Hai hai ... hadir nih spin offl dari "mendadak papa" kali ini aku jadiin Kevin sebagai tokoh utama. Selamat membaca
Gara-gara nggak mau dijodohin sama cowok sok ganteng bernama Sion, Aruntala nekat narik tangan seorang pelayan café dan ngumumin ke seluruh dunia—
“Ini pacar gue! Kami udah mau tunangan!”
Masalahnya... cowok itu cuma menatap datar.
Diam.
Nggak nyaut sepatah kata pun.
Dan Aruntala baru sadar, pria itu tuna wicara. 😭
Malu? Jelas.
Tapi sialnya, malah keterusan.
Aruntala balik lagi ke café itu, memohon ke si barista pendiam buat pura-pura jadi pacarnya biar Mama tirinya nggak bisa menjodohkannya lagi.
Cowok itu akhirnya setuju — karena nggak tahan sama ocehan Aruntala yang nggak ada titik koma.
Yang Aruntala nggak tahu, pria random itu bukan sekadar barista biasa...
Dia adalah Kevin Prasetyo, pemilik café sekaligus pemegang saham besar di perusahaan ayahnya sendiri!
Berawal dari kebohongan kecil, hubungan mereka pelan-pelan tumbuh jadi sesuatu yang lebih nyata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Demi Aruntala
Ruang rapat darurat di lantai teratas PT Buana Jaya Grup terasa seperti kuburan yang dilapisi kayu mahoni. Udara dingin dari pendingin ruangan tidak mampu membekukan ketegangan yang membara di antara empat orang di dalamnya. Di satu sisi meja panjang, Nadira Santosa duduk dengan postur sempurna, senyum tipisnya adalah topeng keanggunan yang menutupi kekejaman seekor ular. Di sampingnya, Sion menyeringai penuh kemenangan, menikmati setiap detik dari drama yang diciptakan ibunya.
Di seberang mereka, Kevin Rahadja duduk sendirian, punggungnya tegak lurus, wajahnya setenang danau beku. Keheningannya adalah sebuah benteng. Di ujung meja, Bram Santosa memimpin rapat dengan wajah seorang pria yang dipaksa memilih antara menelan racun atau membakar rumahnya sendiri.
“Jadi, sudah jelas, kan, Bram?” suara Nadira memecah keheningan, terdengar manis namun tajam.
“Data ini tidak berbohong. Ada aliran dana yang tidak wajar dari salah satu rekening investasi milik Tuan Rahadja ke broker yang sama yang melakukan short-selling saham kita beberapa jam sebelum berita itu keluar. Ini manipulasi pasar yang terang-terangan.”
Sion menimpali dengan nada sombong.
“Pecundang ini pikir dia pintar. Menggunakan inisial ‘KR’ seolah nggak ada yang bakal tahu. Cuma orang bodoh yang nggak lihat kalau dia sengaja mau bikin perusahaan anjlok biar bisa beli sahamnya lagi dengan harga murah.”
Bram memijat pelipisnya, matanya menatap Kevin, mencari secercah pembelaan.
“Kevin, apa ada yang ingin kamu sampaikan?”
Kevin tidak bergerak. Ia hanya mengeluarkan ponselnya, mengetik dengan ibu jari yang tenang dan mantap, lalu memutarnya ke arah Bram.
Broker yang Anda sebutkan, PT Cakra Investama, adalah milik paman saya. Transaksi itu adalah penarikan dana rutin yang sudah dijadwalkan sebulan lalu. Waktunya hanya kebetulan. Saya bisa berikan bukti jadwal penarikannya.
Sion tertawa mengejek.
“Halah, alibi! Gampang banget bikin bukti palsu. Ayah, jangan percaya sama omong kosongnya!”
Nadira menambahkan dengan lembut, “Bram, sayang. Kita tidak bisa mempertaruhkan nama baik perusahaan hanya berdasarkan tulisan di ponsel. Yang kita punya adalah data transaksi yang konkret. Sementara dia… dia hanya punya alasan.”
Kevin mengetik lagi, kali ini lebih cepat.
Data yang Anda tunjukkan tidak lengkap. Anda sengaja memotong riwayat transaksi bulan lalu untuk menciptakan narasi palsu. Itu namanya pemalsuan data. Ada konsekuensi hukumnya.
“Ancaman?” Nadira terkekeh, seolah geli.
“Kamu berada di posisi yang tidak bisa mengancam siapa pun, Nak. Justru kamulah yang sedang menghadapi penyelidikan internal. Sebaiknya kamu fokus membela diri, bukan menuduh balik.”
“Lagian, ngomong aja nggak bisa, sok-sokan mau main hukum,” cibir Sion, mencondongkan tubuhnya ke depan.
“Gimana caranya lo mau bersaksi di pengadilan nanti? Ngetik di HP sambil diliatin hakim? Jangan bikin malu, deh.”
Hinaan itu menggantung di udara. Bram tampak tidak nyaman.
“Sion, jaga bicaramu.”
Tapi Nadira justru tersenyum, melihat celah untuk serangan terakhir. Ia menatap Bram dengan tatapan penuh simpati palsu, namun kata-katanya ditujukan untuk menghancurkan Kevin.
“Bukan begitu maksud Sion, Bram. Tapi ada benarnya juga,” ujarnya dengan suara keibuan yang dibuat-buat.
“Aku hanya khawatir dengan Aru. Bagaimana bisa ia bergantung pada pria yang bahkan tidak bisa menggunakan suaranya untuk membela kehormatannya sendiri? Pria yang bersembunyi di balik keheningan dan tulisan-tulisan kecil seperti pengecut.”
Ia menoleh, matanya kini menatap lurus ke arah Kevin, dingin dan menusuk.
“Lihat dirimu. Terpojok. Dituduh. Dan apa yang kamu lakukan? Mengetik. Selalu mengetik. Kamu itu lemah, Kevin. Cacatmu bukan hanya di pita suara, tapi juga di karaktermu. Pria sejati itu bersuara, bukan bersembunyi.”
Cukup.
Sebuah suara retakan pelan memecah keheningan. Semua mata tertuju pada tangan Kevin. Pulpen digital yang ia pegang patah menjadi dua di dalam genggamannya yang mengeras. Ujungnya yang tajam menekan telapak tangannya, tapi ia seolah tidak merasakan sakit.
Perlahan, dengan gerakan yang terasa berat dan penuh ancaman, Kevin bangkit dari kursinya. Matanya yang tadinya sedingin es, kini berkobar seperti api biru. Ia meletakkan ponselnya di atas meja dengan satu hentakan pelan yang bunyinya menggema di seluruh ruangan.
Sion sedikit tersentak mundur di kursinya. Nadira berhenti tersenyum, merasakan aura di ruangan itu berubah drastis. Bahkan Bram menegakkan punggungnya, merasakan firasat aneh.
Kevin menatap lurus ke arah Nadira, lalu Sion, dan terakhir pada Bram. Ia menarik napas dalam-dalam, dadanya naik turun dengan gerakan yang terkendali.
Lalu, ia membuka mulutnya.
“Pertama,” sebuah suara yang dalam, tenang, dan berotoritas memenuhi ruangan. Suara yang tidak pernah mereka dengar, yang begitu kontras dengan citra pria pendiam yang mereka kenal. Suara itu bukan teriakan, tapi gaungnya terasa seperti tamparan.
“Jangan pernah menyebut saya cacat lagi.”
Nadira membeku. Mulutnya sedikit terbuka, matanya membelalak tak percaya. Sion tampak seperti baru saja melihat hantu.
“Kedua,” lanjut Kevin, suaranya yang serak karena lama tak digunakan kini terdengar mantap dan dingin, setiap kata diucapkan dengan presisi seorang pengacara.
“Tuduhan Anda tentang manipulasi pasar adalah fitnah. Data yang Anda sajikan, Nyonya Nadira, sengaja dipotong. Pasal 311 KUHP tentang pencemaran nama baik bisa menjerat Anda. Dan untuk Anda, Sion, tuduhan tanpa dasar di forum resmi seperti ini bisa dianggap sebagai perusakan reputasi korporat.”
Ia berjalan perlahan menyusuri sisi meja, mendekati ujung tempat Bram duduk.
“Ketiga, mengenai PT Cakra Investama. Benar itu milik paman saya. Tapi transaksi itu bukan penarikan dana, melainkan pembayaran dividen atas investasi saya di perusahaan properti lain yang jatuh tempo kemarin. Dokumen lengkapnya sudah saya kirim ke email pribadi Pak Bram lima menit yang lalu, lengkap dengan audit dari pihak ketiga. Silakan diperiksa.”
Wajah Bram pucat pasi. Ia meraih tabletnya, dan benar saja, sebuah email dari Kevin sudah ada di sana.
“Dan yang terakhir,” Kevin kini berdiri tepat di hadapan Nadira dan Sion, menatap mereka dari atas dengan tatapan yang menghakimi.
“Saya tahu siapa yang membocorkan data internal perusahaan dan menjualnya pada wartawan Rian Drajat. Saya punya rekamannya. Percakapan telepon antara Anda, Sion, dengan orang suruhan Anda. Mungkin kita bisa mendengarkannya bersama-sama di rapat pemegang saham berikutnya?”
Ancaman itu telak. Wajah Sion yang tadinya sombong kini berubah menjadi putih seperti kertas. Nadira gemetar, topeng anggunnya hancur berkeping-keping, memperlihatkan kepanikan yang nyata.
Kevin tidak menunggu jawaban mereka. Ia telah memenangkan pertempuran ini. Ia berbalik dan berjalan menuju pintu tanpa suara. Bram, yang masih terpaku karena syok, akhirnya berhasil menemukan suaranya.
“Kevin… tunggu,” panggil Bram, suaranya bergetar.
“Kamu… kamu bisa bicara?”
Kevin berhenti, tangannya sudah di gagang pintu. Ia tidak menoleh. Keheningan kembali menyelimuti ruangan, kini terasa jauh lebih berat dan canggung daripada sebelumnya. Setelah beberapa detik, ia hanya mengangguk sekali.
Ia membuka pintu dan hendak melangkah keluar, meninggalkan kekacauan yang baru saja ia ciptakan. Namun, ia berhenti lagi, seolah teringat sesuatu. Sesuatu yang lebih penting dari semua tuduhan bisnis ini.
Ia berbalik sepenuhnya. Wajahnya tidak lagi dingin, melainkan menunjukkan tekad yang tak tergoyahkan. Ia berjalan kembali, bukan ke arah Nadira atau Sion, tapi lurus ke arah meja Bram. Ia mengabaikan tatapan ngeri dari ibu dan anak itu.
Di depan Bram yang masih menatapnya dengan campuran rasa kagum dan tidak percaya, Kevin tidak lagi berbicara. Ia meraih blok notes kosong dan pulpen dari atas meja Bram. Dengan tulisan tangan yang sama yang pernah dilihat Aru, tapi kali ini jauh lebih tegas dan tanpa getaran sedikit pun, ia menulis dua kalimat singkat.
Ia mendorong notes itu ke hadapan ayah Aru.
Bram menunduk, matanya membaca tulisan itu.
Saya akan membersihkan nama saya dan perusahaan ini. Setelah itu, saya akan menikahi putri Anda.
Pupil mata Bram melebar. Ia mengangkat kepalanya perlahan, menatap lurus ke mata pria muda yang baru saja meruntuhkan dunianya, pria yang ternyata menyimpan kekuatan singa di balik keheningan seekor domba. Napasnya tercekat di tenggorokan, mencoba memproses ultimatum yang baru saja ia baca, sebuah klaim yang lebih berani daripada semua argumen hukum yang baru saja ia dengar.