NovelToon NovelToon
Ketika Takdir Menemukan Langit

Ketika Takdir Menemukan Langit

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / CEO / Office Romance
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Lacataya_

Embun Nadhira Putri, 28 tahun, terjebak antara tuntutan pekerjaan dan desakan keluarganya untuk segera menikah. Ketika akhirnya mencoba aplikasi kencan, sebuah kesalahan kecil mengubah arah hidupnya—ia salah menyimpan nomor pria yang ia kenal.

Pesan yang seharusnya untuk orang lain justru terkirim kepada Langit Mahendra Atmaja, pria matang dan dewasa yang tidak pernah ia pikirkan akan ia temui. Yang awalnya salah nomor berubah menjadi percakapan hangat, lalu perlahan menjadi sesuatu yang jauh lebih berarti.

Di tengah tekanan keluarga terutama sang Mama, rutinitas yang melelahkan, dan rasa takut membuka hati, Embun menemukan seseorang yang hadir tanpa diminta.
Dan Langit menemukan seseorang yang membuatnya ingin tinggal lebih lama.

Terkadang takdir tidak datang mengetuk.
Kadang ia tersesat.
Kadang ia salah alamat.

Dan kali ini…
takdir menemukan Langit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22 – Pertemuan Yang Belum Dikenali

Embun terbangun bukan karena sinar matahari yang menyusup lewat celah tirai, bukan juga karena alarm yang seharusnya berbunyi sejak empat puluh menit lalu, melainkan karena suara Mama Raina yang mengetuk pintu kamarnya pelan sambil memanggil dengan nada lembut yang justru membuat jantungnya meloncat karena panik.

“Bun? Sudah bangun sayang? Mama buatkan roti bakar.”

Embun langsung membuka mata lebar-lebar, menyadari betapa berat kelopaknya setelah tidur terlalu larut hanya demi sebuah percakapan telepon yang—ia harus akui—bernilai lebih berharga daripada tidur delapan jam. Rambutnya acak-acakan, kaos tidurnya kusut, dan pikiran pertamanya bukan tentang sarapan… melainkan tentang jam.

Ia melirik ponsel. 07.48 pagi.

Detik itu juga Embun bangun seperti pegas, kaki menyentuh lantai dingin dan tubuhnya terhuyung sedikit. “YA AMPUN!” serunya tanpa suara, hanya gerak bibir panik. Ia menyambar handuk, lalu setengah berlari ke kamar mandi sambil menyalahkan dirinya sendiri karena terlalu menikmati suara seseorang yang bahkan namanya saja ia tidak tahu.

Air shower jatuh mengenai kulitnya, dan di sela-sela gemericik itu, Embun bisa merasakan sisa-sisa percakapan semalam masih tertinggal seperti aroma lembut yang menempel di tubuh. “Mister dan Miss…” Ia menutup wajahnya dengan satu tangan, merasakan pipinya menghangat hanya karena mengingat tawa pelan pria itu.

Kenapa suaranya bisa sepanas itu? Kenapa bisa terngiang sampai pagi begini?

Selesai mandi, Embun mengenakan blus warna putih yang bersih dan rok kain hitam yang ia pilih karena terlihat profesional namun tetap nyaman. Wajahnya ia rapikan seadanya, dengan sedikit bedak dan lip tint yang membuatnya tampak segar meskipun matanya sedikit sembap karena kurang tidur.

Ketika ia keluar kamar, aroma roti bakar menyambutnya di ruang makan, bercampur dengan wangi teh manis yang selalu menjadi andalan Mama Raina untuk membuka hari. Sang mama masih berdiri didekat meja sambil membuka laptopnya diatas di meja, rambutnya disanggul rapi seperti kebiasaannya setiap pagi. Namun ada sesuatu yang berbeda hari itu—tatapan kecil yang cukup untuk membuat Embun tahu bahwa ia tidak bisa menunda percakapan yang sudah menumpuk selama dua bulan itu.

“Bun, sini. Mama buatin dua roti, soalnya kayanya kamu capek banget.” Mama Raina mendorong piring ke arahnya.

Embun duduk, menggenggam cangkir teh hangat di kedua tangan, membiarkan uapnya menghangatkan wajah dan sedikit mengusir ketegangan yang sudah ia simpan terlalu lama.

“Ma…” suara Embun terdengar lebih kecil dari yang ia rencanakan.

“Hm?” Mama Raina mengunyah roti sambil menatap Embun dengan mata penuh kelembutan.

“Aku hari ini izin masuk siang… soalnya ada interview kerja.”

Mama Raina berhenti mengunyah. Alisnya naik sedikit. “Interview? Untuk posisi apa, Bun?”

Embun menarik napas panjang, merasakan tenggorokannya mengganjal, seperti ada batu kecil yang ingin turun namun tertahan di tengah jalan.

“Ma… aku sudah ajukan resign dua bulan yang lalu.” Begitu kalimat itu keluar, Embun menunduk perlahan, memegang cangkir lebih erat.

Meja makan terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Bahkan jam dinding terdengar lebih keras.

Mama Raina meletakkan rotinya perlahan, membiarkan keheningan itu berlangsung sejenak sebelum ia bicara. “Kamu resign?” suaranya tidak marah—hanya terkejut. “Kenapa? Posisimu di sana stabil sekali. Kamu bahkan dipercaya memegang HR dan IT.”

Embun mengangkat wajahnya, menatap Mama dengan mata yang menunjukkan campuran takut dan lega. “Justru itu, Ma. Posisinya stabil… tapi bukan aku. Aku nggak bahagia di sana. Aku kerjanya ngelakuin hal-hal yang bukan passion aku, bukan bidang yang aku pelajari bertahun-tahun. Aku lulusan pemrograman, Ma. Aku engineer. Aku programmer. Tapi enam tahun ini aku cuma pakai otak kanan buat urus manusia dan arsip dan prosedur. Meskipun aku tetap bersyukur, tapi… itu bukan dunia aku.”

Mama Raina tidak langsung membalas. Ia bersandar ke kursi, memperhatikan putrinya lama-lama, memperhatikan bagaimana Embun menggigit bibir bawahnya, memperhatikan bagaimana bahunya sedikit gemetar karena menahan sesuatu yang sudah terlalu lama ia simpan sendirian.

“Aku mau balik ke jalur yang benar, Ma. Aku mau kerja sebagai programmer seperti dulu yang aku impikan. Dan… hari ini aku interview untuk perusahaan impian aku sejak dulu.”

Mama Raina akhirnya tersenyum. Senyum yang tidak lebar, tapi tulus—senyum yang hanya muncul ketika seseorang benar-benar mengerti.

“Bun…” Mama Raina meraih tangan Embun, menggenggamnya dengan hangat. “Mama tidak pernah memaksa kamu untuk tinggal di tempat yang membuat kamu merasa sesat. Mama cuma ingin kamu baik. Sehat. Dan bahagia. Kalau kamu merasa jalan kamu bukan di sana, ya sudah… jangan di sana.”

Embun mengerjap cepat, menahan air matanya. “Ma… aku takut Mama kecewa.”

“Kecewa?” Mama Raina menggeleng sambil terkekeh pelan. “Kamu anak Mama, Bun. Bukan karyawan Mama. Yang kamu butuhkan itu pekerjaan yang membuat kamu merasa hidup, bukan pekerjaan yang membuat Mama bangga tapi kamu tersiksa. Keputusan kamu ini bukan bikin Mama kecewa… tapi bikin Mama merasa kamu dewasa. Kamu berani mengambil keputusan untuk dirimu sendiri.”

Embun menghela napas panjang—napas lega yang tidak pernah ia rasakan selama berhari-hari.

“Mama dukung kamu. Dimanapun kamu bekerja, apapun yang kamu pilih. Selama kamu tidak bohong sama Mama dan diri sendiri.”

Perlahan, Embun tersenyum, dan di depan sarapan sederhana itu, ia merasa seluruh beban yang selama ini ia pikul perlahan jatuh satu per satu.

“Aku melamar di Atmaja Group, Ma. Hari ini interviewnya… jam sembilan.”

Mata Mama Raina membesar, kagum dan bangga bercampur jadi satu, bukan terkejut karena Embun resign, tapi terkejut karena putrinya berani kembali mengejar mimpi lamanya.

“Atmaja Group? Itu perusahaan besar sekali, Bun.”

Embun mengangguk pelan. “Iya, Ma. Tapi aku sekarang lebih siap.”

Mama Raina meremas tangannya, penuh kasih. “Kalau begitu, Mama doakan kamu berhasil. Jalan kamu sudah kamu pilih… sekarang tinggal kamu tapaki dengan yakin.”

Pagi itu, Embun bangkit dari kursi bukan hanya sebagai seseorang yang akan interview, tapi sebagai seseorang yang untuk pertama kalinya dalam waktu lama… merasa didukung sepenuhnya.

Gedung Wiratama Law Firm**

Pagi itu, lantai delapan terasa berbeda—lebih sunyi, lebih elegan, lebih… berwibawa. Tidak seperti lantai-lantai lain yang ramai dengan paralegal, staf administrasi, dan antrean fotokopi, lantai ini seperti dunia yang terpisah: ruang-ruang kaca bening, karpet tebal yang meredam langkah kaki, aroma kopi premium, dan udara yang dipenuhi aura para pengacara eksekutif yang terbiasa menangani kasus miliaran.

Di antara suasana itu, Bia berdiri dengan tas dan beberapa gody bag di tangan, menatap meja barunya.

Meja kerja itu tidak besar, tapi posisinya strategis—tepat di depan ruangan Angkasa, disebelah meja pak Amar (assisten Pak Dirga dan Angkasa) dan cukup dekat dengan ruang meeting kecil yang sering dipakai untuk diskusi tertutup. Meja kayu coklat gelap itu tampak bersih, rapi, dengan kursi ergonomis yang masih mengilap seperti baru keluar dari kotak. Ada nameplate kecil bertuliskan:

A. D. Prameswari Paralegal – Executive Division

Bia tersenyum kecil. Senyum yang hanya muncul ketika ia merasa bangga… dan gugup sekaligus.

Ada sesuatu di dalam dadanya yang berdebar—campuran antusiasme, rasa syukur, dan sedikit canggung karena hari ini ia akan bekerja sehari-hari dengan Angkasa Wiratama, orang yang namanya saja membuat banyak paralegal menghela napas kagum (atau ketakutan).

Ia merapikan map, menarik napas halus, lalu menarik kursi. Baru ia ingin duduk—

—ting! Suara lift eksekutif berbunyi.

Insting profesional Bia langsung membuatnya berdiri kembali, merapikan kemeja, dan menoleh.

Dari dalam lift keluar dua sosok.

Pak Dirga, dengan setelan abu-abu tua yang membuatnya tampak seperti pemimpin perusahaan internasional—tenang, wibawa tinggi, namun tatapannya pagi ini tampak lebih hangat dari biasanya.

Dan di sampingnya… Angkasa.

Hari ini ia memakai kemeja hitam yang digulung sedikit di lengan, blazer tergantung di lengannya, dan rambut rapi yang entah bagaimana membuatnya terlihat seperti karakter utama drama hukum.

Bia langsung menunduk hormat. “Selamat pagi, Bapak-Bapak.”

Pak Dirga tersenyum tipis dan mengangguk ramah. “Pagi, Bia. Sudah siap mulai di sini?”

“Sudah, Bapak.” suaranya stabil, meski detak jantungnya tiba-tiba lebih cepat.

Sementara itu, Angkasa… hanya mengangguk kecil. Tidak ada suara yang keluar.

Dan tanpa menunggu satu detik pun, ia langsung jalan cepat menuju ruang kerjanya—atau lebih tepatnya melarikan diri. Pintu ruangannya tertutup pelan.

Dari luar, Bia hanya melihat sosok dingin, profesional, dan sibuk seperti biasa.

Ia tidak melihat apa yang terjadi di balik pintu itu.

Begitu pintu ruangannya menutup, Angkasa bersandar pada kayu itu, menutup mata, dan mencoba menarik napas panjang.

‘Okay. Calm down. Itu cuma sapaan… cuma “pagi bapak-bapak”… santai dong. Kenapa tiba-tiba jantung gue kayak dibanting ke lantai?’

Ia menaruh berkas di meja, tapi tangannya sempat gemetar tipis sehingga kertas sedikit meleset.

‘Ya Tuhan… kenapa dia harus senyum waktu ngomong tadi? Kenapa harus formal tapi manis? Kenapa harus keliatan… cantik gitu?’

Ia berjalan ke meja, duduk… lalu berdiri lagi tanpa alasan. Ia membuka laptop… menutupnya kembali. Ia mengambil pulpen… menjatuhkannya ke lantai.

Angkasa Wiratama. Pengacara muda paling garang di ruang sidang. Pria yang dikenal dingin, tidak mudah terpengaruh, dan selalu menang.

Hari ini… hancur berantakan hanya karena seorang perempuan menyapanya dengan kalimat sederhana.

‘This is ridiculous. Gue nggak boleh kayak gini di depan Daddy…’

Tapi terlambat. Pak Dirga sudah melihat perubahan sikapnya sejak kemarin.

*

Pak Dirga mengetik sesuatu di tablet sebelum masuk ke ruangannya sendiri. Namun matanya sempat terarah pada pintu ruang Angkasa yang barusan ditutup.

Ada senyum kecil… nyaris tak terlihat… tapi hangat.

Senyum seorang ayah yang tahu persis apa yang sedang dialami anaknya—dan merasa geli karenanya.

‘Begitu rupanya kalau Angkasa mulai tertarik pada seseorang. Aku sudah pernah bilang pada almarhumah Mommynya dulu, anak ini kalau jatuh hati pasti kacau sekali…’

Ia menggeleng kecil, lalu masuk ke ruangannya.

Sementara itu, Bia kembali memandang meja barunya. Ia tidak tahu apa-apa tentang kekacauan emosional yang sedang terjadi beberapa meter di belakang pintu kaca itu.

Baginya, ini hanyalah hari pertama bekerja keras di lantai para eksekutif. Hari pertama membuktikan bahwa ia pantas berada di sini. Dan hari pertama meraih kesempatan besar yang mungkin mengubah seluruh arah kariernya.

Ia menata pena, membuka laptop, mengecek email Angkasa yang masuk semalam, dan mencatat jadwal rapat pagi ini.

Tidak ada senyum berlebihan. Tidak ada gejolak hati yang ia sadari. Hanya ada dedikasi. Namun di sudut hatinya… ada sedikit rasa hangat karena ia percaya—ini awal sesuatu yang besar.

**

Embun berdiri di depan gedung Atmaja Group dengan detak jantung yang terasa sedikit lebih cepat dari biasanya—bukan cepat karena panik, tetapi cepat karena tempat ini pernah menjadi mimpi yang ia kubur dalam-dalam selama enam tahun. Dan kini, di pagi yang cerah namun sejuk itu, ia berdiri tepat di bawah bayangan gedung yang menjulang, dengan cahaya matahari memantul di kaca-kaca birunya hingga menimbulkan kilauan seperti serpihan harapan kecil yang beterbangan di udara.

“Bismillah…” ucapnya pelan, menatap pintu otomatis yang terbuka dan menutup seolah mengundang sekaligus menantang.

Embun melangkah masuk. Udara dingin dari AC lobby menyambutnya seperti tepukan pelan di bahu. Aroma karpet baru, wangi kopi yang diseduh dari lantai mezzanine, dan langkah kaki para karyawan yang tampak profesional dengan badge masing-masing membuat Embun teringat lagi bahwa ini bukan sekadar gedung—ini adalah dunia yang dulu pernah ia impikan.

Dengan tangan yang sedikit berkeringat, ia menekan tombol lift. Layar di atas pintu menunjukkan angka 10—lantai yang menjadi tujuannya.

Dalam lift, Embun memandangi pantulan dirinya. Blus putihnya rapi, roknya pas, rambutnya terikat setengah, wajahnya dibalut riasan tipis namun cukup untuk menutupi rasa lelah semalam. Matanya… ah, matanya sedikit berbinar, campuran antara nervous dan excited yang tidak bisa ia sembunyikan.

Begitu lift berbunyi ting dan pintu bergeser perlahan, lantai sepuluh menyambutnya dengan suasana yang sedikit berbeda dari lantai bawah: lebih tenang, lebih profesional, dengan dinding abu lembut dan tulisan “Human Resources & IT Division” yang terukir elegan di depan.

Koridor itu terasa panjang. Embun berjalan dengan langkah perlahan, seakan tidak ingin membuat suara sepatunya terlalu keras. Ia berhenti di depan ruang interview, duduk di kursi tunggu yang disediakan.

Di atas pangkuannya, ia meremas kedua tangan, mencoba mengatur napas. Ia mencoba mengingat jawaban untuk pertanyaan umum interview. Ia mencoba mengatur ulang script yang sudah ia siapkan.

Namun… satu pikiran kecil mengganggu: Mister. Suara si Mister dan tawa si Mister.

Kenapa dia harus ingat itu sekarang? Embun menggeleng, memijit pelipisnya sambil menghembuskan napas panjang.

Di saat yang sama, lift di ujung koridor berbunyi pelan—suara yang lembut namun cukup untuk membuat Embun secara refleks mengangkat wajah, meski ia tidak benar-benar memperhatikan siapa yang keluar.

Yang turun dari lift adalah seseorang dengan postur tinggi, punggung lebar, kemeja hitam yang rapi namun sederhana, serta aura tenang yang tidak berusaha menarik perhatian tapi justru sulit untuk diabaikan. Langit berjalan dengan tangan di saku celananya, ditemani dua staf HR yang membawa tablet dan dokumen.

Ia baru saja selesai meeting singkat tentang evaluasi sistem assessment internal, sebuah hal yang biasanya ia selesaikan tanpa banyak ekspresi. Hari ini pun tidak berbeda—wajahnya datar, fokus, hanya sedikit lelah karena semalam tidurnya tidak nyenyak.

Bukan karena pekerjaan. Bukan karena rapat. Tapi karena satu suara lembut yang terus bermain di kepalanya.

Namun begitu ia berjalan melewati deretan kursi tunggu, ia memperlambat langkah. Tanpa alasan jelas. Tanpa komando dari pikirannya.

Mungkin karena warna biru lembut yang dikenakan Embun menyita sudut matanya. Mungkin karena cara gadis itu duduk dengan kedua tangan saling menggenggam di pangkuan membuatnya terlihat… rapuh sekaligus kokoh. Mungkin karena ada sesuatu pada kehadiran Embun—sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan namun membuat langkahnya berubah tanpa ia sadari.

Langit menoleh sedikit. Hanya sedikit dan sekilas  Tapi cukup untuk membuat dunia sekitarnya melambat.

Embun juga ikut menoleh karena ia merasakan pergerakan seseorang di dekatnya.

Dan dalam sepersekian detik itu— tatapan mereka bersentuhan. Tidak lama. Tidak intens. Tidak dramatis. Hanya pertemuan singkat dua pasang mata yang tidak saling mengenal… tapi terdiam sejenak.

Mata Embun membulat sedikit saat melihat seorang pria lewat—entah kenapa aura pria itu terasa familiar, meski ia yakin belum pernah bertemu. Hanya kesan halus yang menempel: bahwa orang ini tampak… dewasa, tenang, dan membawa energi yang sulit dijelaskan.

Langit juga merasakan sesuatu, sesuatu yang membuat alisnya naik sedikit. Ada sesuatu yang terasa familiar pada wajah gadis itu—lembut, jernih, dan entah kenapa terasa dekat, seakan ia pernah mendengar versi lain dari dirinya.

Namun tidak ada yang saling menyapa. Tidak ada yang saling menyadari bahwa tadi malam mereka berbicara selama hampir dua jam. Tidak ada yang tahu bahwa suara yang membuat Langit tidak bisa tidur itu… sedang duduk hanya beberapa langkah darinya. Dan tidak ada yang tahu bahwa pria yang membuat Embun tidak berhenti memikirkannya… baru saja menatapnya dari jarak yang begitu dekat.

Langit melanjutkan langkahnya. Staf HR mengikut dari belakang. Embun menunduk lagi, berusaha mengatur napasnya yang entah kenapa mendadak tidak stabil.

Langit, yang sudah lima langkah menjauh, tiba-tiba menoleh lagi—sangat cepat dan nyaris tidak terlihat oleh orang lain—sekadar memastikan bahwa kesan aneh tadi bukan halusinasinya.

Gadis itu masih duduk di sana. Menunggu dengan tenang, menggenggam kedua tangannya.

Dengan blus biru lembut… dan aura tenang yang terasa familiar.

Satu hal tiba-tiba melintas di kepalanya: Miss. Entah kenapa, satu kata itu muncul begitu saja.

Langit mengerutkan kening, menyadari betapa absurdnya pikiran itu. Ia mengalihkan pandangan dan menuju ruang kerja HR untuk mengambil dokumen yang tertinggal.

Embun, di kursi tunggu, menatap ke depan lagi. Namun jantungnya… masih sempat berdebar tanpa sebab.

“Siapa tadi…” gumamnya pelan, tanpa suara.

**

tbc

1
Bia_
ferdi lu bener bener ya,
Al_yaa
greget banget sama bab ini, gak sabar nunggu lanjutannya, updatenya bisa langsung 5 bab gak thor,penasaran bangettt
Al_yaa
cepatt cari orang bodoh itu papiiii
Al_yaa
cefatt rekrut diaa langitttt
KaosKaki
rasakno koe fer
KaosKaki
boleh gak berkata kasar buat di Ferdi /Panic//Panic/
Bubuuu
ceritanya bagus banget 👍👍😍😍
Al_yaa
yg buat virus perempuan, diremehin pulak tapi bikin satu gedung gonjang ganjing /Joyful/
aRa_
hebat banget embun, langsung ulti si Ferdi pake virus biar kicep
aRa_
bajigur banget si Ferdi /Panic/
aRa_
baru telponan aja udh deg degan ya embun
Al_yaa
ferdi, lo syibal banget yakk/Angry/
Al_yaa
pandangan pertama awal aku berjumpa /Hey//Hey/
Al_yaa
one step closer langit, berawal dari callan lama lama video callan dehhh
Bia_
akhirnya akhirnya /Scream/
Bia_
yaloh mereka udah Callan aja
KaosKaki
huuwwaaa akhirnya mereka ketemu tapi gak kenal /Sob//Sob//Sob/
KaosKaki
ada apa inih, kenapa bapaknya angkasa nongol. tor ada apa ini coba jelaskan
KaosKaki
bener bener dah ya, embun sama langit udah kaya anak abg banget /Facepalm/
Bia_
wow apakah akan ada plot twist Pemirsa 🤭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!