Dinda tidak menyangka kalau pernikahannya bakal kandas ditengah jalan. Sekian lama Adinda sudah putus kontak sejak dirinya mengalami insiden yang mengakibatkan harus menjalani perawatan yang cukup lama. Hingga pada akhirnya, saat suaminya pulang, rupanya diceraikan oleh suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 9 Ucapan yang begitu menyakitkan
Kemudian, Vikto mengajak Adinda untuk sarapan pagi. Sementara Mbak Tia memilih sarapan bersama para asisten lainnya di dapur. Saat Vikto mendorong kursi roda Adinda keluar dari kamar, langkah mereka terhenti karena melihat Oma Hela yang baru saja keluar dari kamarnya.
“Waaah, kalian sudah rapi rupanya. Selamat pagi, Nak Dinda,” sapa Oma Hela ramah sambil tersenyum.
“Pagi juga, Oma,” balas Adinda sopan, berusaha tersenyum meski sedikit gugup.
Tak lama, dari arah koridor muncul Tuan Abdi dan istrinya, Nyonya Wirna. Begitu melihat Adinda, keduanya hanya berpandangan singkat tanpa sepatah kata pun. Nyonya Wirna bahkan hanya melengos, lalu berjalan menuju ruang makan bersama suaminya dan putrinya.
Adinda sempat membuka mulut untuk menyapa, namun urung melakukannya. Ia menunduk, hatinya terasa sedikit nyeri.
Melihat itu, Vikto menepuk pelan bahunya. “Ayo, Dinda, kita sarapan dulu,” ucapnya lembut.
Adinda hanya mengangguk pelan.
Oma Hela yang melihat suasana canggung itu langsung menimpali dengan nada tegas namun hangat.
“Kamu gak perlu canggung, Nak. Di rumah ini, Nenek yang paling berkuasa. Kalau ada yang berani macam-macam sama kamu, biar Oma yang hadapi. Termasuk si Vikto ini, ya! Bilang aja kalau dia berani menindas kamu.”
Vikto langsung terkekeh pelan. “Oma ini suka banget berprasangka sama Vikto. Mana mungkin Vikto bakal nindas Dinda. Yang ada, malah Oma yang sering nindas Vikto.”
Oma Hela sontak melotot, membuat Vikto langsung pura-pura takut sambil mengangkat kedua tangannya.
“Iya, Oma, iya... ampun. Vikto gak akan bikin Oma kesal lagi, janji!”
Oma mendengus kecil, lalu tersenyum puas. “Nah, begitu dong. Tuh, lihat, Nak. Selain kamu, Oma juga bisa bikin Vikto nurut.”
Adinda tersenyum tipis, hatinya sedikit hangat. “Makasih ya, Oma,” ucapnya lirih.
“Ya sudah, yuk, kita sarapan bareng. Jangan sampai makanannya keburu dingin,” ajak Oma dengan lembut.
Vikto hanya menggeleng kecil sambil tersenyum melihat keduanya. Pagi itu terasa sedikit lebih cerah bagi Adinda. Setidaknya, masih ada seseorang yang benar-benar menerimanya di rumah itu.
Di ruang makan, aroma roti panggang dan kopi hitam memenuhi udara. Meja panjang sudah tertata rapi dengan berbagai hidangan: bubur ayam, telur setengah matang, dan segelas susu.
Oma Hela mempersilakan Adinda duduk di sebelahnya, sementara Vikto mengambil tempat di sisi berhadapan.
Namun, sejak awal, suasana meja makan itu sudah terasa kaku. Tuan Abdi hanya sibuk membaca koran pagi, sementara Nyonya Wirna diam, menyendok makanan tanpa menoleh sedikit pun ke arah Adinda.
“Silakan makan, Nak Dinda. Jangan sungkan, ya. Makan yang banyak biar cepat sembuh,” ucap Oma Hela ramah sambil menaruh lauk ke piring Adinda.
“Makasih, Oma,” jawab Adinda lirih, mencoba menutupi rasa canggungnya.
Namun saat Adinda mulai menyuap makanan, Nyonya Wirna mendengus pelan, cukup keras untuk didengar semua orang.
“Orang luar saja sekarang ikut makan di meja keluarga…” gumamnya pelan tapi tajam.
Vikto spontan meletakkan sendoknya. “Mah, cukup! Jangan bicara seperti itu di depan Adinda.”
“Kenapa? Mama cuma bicara kenyataan. Rumah ini bukan penampungan,” balas Nyonya Wirna dingin tanpa menatap putranya.
Suasana mendadak hening. Adinda menunduk, matanya mulai berkaca-kaca. Tangannya menggenggam sendok dengan gemetar.
“Oma…” ucap Vikto, menahan diri agar tidak meninggikan suara.
Namun Oma Hela sudah lebih dulu menegakkan tubuhnya. Tatapan tajamnya langsung mengarah pada menantunya.
“Wirna, jaga bicaramu. Adinda tamu Oma, dan dia sudah seperti cucu Oma sendiri. Kalau kamu tidak suka, makanlah di kamarmu!”
Nyonya Wirna terdiam, wajahnya menegang.
“Sudahlah, Ma,” potong Tuan Abdi, mencoba menengahi. “Kita tidak perlu memperpanjang hal ini.”
“Tapi Papa—”
“Cukup, Wirna.” Nada Tuan Abdi kali ini tegas, membuat istrinya bungkam.
Oma Hela lalu menepuk lembut tangan Adinda. “Jangan dengarkan mereka, Nak. Orang tua kalau sudah keras kepala, memang susah dilunakkan. Kamu makan aja yang enak, ya.”
Adinda mengangguk pelan, suaranya bergetar. “Terima kasih, Oma… Maaf kalau kedatangan Adinda bikin suasana jadi seperti ini.”
Vikto menatap Adinda dengan iba. “Kamu gak salah apa-apa, Dinda. Justru aku yang minta maaf karena belum bisa membuat mereka mengerti.”
Oma Hela tersenyum tipis, berusaha mencairkan suasana. “Sudah, kalian berdua makan dulu. Urusan hati orang tua, biar Oma yang urus. Oma belum pensiun dari urusan rumah tangga.”
Ucapan itu membuat Adinda sedikit tersenyum. Meski suasana masih terasa kaku, setidaknya di meja itu masih ada kasih yang tulus, dari seorang nenek yang menjadi satu-satunya pelindungnya di rumah besar itu selain Vikto.
Setelah sarapan usai, satu per satu anggota keluarga meninggalkan meja makan.
Tuan Abdi menuju ruang kerja, Nyonya Wirna berjalan cepat menuju kamar, dan hanya tersisa Oma Hela yang masih berbicara ringan dengan asisten rumah tangga.
Adinda menunduk, kedua tangannya saling menggenggam di pangkuan. Wajahnya tampak pucat dan sendu.
Sejak ucapan tajam Nyonya Wirna tadi, hatinya terasa sesak, seolah keberadaannya memang tidak pernah diinginkan.
Vikto yang memperhatikannya dari tadi, berdiri lalu menghampiri. Ia berjongkok di depan kursi roda Adinda.
“Dinda,” panggilnya lembut.
Adinda menatapnya sekilas, lalu buru-buru mengalihkan pandangan. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Kamu kenapa? masalah Mamaku tadi ya?” tanya Vikto lirih.
“Gak apa-apa,” jawabnya pelan, berusaha menahan isak. Tapi suaranya bergetar. “Aku cuma kepikiran ucapan Mama kamu tadi. Mungkin memang benar aku gak pantas di sini. Aku cuma merepotkan semua orang.”
Vikto menarik napas panjang, lalu menggenggam tangan Adinda.
“Jangan ngomong begitu, Dinda. Kamu gak merepotkan siapa pun. Kamu di sini karena aku yang minta kamu untuk tetap tinggal. Kamu tidak perlu menanggapi Mamaku atau Diva, juga Papaku.”
Adinda menggeleng pelan. Air matanya akhirnya jatuh.
“Gak, Kak… Aku cuma beban. Aku gak bisa apa-apa. Jalan aja belum bisa normal. Aku cuma nyusahin Kakak, dan bikin Kakak bertengkar sama kedua orang tua Kakak.”
Vikto menatapnya lama, matanya sendu tapi tegas.
“Kamu bukan beban, Dinda. Justru… kamu itu adalah tanggung jawabku.”
Adinda tersentak, menatapnya dengan mata berair.
Vikto melanjutkan, suaranya dalam dan penuh ketulusan.
“Selama ini aku hidup buat nurutin kehendak mereka. Tapi soal kamu, aku sadar, aku juga punya hak buat nentuin siapa yang mau aku lindungi dan aku bahagiakan.”
“Kak Vikto…” suara Adinda bergetar, tak tahu harus berkata apa. "Aku bukan siapa-siapanya Kak, adik kandung aja bukan."
Vikto tersenyum kecil, lalu mengusap air mata di pipinya.
“Udah ya, jangan nangis lagi. Kalau kamu terus sedih, Kakak juga ikut sakit hati.”
Adinda menunduk, menatap tangan Vikto yang masih menggenggam jemarinya erat. Untuk pertama kalinya sejak perceraian pahit itu, ia merasa sedikit tenang, karena seseorang benar-benar peduli padanya tanpa syarat.
Dari kejauhan, Oma Hela memperhatikan mereka berdua. Ia tersenyum tipis sambil berbisik pada dirinya sendiri,
“Cinta sejati memang kadang tumbuh di tempat yang tak terduga… semoga kalian kuat menghadapi badai ini.”
Apa keluarga nya Percaya dengan omongan Dinda nanti tentang wasiat Oma,Takutnya menuduh Dinda mengada2..Harusnya 2 orang yg masuk sebagai saksi..