Jessy Sadewo memiliki segalanya: kecantikan mematikan, kekayaan berlimpah, dan nama yang ditakuti di kampus. Tapi satu hal yang tak bisa dia beli: Rayyan Albar. Pria jenius berotak encer dan berwajah sempurna itu membencinya. Bagi Rayyan, Jessy hanyalah perempuan sombong.
Namun, penolakan Rayyan justru menjadi bahan bakar obsesi Jessy. Dia mengejarnya tanpa malu, menggunakan kekuasaan, uang, dan segala daya pesonanya.
My Forbidden Ex-Boyfriend adalah kisah tentang cinta yang lahir dari kebencian, gairah yang tumbuh di tengah luka, dan pengorbanan yang harus dibayar mahal. Sebuah roman panas antara dua dunia yang bertolak belakang, di mana sentuhan bisa menyakitkan, ciuman bisa menjadi racun, dan cinta yang terlarang mungkin adalah satu-satunya hal yang mampu menyembuhkan — atau justru menghancurkan — mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7
Suasana di koridor yang sepi setelah kejadian itu masih terasa tegang. Nita mendengus keras, wajahnya masih merah padam oleh gabungan rasa malu dan marah.
"Sok tau banget sih tu cowok!" serunya, menendang ujung sepatunya yang mahal ke dinding beton. "Lo emang harus sih depak dia dari kampus ini," ujarnya pada Jessy, matanya menyala-nyala. "Udah miskin tapi belagu lagi."
Jessy menatap lekat pada sahabatnya itu. Ekspresi wajah Nita yang penuh kebencian tiba-tiba terasa asing dan... kekanak-kanakan. Dalam benaknya, gema kata-kata Rayyan masih terdengar jelas, logis, dan tak terbantahkan.
"Menurut gue bener sih apa kata Rayyan," ucap Jessy perlahan, suaranya datar namun penuh keyakinan.
Nita terkesiap, matanya membelalak. "Kok lo malah belain dia sih? Gue tau lo suka sama Rayyan. Tapi gue kan sahabat lo!" protesnya, suaranya semakin tinggi dan emosional.
"Sekarang dengerin nih kata sahabat lo ini!" seru Jessy, akhirnya tak bisa menahan diri. Langkahnya mendekat, menatap Nita langsung. "Ini bukan pertama kalinya si Andre ketauan selingkuh, kan? Mau berapa kali lagi lo sadar kalo dia brengsek?"
Nita tertegun. Pipinya yang semula merah karena marah, kini memudar. Kebenaran itu menyakitkan, dan dia berusaha mati-matian untuk menyangkalnya. "Tapi, Jes..." suaranya melemah, penuh dengan harapan yang putus asa.
"Tapi apa lagi? Lo cinta mati sama dia?" potong Jessy, tak memberi ruang untuk pembelaan. "Tapi dia nggak tuh ke lo. Buktinya dia menclok sana sini."
Sekarang Nita benar-benar tersinggung. "Kok lo malah jadi nyalahin Andre sih, Jes? Udah jelas yang salah cewek-cewek itu! Kalau mereka nggak ngerespon Andre, pasti Andre juga nggak akan deketin," balasnya, mencoba memutar balik logika.
Jessy menghela napas panjang, rasa kesal dan frustrasi memuncak. "Harusnya lo balik omongan lo. Kalo Andre sayang sama lo, dia nggak perlu ngegodain cewek lain," ujarnya, suaranya tegas. Dia memutar balik, merasa percakapan ini tidak akan ada ujungnya. "Udah ah. Capek gue ngomong sama orang bucin."
Tanpa menunggu respon, Jessy berjalan pergi begitu saja, meninggalkan Nita dan Della yang berdiri terpaku di koridor yang semakin sunyi.
"Nggak kebayang," gumam Della, memecah kesunyian. "Baru deket aja, efeknya si Rayyan udah bikin Jessy begini. Gimana kalau mereka jadian?"
"Paling Rayyan cuma jadi bahan mainan Jessy kayak cowok-cowok lainnya," sangkal Nita, mencoba meyakinkan diri sendiri. "Mana mau Jessy sama cowok miskin kayak Rayyan."
---
Jessy berjalan menyusuri lorong kampus dengan langkah cepat. Pikirannya berputar-putar antara kekesalan pada Nita yang tak bisa mendengarkan akal sehat, dan rasa penasaran yang membara pada Rayyan. Dia mengeluarkan ponselnya, membuka salinan digital jadwal harian Rayyan.
"Duh... cari ke mana nih," gerutnya, melihat bahwa jadwal kampus Rayyan hari ini sudah berakhir sejam yang lalu. "Biasanya dia nongkrong di mana sih?"
Dia berputar-putar tanpa tujuan, memeriksa kantin, lorong-lorong sepi, hingga akhirnya langkahnya terhenti di depan sebuah laboratorium yang pintunya sedikit terbuka. Dan di sana, di balik kaca pintu, dia melihatnya.
Rayyan. Dia sedang berdiri bersandar di sebuah meja kerja, dan yang membuat dada Jessy sesak adalah ada seorang gadis yang berdiri sangat dekat dengannya. Mereka sedang bercakap-cakap. Bukan seperti diskusi akademis yang kaku, tapi Rayyan tampak... nyaman. Senyum kecil yang jarang terlihat menghiasi bibirnya, dan tangannya sesekali membuat gerakan untuk menjelaskan sesuatu. Gadis itu mendengarkan dengan saksama, wajahnya berseri-seri.
Rasa panas yang tiba-tiba dan tidak mengenakkan menyebar di dada Jessy. Kecemburuan buta, dicampur dengan rasa posesif yang tak pernah dia rasakan sebelumnya, membuatnya tanpa berpikir panjang mendekati mereka.
Dia berhenti tepat di hadapan Rayyan, dengan sengaja memutus kontak mereka. Dengan gerakan dramatis, dia mengibaskan rambut panjangnya yang berkilau, memamerkan profil cantiknya yang biasanya mampu membuat pria mana pun terpana.
"Gue ada perlu sama Rayyan," ucap Jessy, suaranya sengaja dibuat sinis dan penuh tuntutan saat menatap gadis di samping Rayyan. "Lo nggak keberatan kan kalo minggir dulu."
Rayyan mengangkat kepalanya. Cahaya hangat di matanya saat mengobrol langsung padam, digantikan oleh dinginnya es. "Mau ngomong apa?" suaranya datar, tanpa emosi.
Jessy tak mau kalah. "Nggak di sini. Kita bisa keluar dulu, kan?" rayunya, mencoba menurunkan nada suaranya menjadi lebih lembut, lebih persuasif.
"Di sini aja. Cepet," balas Rayyan, tak bergeming.
"Nggak bisa. Kita harus ngomong di luar," desis Jessy, matanya membelalak sedikit, menunjukkan bahwa dia tidak akan menerima penolakan.
Melihat ketegangan yang semakin memanas antara Jessy dan Rayyan, gadis di samping Rayyan—dengan ekspresi sedikit canggung—langsung mengambil tasnya. "Uh... aku pamit dulu, Yan. Nanti kita lanjutin lagi," ujarnya dengan cepat sebelum bergegas pergi, meninggalkan Rayyan dan Jessy sendirian di ambang pintu lab.
Rayyan menghela napas pelan, tatapannya pada Jessy penuh dengan kelelahan dan sedikit kemarahan yang tertahan. "Apa yang lo mau, Jessy?"
Jessy, yang merasa menang kecil karena berhasil mengusir gadis itu, menyilangkan tangannya di dada. "Besok kan kamu mulai ngajar private aku. Aku mau tentuin jam dan aturannya."
Dia tersenyum, senyum penuh kemenangan dan tekad. Perang mungkin sudah memasuki medan baru, tapi Jessy Sadewo yakin, dalam medan apa pun, dialah yang akan menjadi pemenangnya. Tapi di balik keyakinannya, ada perasaan takut yang kecil dan mengganggu—ketakutan bahwa mungkin, untuk pertama kalinya, dia bukanlah pihak yang memegang kendali.
***
Keesokan harinya, udara di kampus terasa berbeda bagi Rayyan. Rasa itu mengikuti langkahnya saat dia mendekati salah satu dosen pembimbingnya setelah kelas usai. Sang dosen, seorang pria berkacamata dengan wajah yang biasanya ramah, kali ini terlihat agak berjarak.
"Saya sudah diinfo sama Pak Toto soal kamu, Yan," ujar sang dosen, memotong pembicaraan sebelum Rayyan sempat membuka mulut. Suaranya datar, profesional. "Jadi mulai hari ini udah nggak ada jadwal sebagai asdos lagi ya. Fokus aja ke... tugas barumu yang lain."
Kata-kata itu menggantung di udara, berat dan penuh makna. Sebuah pintu yang selama ini menjadi bagian penting dari identitas dan kebanggaannya di kampus, ditutup begitu saja.
"Baik, Pak," jawab Rayyan, berusaha menjaga suaranya tetap stabil. Namun, ada sedikit getar kecewa yang tak bisa sepenuhnya dia sembunyikan di balik sikap dinginnya. Sebuah noda hitam dalam perjalanan akademisnya yang semula bersih.
"Goodluck deh, pokoknya," ujar sang dosen sambil menepuk bahu Rayyan dengan ringan, sebuah gestur yang seharusnya menghibur tapi justru terasa seperti meterai persetujuan atas 'pengasingannya'. Kemudian pria itu berbalik dan berjalan keluar kelas, meninggalkan Rayyan sendirian di ruangan yang tiba-tiba terasa sangat luas dan sunyi.
Dengan napas berat, Rayyan mengeluarkan ponselnya yang sederhana. Layarnya menyala, memperlihatkan catatan dan jadwal yang dikirimkan Jessy malam sebelumnya. Matanya menyusuri setiap baris, dan rasa sesak di dadanya semakin menjadi.
Jessy hanya memberinya libur dua hari dalam seminggu, itupun di hari biasa. Hari Sabtu dan Minggu—hak seorang mahasiswa untuk beristirahat—dicaploknya dengan semena-mena. Jadwalnya di hari weekend itu tetap dipaksa untuk diisi dengan mengajar privat.
Lalu, matanya tertumbuk pada peraturan lainnya. Sebuah peraturan yang menusuk harga dirinya hingga ke tulang sumsum: Dia tidak boleh menggunakan kata 'Lo' dan 'Gue' kepada Jessy. Dia harus menggunakan 'Aku' dan 'Kamu'.
Itu bukan sekadar permintaan. Itu adalah penegasan hierarki. Sebuah pengingat bahwa dalam hubungan terpaksa ini, dia adalah pihak yang di bawah, yang harus menyesuaikan diri dengan norma dan kemauan Jessy. Dan yang paling menyakitkan, siang ini juga dia harus segera datang ke rumah Jessy untuk memulai 'tugas'-nya.
---
Panas matahari Jakarta siang itu terasa lebih menyengat daripada biasanya saat Rayyan berdiri tegak di depan gerbang besi hitam yang tinggi dan megah. Beberapa kali dia memeriksa catatan alamat di ponselnya, memastikan ini bukanlah mimpi buruk. Tapi ya, inilah tempatnya.
Dengan jari yang sedikit bergetar, dia menekan tombol bel. Suara yang elegan berbunyi dari dalam. Beberapa saat kemudian, seorang satpam berseragam necis keluar dari pos jaga, matanya menyapu Rayyan dari ujung kepala hingga ke motor tuanya.
"Cari siapa, Mas?" tanya pria paruh baya itu, sopan namun waspada.
"Saya Rayyan, Pak. Diperintah Pak Adi untuk mengajar privat Mbak Jessy," jelas Rayyan, berusaha terdengar percaya diri.
Wajah satpam itu langsung berubah. "Oh, iya-iya! Mas Rayyan, ya? Tadi Pak Adi sudah info. Silakan masuk, Mas." Gerbang besi itu bergeser dengan suara halus, membuka pemandangan yang membuat Rayyan hampir tercekat.
Rumah itu bukan sekadar rumah. Itu adalah sebuah istana modern. Arsitekturnya minimalis namun megah, dengan lanskap hijau yang tertata sempurna. Kolam renang biru memantulkan sinar matahari di sebelah kiri. Rayyan merasa seperti seorang penjelajah yang tersesat di negeri alien.
Dia menuntun motornya dengan hati-hati, merasa kendaraannya yang setia itu seperti sampah yang tersesat di antara kemewahan.
"Mas Rayyan, motornya taruh di sini aja, ya," ujar satpam itu, mengarahkannya ke sebuah sudut di belakang pos yang tersembunyi dari pandangan utama. Sebuah tempat yang, meski bersih, jelas-jelas diperuntukkan bagi pembantu atau sopir. Rayyan mengangguk patuh, menahan luka di hati.
Satpam itu kemudian mengantarnya masuk ke dalam rumah. Begitu kakinya melangkah di atas lantai marmer yang mengilap, Rayyan merasa semua suara teredam. Udara sejuk AC, diiringi aroma harum bunga segar, menyambutnya. Ketinggian langit-langit dan luasnya ruangan membuatnya merasa sangat kecil.
Tak lama, seorang wanita cantik dan elegan dengan gaun rumah sederhana nan mahal mendekatinya. Senyumnya hangat, tapi matanya yang tajam mengamati Rayyan dengan saksama.
"Oh, ini Nak Rayyan, ya? Saya Maminya Jessy," sapanya lembut. "Sudah makan, Nak?"
"Sudah, Bu. Terima kasih," jawab Rayyan cepat, berbohong. Perutnya sebenarnya keroncongan, tapi menerima makanan terasa seperti mengakui levelnya yang lebih rendah.
"Sebentar lagi Jessy turun. Tunggu di sini dulu, ya," ujar Lina, menunjuk ke sebuah sofa leather putih yang terlihat sangat empuk dan mahal. Rayyan duduk di ujungnya, tubuhnya kaku, takut mengotoki atau merusak sesuatu.
Lina kembali beberapa menit kemudian membawa nampan berisi kue-kue cantik dan segelas jus jeruk. "Ini, Nak, buat teman nunggu."
"Terima kasih, Bu," ucap Rayyan, terkejut dengan keramahan ini.
"Tante denger kamu juara banyak kompetisi akademik, ya?" tanya Lina sambil duduk di depannya, mencoba mencairkan suasana.
Rayyan hanya bisa mengangguk pelan, merasa sedikit lebih lega.
"Wah, hebat, ya. Pokoknya Tante sama Om Adi minta tolong banget, ya, bantu Jessy belajar."
Sebelum Rayyan sempat menjawab, suara langkah kaki ringan terdengar dari tangga marmer yang melengkung elegan. Semua orang menengok.
Dan di sana, Jessy berdiri.
Dia turun dengan perlahan, mengenakan kaos ketat sederhana dan celana jeans pendek yang justru menempel sempurna di tubuhnya, menegaskan setiap lekuk yang seksi. Wajahnya bersih tanpa riasan, rambutnya terurai natural berkilau diterpa sinar dari jendela kaca patri. Dalam kesederhanaannya, dia justru memancarkan pesona yang mematikan.
Rayyan terdiam. Sebuah pengakuan jujur yang tak ingin dia akui terpaksa muncul dari dalam benaknya: Jessy memang sangat cantik.
Dia membencinya. Dia membenci segala sesuatu tentang dirinya. Tapi pada detik itu, otaknya yang logis dan matanya yang jujur tak bisa menyangkal fakta tersebut. Itu adalah sebuah kebenaran yang tak terbantahkan, dan sama berbahayanya dengan semua permainan licik yang dia lakukan.
Jessy tersenyum, senyum kecil yang penuh kemenangan, seolah bisa membaca pikiran Rayyan. Perang hari ini baru saja dimulai, dan di medan pertempuran rumahnya sendiri, Jessy Sadewo merasa seperti sang ratu yang tak terkalahkan.
jangan cuma bisa nyalahin orang aja, Elu juga salah cuma jadi penonton, Ndak malah bantuin ibunya.
buat emaknya Rayyan luluh donk thorrrrr
ceritamu emang secandu ini yaa kak ..
kudu di pites ini si ibu Maryam