Di tengah gemerlap kota yang tak pernah tidur, hidup mereka terikat oleh waktu yang tak adil. Pertemuan itu seharusnya hanya sekilas, satu detik yang seharusnya tak berarti. Namun, dalam sekejap, segalanya berubah. Hati mereka saling menemukan, justru di saat dunia menuntut untuk berpisah.
Ia adalah lelaki yang terjebak dalam masa lalu yang menghantuinya, sedangkan ia adalah perempuan yang berusaha meraih masa depan yang terus menjauh. Dua jiwa yang berbeda arah, dipertemukan oleh takdir yang kejam, menuntut cinta di saat yang paling mustahil.
Malam-malam mereka menjadi saksi, setiap tatapan, setiap senyuman, adalah rahasia yang tak boleh terbongkar. Waktu berjalan terlalu cepat, dan setiap detik bersama terasa seperti harta yang dicuri dari dunia. Semakin dekat mereka, semakin besar jarak yang harus dihadapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azona W, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ia Melihat Obsesi
Pagi di Petunia Hill terasa berbeda.
Ada udara dingin yang menyelinap di sela-sela dinding, bukan dingin cuaca, melainkan dingin yang muncul dari perasaan sedang diawasi.
Elena bangun di kamar Adrian.
Bukan karena keduanya tidur bersama, tetapi karena kamar Adrian memang lebih aman, dan Adrian bersikeras ia harus pindah.
Malam itu, Elena tidur di sofa panjang di sudut kamar, sementara Adrian duduk di kursinya, berjaga sepanjang malam.
Elena membuka mata perlahan dan melihat Adrian masih terjaga, punggungnya menyandar, kepala sedikit menunduk.
Ia tidak benar-benar tidur.
“Adrian…?” bisik Elena.
Pria itu membuka mata, langsung fokus padanya.
Elena tertegun, bahkan dalam kelelahan, tatapannya tetap intens dan… indah.
Gelap yang menghangatkan.
“Kau sudah bangun,” katanya pelan.
“Kau tidak tidur sama sekali?” Elena duduk, menarik selimut dari tubuhnya.
Adrian menggeleng. “Aku ingin pastikan kau aman.”
Elena turun dari sofa dan berjalan mendekat. “Adrian… aku aman. Kita sudah memasang sensor. Sebastian berjaga di luar. Kau boleh beristirahat.”
Adrian menatapnya dengan senyum yang tidak sepenuhnya senyum. Lebih seperti seseorang yang lupa bagaimana caranya merasa tenang.
“Aku hanya lebih tenang kalau aku yang berjaga.”
Elena berdiri di depannya, lalu berjongkok supaya sejajar dengannya. Ia mengangkat tangan dan menyentuh wajah Adrian. Perlahan, seolah takut memecahkannya.
“Kalau kau sendiri hancur… bagaimana kau melindungiku?”
Adrian terpaku.
Sedetik. Dua detik. Tiga detik.
Lalu ia meraih tangan Elena, menahannya di pipinya.
“Jangan bicara seperti itu…” suaranya serak.
“Aku tidak hancur.”
“Tapi kau lelah.” Elena mengusap garis rahangnya yang tegang. “Dan aku tidak mau menjadi alasan kau menghukum tubuhmu sendiri.”
Adrian menunduk sedikit. Selain Sebastian, tidak ada yang berani menegur dirinya seperti itu.
Namun ketika Elena melakukannya, itu membuatnya… luluh.
“Kalau begitu…” Adrian menarik napas panjang, “biarkan aku istirahat sebentar.”
Elena tersenyum lembut. Ia berdiri, lalu mengulurkan tangan.
“Ayo. Tidur.”
Adrian memandang tangannya, lalu memegangnya dan berdiri.
“Tapi kau—”
“Aku ada di sini,” katanya. “Kau bisa tidur tanpa takut sesuatu terjadi.”
Adrian naik ke tempat tidur perlahan, bukan dengan keraguan, tapi dengan berat hati karena ia terbiasa berjaga. Elena duduk di tepi ranjang, mengusap rambutnya pelan.
Dan hanya dalam beberapa menit… Adrian tertidur.
Wajahnya terlihat lebih tenang. Seolah untuk pertama kalinya sejak masa lalu memburunya, ia mendapatkan sedikit damai.
Elena menyentuh jemarinya sebentar. Gestur lembut yang tidak ia sadari terlalu romantis.
“Kau melindungiku… jadi biarkan aku menjaga hatimu.”
Ia tidak tahu Adrian mendengarnya atau tidak.
Tapi bibir pria itu bergerak sedikit.
Nyaris seperti tersenyum dalam tidur.
....
Satu Jam Kemudian...
Sensor pintu berbunyi klik kecil—bukan alarm, tapi tanda bahwa pintu utama terbuka dari luar.
Elena mengejang.
Adrian langsung terbangun, instingnya lebih cepat daripada pikirannya. Ia menggenggam tangan Elena dan menariknya berdiri.
“Di belakangku.”
Elena mematuhi tanpa perdebatan.
Sebastian mengetuk pintu kamar cepat.
“Adrian! Elena! Kalian harus melihat ini!”
Mereka keluar bersama.
Sebastian berdiri di ruang tamu dengan wajah yang biasanya dingin, tapi kini tampak… marah.
“Ini dilempar dari luar pagar,” katanya sambil menunjuk meja.
Di atas meja ada sebuah paket kecil, dibungkus kertas coklat tua, diikat dengan pita hitam tipis.
Elena menelan ludah.
“Kau… kau sudah memeriksanya?”
Sebastian mengangguk.
“Tentu saja. Tidak ada bahan berbahaya fisik. Cassian bukan tipe yang meledakkan rumah. Dia tipe yang mengoyak mental.”
Adrian mendekati paket dengan langkah pelan, matanya menajam.
Perlahan, ia membuka pita hitamnya.
Di dalam… hanya ada selembar foto.
Foto yang membuat darah Elena berhenti mengalir.
Itu adalah foto Elena tadi pagi, saat ia membuka jendela kamar Adrian. Kepalanya sedikit miring, rambutnya jatuh di bahu, wajahnya masih mengantuk dan polos.
Waktu foto: 05.12 AM
Sesuai waktu ketika Adrian masih berjaga.
Elena memegang mulutnya, tubuhnya melemah.
“Tidak…” bisiknya. “Ini tadi pagi… berarti…”
“Ya,” Sebastian mengunci rahang. “Dia sudah ada di luar rumah saat kalian tidur.”
Adrian menggenggam foto itu hingga kertasnya hampir sobek.
Wajahnya tidak marah.
Bukan dingin.
Bukan murka biasa.
Tapi sesuatu yang jauh lebih berbahaya. Ketakutan yang berubah menjadi gelap.
“Elena,” katanya, suaranya rendah hingga mengguncang udara, “mulai sekarang kau tidak boleh jauh dariku. Bahkan satu langkah.”
Elena menatapnya dan meski ia takut, ia melihat sesuatu lain di mata Adrian.
Ia melihat obsesi… Namun juga cinta.
Cinta yang melindungi, bukan mengekang.
Elena menggenggam tangannya.
“Aku di sini. Aku tidak pergi.”
Adrian menutup mata, menariknya ke pelukan.
Pelukan itu hangat… kuat… dan penuh ketakutan yang tak pernah ia ucapkan.
Sebastian berdiri di samping mereka dan berkata pelan, “Dengan ini… permainan Cassian sudah resmi dimulai.”