Anjar menyalami ketiganya, tapi ia sendiri tidak berani melakukannya. Meski pada akhirnya, nyatanya Anjar yang tampaknya tidak tahu seberapa genting situasi di sana, berhasil menyalami tangan ketiganya dengan sangat mudah.
“Ini ayo pada masuk, sudah mau petang. Dan sepertinya, mas Brand juga bakalan pulang telat.” Anjar tak kalah santun dari Aini.
Keadaan kini membuat Aini bingung sendiri. Apalagi ketika tatapannya tak sengaja bertemu dengan tatapan ibu Chole. Bisa ia pastikan, ibu Chole yang telah melahirkan Brandon tak hanya marah maupun kecewa. Karena wanita itu juga hanc*ur.
Aini tak berani meninggalkan kebersamaan di teras. Takut makin tidak sopan sekaligus kurang aj*ar. Ia memilih bertahan di sana meski sepanjang kebersamaan, ia hanya diam sambil terus menunduk dalam. Hanya Anjar yang masih bisa melenggang dengan leluasa. Anjar yang sudah langsung mengerjakan tugas sekolah bahkan tak segan mengajak rombongan Chole mengobrol meski sepanjang itu juga, Anjar hanya berbicara sendiri karena semuanya tetap kompak diam.
Barulah bersama dengan adzan magrib yang berkumandang, mobil Brandon tampak datang dan makin lama makin dekat.
“Alhamdullilah ...,” batin Aini seiring hati dan jantungnya yang jadi berdenyut nyeri. Namun seperti apa yang sempat ia katakan tadi, apa pun keputusannya, ia akan menerimanya. Termasuk fatalnya, perceraian yang menjadi akhir hubungannya dan Brandon.
Aini akan menerima semua keputusan Brandon, baik itu perceraian, maupun kembali berjuang bersama-sama.
bahasanya juga mudah dicerna ada kesalahan dikit² dalam menyebut kan tokoh sih dimaklumi karena aku sendiri kalau suruh ngarang tulisan bahasanya juga masih nggak bisa berurutan