NovelToon NovelToon
1000 Hari Bersamamu

1000 Hari Bersamamu

Status: sedang berlangsung
Genre:Wanita Karir / Romantis / Cintamanis / Cinta Seiring Waktu / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Romansa
Popularitas:6k
Nilai: 5
Nama Author: Mardonii

Doni Pradipta, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef (Koki Pribadi) bagi Naira Adani, aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.

Pertemuan keduanya yang semula hanya soal pekerjaan perlahan berubah menjadi perjalanan penyembuhan dua hati yang sama-sama retak mencoba untuk bertahan. Di dapur itu, Naira menemukan kembali rasa aman, sementara Doni menemukan alasan baru untuk percaya pada cinta kembali.

Ikuti kisah mereka yang penuh emosi, tawa, dan luka yang perlahan sembuh.
Jangan lupa dukung karya ini dengan Like, Comment, dan Vote agar cerita mereka bisa terus berlanjut. 🤍✨

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 29. KETEGANGAN DI PAGI HARI

..."Cinta mereka lahir dari luka, tumbuh di batas yang tak boleh dilanggar, dan bertahan di antara kesalahan yang justru membuatnya manusiawi."...

...---•---...

Naira membuka surat dari pengacara. Matanya menelusuri kata-kata yang sudah ditunggu-tunggu: Surat Perintah Pengadilan - Dikabulkan.

"Seratus meter," bisiknya, jemari menelusuri kertas resmi itu. "Dia tidak boleh dekat."

Ratna tersenyum tipis dari seberang meja. "Dan investigasi polisi berjalan. Korban lain mulai muncul, Nona."

Naira mengangguk, napas yang tertahan selama minggu akhirnya terlepas. Tiga minggu berlalu sejak insiden di kantor polisi. Tiga minggu penuh ketegangan, menunggu keputusan hakim, menunggu dunia luar memutuskan apakah ia layak dilindungi.

Sekarang kertas ini, kertas dengan stempel resmi dan tanda tangan hakim adalah bukti bahwa suaranya didengar.

Ratna menutup laptopnya. "Media juga berubah. Dari spekulasi tentang Nona, sekarang fokus ke dugaan kejahatan Pak Rendra." Ia menunjukkan beberapa headline di layar. "Beberapa mantan pacar dia mulai bicara. Pola yang sama: manipulasi, kontrol, kekerasan yang halus tapi menghancurkan."

"Aku tidak sendirian." Suara Naira pelan, ada sesuatu yang kompleks di sana: lega, sedih, kemarahan untuk mereka semua. "Ada yang lain juga."

"Nona memulai efek domino. Karena Nona berani, yang lain ikut berani."

Naira menatap surat di tangannya. Seratus meter. Angka yang seharusnya membuat aman, tapi entah kenapa masih terasa rapuh. Rendra sudah tidak bisa menyentuh mereka, surat perintah menjamin itu. Tapi ancaman lain masih ada: pasal dua belas dalam kontrak Doni, lima ratus juta rupiah, dan media yang terus mengawasi, mencari cerita baru dari "koki misterius yang membela Naira Adani."

Di tengah kekacauan di luar, rumah di Dago Pakar jadi tempat berlindung. Tapi kenyataannya, ketegangan justru tumbuh dari sesuatu yang berbeda: perasaan antara Doni dan Naira yang makin sulit ditahan.

Mereka saling mengaku cinta dua minggu lalu. Sejak itu, setiap interaksi seperti menyimpan arus listrik halus. Sentuhan kecil bertahan lebih lama. Tatapan mata lebih dalam. Ucapan selamat malam terasa menggantung. Mereka berpisah tiap malam dengan rindu yang sama.

Sembilan ratus hari. Kini tinggal delapan ratus tujuh puluh.

Angka yang terasa terlalu lama dan tidak cukup dalam waktu bersamaan.

...---•---...

Pagi ini, Doni bangun dengan frustrasi yang sudah akrab. Mimpi tentang Naira terlalu hidup, terlalu dekat: kulitnya, suaranya, cara dia tertawa. Ia terbangun dengan napas pendek dan dada sesak, keringat dingin di pelipis.

Kontrak. Pasal dua belas. Denda lima ratus juta rupiah kalau ketahuan. Restoran yang bergantung pada dana dari kontrak itu. Semua itu membebani pikirannya seperti beban beton di dada.

Logika berkata: tunggu. Delapan ratus tujuh puluh hari bukan selamanya. Mereka bisa sabar.

Tapi tubuh dan hati bicara hal lain.

Ia menyiram wajah dengan air dingin, menatap pantulannya di cermin: mata berkantung, rambut berantakan. Pukul empat pagi, terlalu pagi bahkan untuk dirinya, tapi tidur sudah tidak mungkin. Ia turun ke dapur, berniat menyalurkan energi ke sesuatu yang produktif. Mungkin sarapan yang memerlukan banyak usaha. Apa pun untuk mengalihkan pikiran.

Tapi saat tiba di dapur, lampu sudah menyala.

...---•---...

Naira ada di sana. Duduk di meja dengan segelas teh, mengenakan jubah sutra tipis berwarna krem yang menangkap cahaya lampu dengan lembut. Rambutnya acak-acakan, wajah tanpa riasan. Ia terlihat rentan dan nyata.

"Tidak bisa tidur juga?" tanya Naira, suaranya serak dari kurang tidur.

"Mimpi buruk," jawab Doni cepat. Secara teknis, bukan mimpi buruk. Tapi jelas mengganggu.

"Tentang Sari?"

"Setengah benar." Belakangan, mimpinya campur aduk: Sari dan Naira, masa lalu dan sekarang, rasa bersalah dan hasrat yang berjalin padu sampai dia tidak bisa membedakan mana yang mana.

Naira menepuk kursi kosong di sebelahnya. "Duduk. Cerita sama aku."

Doni sempat ingin menolak, menjaga jarak aman. Tapi ada sesuatu dari suasana dini hari, dari Naira yang lembut dan setengah sadar, dari lampu redup yang membuat dunia terasa lebih kecil dan lebih aman yang membuat pertahanannya runtuh. Ia duduk. Masih memberi jarak, tapi cukup dekat untuk merasakan hangat tubuhnya, aroma lavender samar dari kulitnya: lembut, menenangkan, seperti sabun mandi yang baru saja dipakai.

Di luar, burung mulai berkicau samar. Dunia bangun perlahan, tapi di dapur ini, waktu terasa berhenti.

---•---

"Aku rasa aku lagi berjuang," ucap Doni akhirnya, jemarinya memutar cangkir kosong di depannya. "Dengan perasaan bahwa aku mengkhianati Sari. Setiap kali aku bahagia sama kamu, setiap kali aku tertawa atau merasa tenang, ada suara di kepala yang bilang aku tidak layak dapat ini. Bahwa aku seharusnya masih berduka."

"Doni, sudah lima tahun."

"Aku tahu. Secara logika, aku tahu. Tapi kesedihan itu tidak logis." Ia menatap tangannya sendiri, melihat bekas luka lama di jari telunjuk, luka bakar kecil yang tidak pernah hilang sempurna. "Dan perasaan baru ini membuat semuanya makin sulit. Aku cinta kamu, Naira. Sepenuhnya. Tapi aku juga masih cinta kenangan Sari. Aku tidak tahu bagaimana cara menyeimbangkan itu."

Naira menaruh gelas dengan bunyi pelan, klik lembut keramik di kayu. Lalu menatapnya. Matanya lembut, penuh pengertian. "Cinta itu bukan... kayak air yang habis kalau dibagi." Ia mencari kata-kata, jemarinya melingkar di cangkir hangat. "Kamu bisa cinta Sari dan tetap cinta aku. Itu beda. Dua bagian hidup yang beda."

"Secara rasional aku paham. Tapi secara emosional..." Doni menarik napas pelan, dadanya naik turun.

"Secara emosional, kamu masih merasa bersalah karena kamu orang baik. Kamu kehilangan dengan cara yang menyakitkan, dan rasa bersalah itu bagian dari proses, bukan bukti kalau kamu salah." Naira menggenggam tangannya. Sentuhan hangat itu membuat Doni mengeratkan jari secara refleks. "Sari ingin kamu bahagia. Kamu pernah bilang begitu. Jadi kenapa kamu menghukum diri sendiri karena bahagia?"

"Karena lebih mudah merasa bersalah daripada merasa rentan. Rasa bersalah itu akrab. Tapi ini..." Ia memberi isyarat pada jarak di antara mereka, ruang sempit yang terasa sekaligus terlalu lebar dan terlalu sempit. "Ini menakutkan. Aku jatuh cinta lagi, dan sebagian diriku takut dunia ini akan mengambil kamu juga."

"Kamu tidak dikutuk, Doni. Kamu selamat dari kehilangan, dan itu beda." Suara Naira merendah, hampir bisikan. "Cinta memang risiko, tapi alternatifnya apa? Hidup tanpa rasa? Aku sudah pernah hidup seperti itu. Tiga tahun di pernikahan yang dingin, di mana aku tidak boleh merasa apa pun kecuali apa yang dia izinkan. Itu bukan hidup, itu cuma bertahan. Aku tidak mau lagi. Dan aku tidak pikir kamu juga mau."

---•---

Doni menatap matanya. Ada keyakinan dan luka yang sama di sana, pantulan dari pengalaman yang berbeda tapi sama-sama meninggalkan bekas.

"Aku tidak mau. Aku mau ini. Mau kamu. Tapi aku juga takut apa artinya itu."

"Kalau begitu kita takut bareng. Satu hari, satu langkah." Naira mencondongkan tubuh sedikit. Aroma lavender samar dari rambutnya tercium lebih jelas. "Kita tahu rintangannya: kontrak, publik, trauma, kesedihan. Tapi Doni, aku tidak pernah merasa seaman ini. Dipahami begini. Dan aku tahu kamu juga merasakan hal yang sama."

"Aku merasakan." Suaranya nyaris bisikan, parau. "Kamu lihat semua sisi aku. Bahkan yang rusak. Dan kamu tetap di sini."

"Karena bagian itu yang membuat kamu nyata. Membuat kamu hidup." Naira mengangkat tangannya, menyentuh pipi Doni dengan lembut. Kulitnya hangat, jemarinya lembut. Ibu jarinya menelusuri tulang pipi, gerakan pelan yang membuat Doni menutup mata sebentar. "Dan aku cinta kamu, lebih dalam dari yang aku kira mungkin lagi."

Ketegangan yang mereka tahan berminggu-minggu akhirnya pecah. Doni menangkup tangan Naira, membaliknya, lalu mengecup telapak lembut itu. Gerakannya pelan, sarat hasrat yang tidak lagi bisa disembunyikan. Bibirnya berlama-lama di sana, merasakan denyut nadi di pergelangan tangan Naira: cepat, tidak teratur, sama seperti miliknya.

"Naira..." Suaranya parau, napasnya tidak teratur. "Kalau kita mulai sekarang, aku tidak yakin bisa berhenti. Dan kita masih punya delapan ratus tujuh puluh hari di kontrak itu. Waktu yang lama buat menahan sesuatu yang sudah kita mulai."

"Mungkin kita tidak harus menahan sepenuhnya," balas Naira pelan, suaranya bergetar sedikit. "Mungkin kita harus cukup pintar soal ini. Ambil yang bisa kita ambil di saat pribadi. Hati-hati di depan orang. Mungkin itu cukup."

"Atau malah membuat semuanya makin sulit. Karena kita tahu rasanya, tapi tidak bisa punya sepenuhnya."

"Jadi kamu mau apa? Pura-pura tidak ada apa-apa? Menunggu sampai kontrak selesai seolah perasaan bisa distop?" Nada frustrasinya terdengar, suaranya naik sedikit. "Aku sudah selesai berpura-pura. Aku ingin jujur. Sama kamu, sama diri aku sendiri."

Tiga tahun ia hidup dengan suara Rendra di kepalanya, memberitahu apa yang boleh ia rasakan, apa yang boleh ia inginkan. Tiga tahun ia jadi bayangan.

Tidak lagi.

"Aku sudah selesai berpura-pura." Suaranya tegas, suara yang dulu tidak pernah ia miliki.

"Aku juga ingin itu." Doni berdiri, butuh ruang untuk menenangkan napas yang makin cepat. Tangannya mencengkeram tepi meja, kayu keras di bawah telapaknya. "Tapi aku juga ingin melindungi kamu dari skandal, dari penilaian orang. Media sudah mulai berspekulasi. Kalau mereka dapat bukti..."

"Biarkan mereka spekulasi. Itu cuma omongan tanpa bukti. Setelah kontrak selesai, kita bisa terbuka." Naira ikut berdiri. "Aku bisa menunggu untuk yang publik. Tapi aku tidak mau menunggu untuk yang pribadi. Aku tidak mau delapan ratus tujuh puluh malam lagi tidur sendiri sementara orang yang kucintai cuma beberapa langkah dari kamarku."

Sekarang mereka berdiri begitu dekat. Doni bisa merasakan panas dari kulitnya, melihat detak halus di lehernya, cara dadanya naik turun dengan napas yang tidak teratur. Udara dini hari dingin di kulit yang terbuka, tapi di antara mereka, panas. Kontras yang membuat setiap sentuhan terasa seperti api. Tangannya mencengkeram tepi meja, buku jari memutih menahan kendali.

"Kamu benar-benar menguji aku," bisiknya, suaranya rendah, berbahaya.

"Mungkin itu maksudku. Mungkin aku cuma mau tahu kamu juga menginginkan aku." Telapak tangan Naira menempel di dadanya, merasakan degup cepat di balik kemeja tipis. Jantungnya berpacu keras, seperti ingin keluar dari tulang rusuk. "Tubuhmu sudah kasih jawabannya."

"Naira, kita seharusnya..."

"Seharusnya profesional? Kapal itu sudah berlayar, Don." Matanya tidak berkedip, tatapannya intens. "Aku sudah sabar seumur hidup untuk sesuatu yang nyata. Sekarang aku tidak mau lagi menunggu."

Ia berhenti sesaat. Napasnya bergetar. "Aku menginginkanmu, Doni. Sekarang. Ini. Kita. Dan aku tahu kamu juga mau."

Doni menutup mata sesaat, rahangnya mengeras. Setiap sel dalam tubuhnya menjerit ingin menyerah.

Logika berteriak: kontrak, risiko, konsekuensi.

Tapi hatinya, hatinya sudah memutuskan sejak lama.

Bertahun-tahun disiplin masih menahan, seperti rem yang aus tapi belum putus sepenuhnya.

"Aku mau," akhirnya ia ucapkan, membuka mata dan menatapnya langsung. "Tapi aku juga mau melindungi kamu. Dari semuanya."

"Kalau begitu lindungi aku dengan jujur. Berikan aku pilihan. Jangan putuskan untukku apa yang terbaik. Aku tahu risikonya. Dan aku tetap pilih kamu."

Kata-kata itu menghantam pertahanan terakhir Doni.

Diam. Hanya napas mereka yang terdengar: berat, tidak teratur.

Matanya turun ke bibir Naira. Kembali ke mata. Bertanya tanpa kata.

Naira tidak bergerak. Tidak mundur. Hanya menatap balik dengan tatapan yang bilang ya.

Semuanya runtuh seperti tembok yang sudah retak.

"Oke." Suaranya rendah, seperti menyerah pada sesuatu yang tidak terhindarkan.

Perlahan, sangat perlahan, tangan Doni terangkat, menyentuh wajah Naira. Jemarinya menelusuri garis rahang, tenggelam di rambut yang lembut. Jarak di antara mereka menyusut, napas mereka bercampur...

Jarak tinggal seinchi. Napas bercampur,

Kriet.

Suara lantai kayu di koridor atas. Langkah kaki. Dekat.

Jantung Doni berhenti sedetik. Adrenalin melonjak, tapi bukan dari hasrat, dari ketakutan tertangkap. Siapa? Pikirannya berpacu. Ratna? Tuti?

Mata Naira melebar, napasnya tertahan. Mereka berdiri membeku, seperti remaja yang hampir ketangkap basah.

Langkah menjauh. Pintu kamar mandi tertutup di kejauhan.

Napas terlepas: lega, frustasi, dan rindu yang belum selesai bercampur jadi satu.

Keheningan pecah. Fajar hampir tiba. Dunia luar kembali menuntut mereka untuk berhenti.

...---•---...

...Bersambung...

1
Ikhlas M
Loh Naira, jangan banyak makan-makan yang pedes ya nanti sakit perut. Kasian perutnya
Ikhlas M
Bisa jadi rujukan nih buat si Doni ketika dia ingin makanan sesuatu yang dingin
Ikhlas M
Pinter banget sih kamu Don. Aku jadi terkesan banget sama chef terbaik kayak kamu
Ikhlas M
Akhirnya dia mau makan juga. Terbaik banget sih kamu Don. Chef paling the best se jagat raya
Ikhlas M
betul banget. Memang makanan lokal juga gak kalah hebatnya di bandingan makanan luar
Iyikadin
Biasanya orang yang paling kita cintai adalah orang yang paling menyakiti juga😭
☠ ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAthena
ada mslh apa sebenrnya sama naira, hingga dia jd terpuruk kyk gtu, smg masskanmu bs mmbuat naira kmbli hidup Doni
☠ ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAthena
krn selera mknnya udh nggk ada doni, coba km buat mdkn yg baunya menggugah selera, jd nnt saat namira mencium bau mskn km dia jd ingin mkn
Rezqhi Amalia
nah betul. si pemilik rumah aja gak masalah tu
Rezqhi Amalia
ya gtu sih, satu laki laki saja berbuat kesalahan, pasti semua laki laki disamakan. begitu pula sebaliknya😭🤣
Rezqhi Amalia
seperti biasa Thor, pbukaan yg bagus🥹
Cahaya Tulip
Asal Ratna ga tau..klo pun tau tenang aja don, Naira pasti membelamu. yang penting nasi gorengnya jangan lupa pakai terasi 😁👍
@dadan_kusuma89
Ternyata kau sudah memikirkan sampai sedalam itu, Don. Aku salut denganmu, bukan hanya rasa di lidah yang kau utamakan, namun lebih dari itu, selain enak juga harus sehat.
@dadan_kusuma89
Filosofi dalam setiap resep racikan yang kau ciptakan selalu mengandung unsur penawar, Don. Meski tanpa kata ataupun ramuan herbal, namun jika rasa yang ditimbulkan memiliki kekuatan hakiki, maka semua itu bisa menjadi pendorong semangat hidup.
☕︎⃝❥Ƴ𝐀Ў𝔞 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ℘ℯ𝓃𝓪 🩷
mungkin krn klean mulai dekat, jd Naira ingin lebih kenal, paham & berempati sama kmu Don 🤭
Muffin
Betul mereka punya luka kehilangan yang sama. Hanya beda cara bersikap aja. Kalau naira lebih menutup diri
Muffin
Teratur sekali yaa hidup naira. Aku aja kadang makan pagi dirapel makan siang 🤣
LyaAnila
dia goreng nasi goreng lagi kah? kalau iya, pasti baunya harum. ahjadi pengen🤭
PrettyDuck
hwaaaa kalo ketauan pengacaranya jadi masalah gak nih? tapi syukur2 naira gak jadi mati kelaperan kann 😭
PrettyDuck
akhirnya makan kau nairaa! udah 8 bab si doni nungguin biar kamu makan 🫵
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!