Lima mahasiswa mendaki Gunung Arunika untuk hiburan sebelum skripsi. Awalnya biasa—canda, foto, rasa lelah. Sampai mereka sadar gunung itu tidak sendirian.
Ada langkah ke-enam yang selalu mengikuti rombongan.
Bukan terlihat, tapi terdengar.
Dan makin lama, makin dekat.
Satu per satu keanehan muncul: papan arah yang muncul dua kali, kabut yang menahan waktu, jejak kaki yang tiba-tiba “ada” di tengah jejak mereka sendiri, serta sosok tinggi yang hanya muncul ketika ada yang menoleh.
Pendakian yang seharusnya menyenangkan berubah jadi perlombaan turun gunung… dengan harga yang harus dibayar.
Yang naik lima.
Yang turun… belum tentu lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irmann Nhh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27 UNIVERSE ARUNIKA— Bukan Kita Lagi yang Dicari
POV KAYLA
Malam itu, langit terlihat seperti kertas terbakar—hitam tapi berisik.
Angin tidak bertiup, tapi tirai bergerak sendiri.
Kata Sari, “ini cuma gejala psikis… ruang kosong dalam otak yang memori traumanya aktif.”
Tapi aku tahu, ada sesuatu yang mengamati.
Jam 01:12.
Aku bangun karena suara langkah dari luar kamar.
Bukan langkah manusia… tapi dengkuran tercekik, seperti kaki yang tidak diajarkan cara berjalan.
Aku pikir itu halusinasi.
Sampai pintu kamar bergetar tiga kali, bukan diketuk.
Sari terbangun dari sofa dan berjalan ke arah suara.
Raka membuka pintu kamar dan berdiri di tengah lorong.
Kami bertiga memandangi pintu masuk itu lama sekali, tanpa berani mendekat.
Tidak ada angin.
Tidak ada suara.
Lalu bau tanah basah masuk melalui celah pintu—bau yang hanya kami kenal dari jalur sebelum gerbang Arunika.
Sari akhirnya menyentuh gagang pintu…
tapi tiba–tiba dari bawah pintu muncul jari manusia
— kelabu, kurus, kotor, seperti mayat yang dipaksa bangun sebelum waktunya.
Jari itu bergerak seperti meraba lantai…
mencari sesuatu.
Aku menjerit.
Sari mundur.
Raka justru mendekat.
Jari itu merayap ke arah kaki Raka, tapi sebelum menyentuh, Raka berkata pelan:
> “Kalau kamu datang untuk kami… kamu terlambat.
Kami bukan pintu yang terbuka lagi.”
Jari itu membeku, seolah mengerti arti kata–kata itu.
Dan perlahan… jari itu ditarik kembali ke bawah pintu.
Tapi belum hilang sepenuhnya…
suara dari luar pintu berkata, suara perempuan serak:
> “Kalau bukan kalian… siapa yang akan kami gantikan?”
Sari langsung memegang dadanya, hampir pingsan.
Aku menahan napas, tubuh membeku seperti es.
Raka tidak mundur.
“Tidak ada yang digantikan,” katanya tegas.
Suara itu menjawab—seperti ratusan suara perempuan berbicara sekaligus:
> “Tidak ada pintu yang tertutup sendirian.
Kalau kalian bukan pengganti… maka kalian penjaga.”
Udara menjadi dingin seperti dalam freezer.
Lampu berkedip keras.
Dan untuk pertama kalinya sejak Raka kembali… bayangan muncul di lantai.
Bukan bayangan tubuh kami.
Bayangan tiga sosok berdiri di belakang Raka—tubuh gemetar, kepala tergantung, seperti pendaki yang hilang sejak dulu.
Mereka tidak punya wajah.
Hanya lubang hitam tempat mata seharusnya berada.
Kayla menutup mulut untuk menahan jeritan.
Sari mundur sambil meraih pisau dapur insting.
Raka tetap menghadap pintu, tidak bergerak.
Bayangan tiga pendaki itu membuka mulut mereka bersamaan—tidak bersuara, tapi ASAP keluar dari mulut bayangan dan mengisi ruangan.
Sari mulai batuk.
Kayla mulai sesak napas.
Raka terdorong mundur… tapi tetap tegak.
Lalu salah satu dari bayangan itu menunjuk gelang di meja
— gelang biru yang kini memantulkan cahaya dingin.
Ukirannya berubah tepat di depan mata kami.
Huruf demi huruf, ukiran muncul:
> JAGA YANG DATANG
Bayangan pendaki itu menghilang seketika—seolah dibakar dari dalam oleh perintah itu.
Bau tanah hilang.
Jari hilang.
Asap hilang.
Tapi ketakutan tidak hilang.
Kami bertiga hanya berdiri, terengah, tidak percaya apa yang baru terjadi.
Raka akhirnya bicara—lembut, tapi sangat serius:
> “Mereka bukan nyari korban lagi.
Mereka nyari seseorang yang bisa menghentikan siklusnya.”
Kayla jatuh terduduk, menangis tanpa suara.
“Kenapa kita? Kenapa kita lagi?”
Raka meraih bahuku.
“Karena kita satu–satunya orang yang kembali tanpa menggantikan siapa pun.”
Sari meremas pisau—tidak untuk menyerang, tapi untuk grounding agar tidak jatuh mental.
“Kalau kita gagal jaga yang datang… berarti daftarnya mulai lagi dari orang lain.”
Sunyi menghantam keras.
Gelang di meja bergetar sendiri… lalu bergerak ke tepi dan jatuh ke lantai seperti dilempar oleh sesuatu yang tidak terlihat.
Di lantai, ukirannya berubah lagi.
Sangat jelas.
Sangat dingin.
Sangat tak bisa disalahpahami.
> MEREKA SUDAH DALAM PERJALANAN.
Aku ingin muntah.
Sari memejamkan mata.
Raka hanya menunduk—tidak kaget, tapi siap.
“Ini bukan tentang kita lagi,” katanya pelan.
“Ini tentang pendaki berikutnya.”
Kayla menatap Raka dengan mata ketakutan:
“Maksud kamu… kita harus ke Arunika lagi?”
Raka menggeleng pelan.
“Kali ini kita nggak naik gunung untuk bertahan hidup.
Kita naik gunung untuk menghentikan yang mati mengambil yang hidup.”
Lampu padam.
Dan dalam gelap itu, suara bukan manusia berkata sangat pelan… seperti tepat di belakang telinga kita semua:
> “Selamat datang kembali, penjaga pintu.”
pintu tertutup terbuka aja
lama banget horonrnya datang
geram sekali sama mereka main kabur aja
terasa banget horor nya.
aku suka horor