Kehidupan Zenaya berubah menyenangkan saat Reagen, teman satu kelas yang disukainya sejak dulu, tiba-tiba meminta gadis itu untuk menjadi kekasihnya.
Ia pikir, Reagen adalah pria terbaik yang datang mengisi hidupnya. Namun, ternyata tidak demikian.
Bagi Reagen, perasaan Zenaya tak lebih dari seonggok sampah tak berarti. Dia dengan tega mempermainkan hati Zenaya dan menginjak-injak harga dirinya dalam sebuah pertaruhan konyol.
Luka yang diberikan Reagen membuat Zenaya berbalik membencinya. Rasa trauma yang diberikan pria itu membuat Zenaya bersumpah untuk tak pernah lagi membuka hatinya pada seorang pria mana pun.
Lalu, apa jadinya bila Zenaya tiba-tiba dipertemukan kembali dengan Reagen setelah 10 tahun berpisah? Terlebih, sebuah peristiwa pahit membuat dirinya terpaksa harus menerima pinangan pria itu, demi menjaga nama baik keluarga.
(REVISI BERTAHAP)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim O, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 : Upacara Pernikahan.
Zenaya menatap pantulan dirinya di cermin. Berbalut gaun pengantin putih yang begitu mewah, ia tampak memukau, seakan berhasil menutup seluruh luka yang tersemat dalam dirinya.
Amanda menatap putrinya dengan mata yang basah. Gadis mungil yang dulu sering ia gendong, yang dulu ia tidurkan dengan nyanyian sederhana, kini berdiri anggun dan sebentar lagi akan menjadi milik orang lain, sekaligus akan menjadi seorang ibu. Waktu terasa begitu cepat, anak yang pernah ia peluk erat kini harus ia lepaskan dengan kedua tangannya sendiri.
Walau perjalanan menuju momen ini bukanlah perjalanan yang baik, Amanda tetap menaruh setitik harapan agar anaknya bisa menjalani hidup dengan baik bersama Reagen.
"Permisi, Bu," ucap seorang seorang wanita berjalan menghampiri Zenaya dengan membawa sepasang sepatu berwarna putih tanpa hak. Amanda langsung meminta izin untuk mengambil alih tugas wanita itu.
"Silakan, Nyonya." Ia memberikan sepasang sepatu itu pada Amanda.
"Terima kasih," ucap Amanda ramah. Ia lalu menghampiri Zenaya yang kini duduk di sofa. Dengan tangan bergetar, ia meraih kaki halus sang putri dan memakaikan sepatu itu perlahan.
"Terima kasih, Ma," ucap Zenaya dengan mata berkaca-kaca.
Amanda mengangguk pelan. Ia ikut duduk di sisi putrinya, lalu menarik Zenaya ke dalam pelukan yang hangat. "Rasanya baru kemarin kamu lahir dari perut Mama, tapi sekarang sudah akan menjadi milik orang lain."
Zenaya membalas pelukan Amanda sama eratnya. "Aku tetap milik Mama," ujar wanita itu dengan nada bergetar.
"Tentu saja! Selamanya kamu adalah putri kecil Mama." Amanda tertawa lirih seraya menghapus jejak air mata yang mengalir di pipi Zenaya.
Pintu ruangan terbuka. Liam dan Adryan berdiri di ambangnya, menatap dengan mata yang turut digenangi haru. Zenaya sontak berdiri dan berlari kecil menghampiri mereka, seakan ingin menyerap sisa-sisa waktu yang masih dimiliki bersama keluarganya.
"Jangan lari!" seru Adryan di pelukan sang adik. Ia dan ayahnya kini berada di kanan kiri Zenaya.
Zenaya mengangguk di pelukan mereka. Hatinya mendadak pilu membayangkan tak akan lagi bisa hidup satu atap bersama keluarga tercintanya, sebab selepas menikah Reagen akan langsung mengajak Zenaya tinggal di apartemen.
Semula Zenaya menentang keras, karena tempat tersebut jelas menorehkan cerita pahit dalam hidupnya. Namun, setelah mendengar penjelasan Reagen kalau mereka hanya akan tinggal sementara, Zenaya akhirnya menyetujui.
Liam mengelus pipi putrinya penuh cinta. Pria yang Zenaya kenal tegas itu, kini tengah meneteskan air mata.
Melihat interaksi keduanya, Amanda dan Adryan memutuskan meninggalkan ruangan tersebut guna memberikan waktu.
Pria baya itu menatap putri bungsunya sendu. Rasa bersalah hinggap dalam hatinya karena telah bersedia menerima pinangan keluarga Walker. Zenaya pasti berat menjalani ini semua, tetapi mengingat ia tengah berbadan dua, Liam tak bisa menepis nasib sang calon cucu.
Meski pernikahan ini dibangun bukan atas dasar cinta, Liam berharap Zenaya dapat hidup bahagia.
"Bagaimanapun cara Tuhan menyatukan kalian, kmau tetap harus menghormati pernikahan ini, Sayang," ucap Liam bijaksana.
Zenaya menganggukkan kepalanya. Setetes air mata kembali jatuh membasahi pipi wanita itu.
"Jadilah seorang istri dan ibu yang baik." Liam mengulas senyum teduh. "Hargai sumpah sehidup semati yang kalian ikrarkan nanti."
Zenaya kembali mengangguk. Walau hatinya belum bisa menerima kehadiran Reagen, ia akan berusaha memenuhi pesan sang ayah.
"Maafkan, Papa." Liam kembali memeluk Zenaya erat. Pria itu juga tengah mencoba mengikis sedikit demi sedikit perasaan bencinya pada Reagen, karena biar bagaimanapun juga ia akan menjadi bagian dari keluarganya.
...***...
Di ujung ruangan, Reagen berdiri gagah dengan balutan tuxedo putih. Ia tampak berusaha tegar, meski gugup jelas terpancar dari matanya.
Musik pengiring mengalun. Zenaya melangkah masuk bersama Liam. Reagen tak sanggup berkedip ketika jauh di hadapannya berdiri sesosok wanita cantik dan anggun yang akan ia panggil istri.
Reagen sama sekali tak dapat memalingkan pandangannya ke manapun, hingga tanpa sadar ia turun dan menghampiri mereka berdua yang baru berjalan sampai di tengah-tengah ruangan.
Sebelum meminta Zenaya pada Liam, Reagen membungkukkan badannya terlebih dahulu pada sang ayah mertua. Cukup lama Reagen membungkuk hingga Liam menepuk pundaknya.
Reagen hampir saja menangis ketika Liam tiba-tiba memeluk tubuhnya erat. Dengan suara nyaris bergetar, pria itu berpesan pada Reagen untuk tak lagi menyakiti Zenaya, dan menjaga keluarga kecilnya meski harus dengan taruhan nyawa.
Reagen mengangguk mantap. Sepenggal janji lain terucap dari mulutnya di tempat sakral itu.
Liam melepaskan pelukannya pada Reagen lalu beralih pada Zenaya.
Pria itu menarik sang putri ke dalam dekapannya lagi. Sebelum benar-benar melepaskan Zenaya, Liam mendaratkan ciuman penuh kasih sayang di kening sang putri.
Reagen menerima tangan Zenaya dan menggenggamnya erat. Bersama wanita yang dicintainya itu, mereka berjalan perlahan menuju altar.
Zenaya menatap sekeliling ruangan. Ketiga sahabatnya yang datang lantas melemparkan senyum manis kala tatapan mata mereka bersirobok. David juga ada di tengah-tengah para tamu undangan. Kendati hatinya remuk redam, ia ikut berbahagia melihat Zenaya bisa bersama dengan pria pilihannya.
Izin cuti yang diambil Zenaya berubah menjadi cerita lain yang beredar di rumah sakit, yaitu tengah menyiapkan pernikahan.
Entah siapa yang menyebarkan rumor itu pertama kali, Zenaya tetap berterima kasih. Setidaknya yang mereka tahu pernikahan ini terjadi bukan karena sebuah insiden semata.
Janji suci sehidup semati pun telah terucap. Kini Reagen dan Zenaya resmi menjadi sepasang suami istri yang sah di mata Tuhan.
Reagen menyampirkan veil yang menutupi wajah Zenaya. Dengan satu sentuhan kecil, pria itu mendaratkan ciumannya pada bibir sang istri.
Suara tepuk tangan para hadirin bergemuruh. Amanda dan Jennia tak bisa menahan keharuannya. Kedua ibu itu sangat berharap pernikahan anak mereka bisa bertahan hingga maut memisahkan.
...***...
Pihak kedua keluarga memang tidak mengadakan pesta besar dalam waktu yang lama karena mengkhawatirkan kondisi Zenaya. Wanita itu bahkan sudah izin undur diri duluan sebelum acara makan malam dimulai.
Amanda dan Jennia mengantar Zenaya ke kamar dan membantunya berganti pakaian. Sementara Reagen masih sibuk menerima tamu yang merupakan kolega kedua keluarga.
Setelah selesai membantu Zenaya berganti pakaian, Amanda menyuapi putrinya makan.
"Ada lagi yang kamu butuhkan, Sayang?" tanya Jennia yang turut duduk di sebelah Amanda.
Zenaya menggeleng. "Cukup, Ma," jawabnya lembut.
Setelah makan malam habis, keduanya pun mencium kening Zenaya dan meninggalkannya di dalam kamar seorang diri untuk beristirahat.
...***...
Reagen baru tiba di kamar hampir tengah malam. Mata pria itu terlihat memerah karena menahan kantuk. Maklum saja, beberapa kolega terdekat keluarga Walker baru datang setelah jam makan malam selesai.
Reagen menghampiri ranjang tidur di mana Zenaya terlelap. Ia lalu mendudukkan dirinya di tepi ranjang tersebut.
Seulas senyum terbit di wajah tampan Reagen saat mendengar dengkuran halus sang istri. Hal itu merupakan sesuatu yang wajar bagi seseorang yang sedang kelelahan, apa lagi Zenaya dalam keadaan hamil.
"Selamat tidur. Aku mencintaimu," ucap Reagen seraya mendaratkan sebuah kecupan di pipi kiri Zenaya lumayan lama, sebelum akhirnya beranjak dari sana untuk mandi dan berganti pakaian.
Begitu pintu kamar mandi tertutup, Zenaya membuka matanya. Air mata mengalir tanpa henti. Di balik pesta, di balik senyum yang ia paksakan sejak tadi, jiwanya hancur berkeping-keping.