Setelah bertahun-tahun hidup sendiri membesarkan putrinya, Raisa Andriana seorang janda beranak satu, akhirnya menemukan kembali arti cinta pada Kevin Mahendra duda beranak dua yang terlihat bijaksana dan penuh kasih. Pernikahan mereka seharusnya menjadi awal kebahagiaan baru tapi ternyata justru membuka pintu menuju badai yang tak pernah Raisa sangka
Kedua anak sambung Raisa, menolak kehadirannya mentah-mentah, mereka melihatnya sebagai perebut kasih sayang ayah nya dan ancaman bagi ibu kandung mereka, di sisi lain, Amanda Putri kandung Raisa, juga tidak setuju ibunya menikah lagi, karena Amanda yakin bahwa Kevin hanya akan melukai hati ibunya saja
Ketegangan rumah tangga makin memuncak ketika desi mantan istri Kevin yang manipulatif, selalu muncul, menciptakan intrik, fitnah, dan permainan halus yang perlahan menghancurkan kepercayaan.
Di tengah konflik batin, kebencian anak-anak, dan godaan masa lalu, Raisa harus memilih: bertahan demi cinta yang diyakininya, atau melepa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Queen_Fisya08, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 Proyek Kerjasama Kevin Bermasalah
Ketika Bryan membuka lemari untuk mengambil jas kerjanya, langkah Kasandra terdengar tergesa dari koridor, pintu kamar terbuka, dan Kasandra berdiri di sana dengan tatapan penuh curiga..
"Mas… Aku kira kamu belum bangun, dan kamu sudah rapi mau ke mana? Bukan kah hari ini mas gak ada jadwal apa pun" suaranya lembut, tapi jelas mengandung selidik.
Bryan menutup kancing jasnya, menarik napas panjang..
“Maafkan mas ya, sayang… mas harus keluar kota sekarang juga.” nada suaranya singkat dan tegas, seperti pria yang sedang menahan kekesalan..
Kasandra mengerutkan dahi, ia melangkah mendekat, menggenggam lengan Bryan manja..
“Memang sepenting itu, mas? Hayo sarapan dulu… Aku dan Bibi Indah sudah masak nasi goreng spesial kesukaan mu mas…” ucap Kasandra dengan antusias
Bryan melembut, tapi tidak luluh.
“Maaf sayang, mas buru-buru, kayaknya mas nggak bisa sarapan di rumah deh.” ucap Bryan dengan lembut..
"Mas… kenapa sih nggak cerita sebelumnya sama aku? Ada apa mas ? sampai harus pergi mendadak begini?” ucap Kasandra sambil memonyongkan bibirnya, sekaligus kesal dan kecewa
Bryan mengembuskan napas berat.
“Mas juga baru tahu barusan, dadakan di telpon.”
Ia mengambil tas kerjanya, lalu menatap Kasandra serius..
“Anak perusahaan kita… yang bekerja sama dengan Abadi Company itu” Bryan berhenti sebentar, wajahnya mengeras lalu menarik nafas..
“Proyeknya bermasalah, sayang, jadi aku kepingin cek langsung kesana" lanjut nya
Kasandra berkerut semakin dalam.
“Abadi Company, aku baru mendengar nya mas kerjasama dengan perusahaan itu"
"Ya mas tidak bilang sama kamu, masa setiap mas bekerja sama dengan perusahaan lain, mas harus bilang sama kamu, nanti kamu yang pusing nyonya Bryan" ucap Bryan sambil mencubit kecil pipi sang istri..
Kasandra hanya memonyongkan bibirnya saja
“Mas hanya mau cek kesana sayang dan kalau perusahaan itu mau main-main dengan mas… mas nggak akan lepaskan nya, Mas sudah bilang, proyek ini besar, tidak boleh ada kesalahan.” nada Bryan berubah gelap, menyingkapkan sisi tegas yang jarang ia munculkan...
Kasandra hanya bisa diam, menatap wajah suaminya yang berubah tegang..
“Ya sudah sayang… mas pergi dulu, ya.” Bryan mendekat, mencium kening istrinya singkat tapi penuh kebiasaan manis.
Kasandra mengangguk kecil.
“Ya mas… hati-hati.”
Ia memaksakan senyum, karena ia tahu Bryan sedang tidak ingin diganggu.
"Mudah-mudahan nggak lama ya mas…” lanjutnya sambil mengikuti Bryan turun hingga keluar sampai pintu mobil..
Bryan masuk ke mobil, memberi isyarat pada sopir, mobil hitam itu melaju cepat, meninggalkan Kasandra berdiri sendirian di depan rumah mewah mereka..
Begitu mobil Bryan tak lagi terlihat, senyum Kasandra memudar.
Ia menggigit bibir, matanya berkaca-kaca antara khawatir dan tersinggung.
“Ada apa dengan perusahaan itu? kenapa dia berani membuat masalah dengan perusahaan kami, perusahaan Raharja Corporation, apa dia belum mengenal siapa Bryan?" gumamnya lirih.
Angin pagi berhembus, membawa aroma dingin yang membuat tubuhnya sedikit menggigil..
Kasandra masuk kembali, langkahnya lebih cepat..
Sesampainya di dapur, ia melihat Bibi Indah sedang melengkapi hidangan sarapan..
“Bi Indah, bibi sarapan duluan saja, habiskan nasi gorengnya, tuan tidak makan di rumah.” ucap Kasandra datar, meski masih mencoba tersenyum
Bibi Indah mengangguk hormat.
“Baik, nyonya.”
Kasandra tidak menjawab, ia langsung berjalan menuju kamarnya lagi.
Hanya butuh lima menit baginya untuk berganti pakaian, gaun santai warna soft pink, rambut sedikit digelung, lipstik tipis, dan kacamata hitam menggantung di kepalanya..
Ia mengambil tas kulit mahal pemberian Bryan lalu melangkah keluar, di depan pintu, ia memberi pesan singkat..
“Bibi, aku pergi dulu. Mungkin… pulang malam.” ucap nya
Bibi Indah hanya mengangguk, tidak berani bertanya apa-apa..
Kasandra tersenyum sekilas, tapi mata itu, mata yang biasanya lembut, kini menyimpan sesuatu, khawatiran dan ketakutan meski ia sendiri tidak mengakuinya.
***
Pagi itu rumah masih terasa tenang.
Raisa sudah bangun lebih dulu, menata meja makan sambil memasak sarapan sederhana untuk Kevin..
Ia berusaha menjalani hari seperti biasa, meski hatinya masih berat memikirkan kedatangan Laras dan Dewi yang akan tinggal bersama mereka..
Baru saja ia meletakkan piring di meja, suara keras dari ruang keluarga membuatnya menoleh..
Suara suaminya Kevin, suara yang tidak pernah ia dengar sekeras itu...
Raisa spontan menoleh, ia melihat Kevin berdiri sambil menekan ponsel ke telinganya, wajahnya menegang, langkahnya maju mundur tak tenang..
“Ya halo, pa… pagi Pak” ucapan Kevin terhenti, dari ponsel, suara Bryan meledak keras, begitu keras hingga Raisa bisa mendengarnya dari dapur..
("KEVIN! Perusahaanmu mengajukan kerja sama dengan perusahaan saya! Kamu tahu betul saya ini orang seperti apa!”) ucap nya dari sebrang telpon sana
Kevin langsung berdiri tegak, nada Bryan seperti cambuk, membuat tubuhnya kaku seketika..
(“Ma… maaf Pak, ada apa ya sampai...”) ucapan Kevin terhenti karena Bryan yang memotong ucapan nya..
("Ada apa!?”) bentak Bryan begitu keras hingga Kevin refleks menjauhkan ponsel dari telinganya.
Raisa di dapur membeku, sendok yang ia pegang nyaris terlepas..
Bryan tidak berhenti.
("Kamu yang pegang langsung proyek kerja sama ini, atau cuma numpang nama saja untuk perusahaanmu itu?! saya sudah cek proyek di luar kota! Berantakan! Laporan tidak lengkap, pemantauan tidak ada, progress turun drastis!”) lanjut Bryan
Kevin menutup mata sejenak, napasnya berat, tangan yang memegang ponsel mulai bergetar..
("Pak Bryan… saya belum sempat turun karena...”) lagi-lagi ucapan Kevin di potong
(“Karena apa?! Karena urusan pribadimu? Karena masalah keluargamu?!”) ucap Bryan penuh amarah
Nada itu menusuk tajam, raisa spontan melangkah mendekat, khawatir, wajah Kevin terlihat pucat, seperti ditelanjangi harga dirinya hidup-hidup..
Bryan lanjut menekan tanpa ampun.
("Kamu mau buat perusahaan saya jatuh? Mau bikin saya rugi? Gampang untuk saya. Saya tinggal putus kerja sama ini! Tapi kamu, perusahaan mu… bisa tamat!”)
Kevin terdiam, hanya terdengar suara napas nya yang terengah-engah dan Bryan yang masih marah di seberang..
Raisa menyentuh lengan suaminya pelan.
("Mas… tenang dulu. Bicara baik-baik,”) bisik nya, khawatir melihat Kevin seperti kehilangan pijakan.
Tapi Kevin bahkan tidak sempat menjawab.
Bryan menutup ultimatum, suara dingin seperti pisau.
("Saya kasih kamu waktu, hari ini juga kamu turun ke lokasi proyek, kalau sampai sore nggak beres, saya pastikan kamu menyesal pernah mengajukan kerja sama dengan saya.”)
...Tut… tut…
Sambungan terputus, Kevin hanya bisa berdiri diam, matanya kosong beberapa detik.
Kemudian ia menarik napas panjang, keras, menahan emosi..
Raisa menatapnya cemas.
“Mas… ada apa? Kok sampai seperti itu?” tanyanya lembut..
Kevin meremas rambutnya sendiri, frustasi.
“Sayang… aku harus berangkat sekarang juga,” ucapnya terburu-buru sambil meraih jas.
“Ada masalah besar, proyek itu… belum pernah aku cek langsung, dan kalau aku nggak berangkat sekarang, habis semuanya.”
Raisa menahan lengan sang suami.
“Mas, tenang dulu, sarapan dulu. Ceritakan pelan-pelan.”
Kevin menatapnya sedih, lelah, dan terjepit.
“Maaf… aku nggak bisa sarapan di rumah.. Pak Bryan sudah terlanjur marah, aku harus turun ke lokasi sekarang.”
Ia mencium kening Raisa singkat, lalu bergegas keluar rumah.
Raisa hanya bisa berdiri di ambang pintu, melihat punggung Kevin yang terburu-buru masuk ke mobil… seolah dunia sedang runtuh menimpanya..
Pagi yang seharusnya hangat berubah dingin..
Begitu mobil cukup jauh dari rumah, Kevin menjatuhkan kepalanya ke kursi..
“Bodoh banget aku… kenapa sampai lalai seperti ini…”
Ia berusaha menenangkan napasnya, tapi jantungnya terus berdegup keras.
Suara Bryan terasa masih berdengung di telinganya.
"Kalau aku kehilangan proyek ini… bisa tamat perusahaan yang ku bangun dari hasil kerja keras ku" matanya memerah, tapi ia tidak punya waktu untuk meratapi.
Ia harus sampai ke lokasi proyek sebelum Bryan meledak lagi.
***
Bryan berdiri di tengah area pembangunan dengan wajah gelap.
Para pekerja dan manajer lapangan hanya bisa diam tak berani mendekat..
“Ini laporan progress terbaru? Berantakan begini!?” bentak Bryan..
“Ma...Maaf Pak Bryan, kami… kami menunggu arahan langsung dari Pak Kevin…” ucap Manager proyek gemetar
“KEVIN? Orang itu bahkan tidak pernah datang!” Bryan mendesis
Bryan menendang tumpukan dokumen hingga berserakan..
"Kalau proyek ini gagal… dia harus menanggung resiko nya” ucap Bryan sambil melirik jam tangannya.
"Lihat saja… apakah dia berani datang!”
***
Raisa kembali ke dapur, tapi tangannya bergetar, nafsu makan hilang, pikiran kacau..
“Mas… aku tahu kamu salah, tapi cara Pak Bryan marah… itu sangat, sangat tidak wajar” ia menatap ponselnya, Rasa ingin tahu dan kecemasan bercampur jadi satu..
“Kalau aku susul apa itu akan membantu sedang kan aku juga ada janji dengan Andre hari ini?” gumam nya
Raisa duduk perlahan, memegang dadanya.
“Aku takut mas… kalau terjadi apa-apa dengan kamu mas"