NovelToon NovelToon
Kala Rembulan Menyentuh Bhumi

Kala Rembulan Menyentuh Bhumi

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Keluarga / CEO
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: Lacataya_

Rembulan Adreyna—seorang wanita muda yang tumbuh dari kehilangan dan kerja keras, hidupnya berputar di antara deadline, tanggung jawab,dan ambisi yang terus menekan. Hingga satu hari, langkahnya membawanya ke Surabaya—kota yang menjadi saksi awal pertemuannya dengan seorang pria bernama Bhumi Jayendra, CEO dingin pemilik jaringan hotel dan kebun teh di kaki gunung Arjuno.
Bhumi, dengan segala kesempurnaannya, terbiasa memegang kendali dalam segala hal—kecuali ketika pandangannya bertemu Rembulan untuk pertama kali. Di balik sorot matanya yang dingin, tersimpan sunyi yang sama: kehilangan, tanggung jawab, dan kelelahan yang tak pernah diucapkan.
Pertemuan mereka bukan kebetulan. Ia adalah benturan dua dunia—teknologi dan tradisi, dingin dan hangat, ambisi dan rasa takut. Namun perlahan, dalam riuh kota dan aroma teh yang lembut, mereka belajar satu hal sederhana: bahwa cinta bukan datang dari siapa yang lebih kuat, melainkan siapa yang lebih berani membuka luka lama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27 Dua Kepentingan

Kantor Pusat PT Global Tekhnologi - Jakarta

Ruang rapat online sudah kembali sunyi beberapa menit terakhir. Layar laptop masih menampilkan tulisan "Meeting Ended" yang sudah memudar, lampu-lampu LED di langit-langit memantulkan cahaya putih dingin ke atas meja-meja kaca yang kosong.

Di luar jendela, Jakarta pagi itu tampak mulai menguap oleh panas. Lalu lintas di bawah berkilat seperti ular logam bergerak lambat. Di dalam ruangan, satu-satunya suara yang terdengar hanya dengungan lembut AC.

Dan di sanalah Farhan berdiri—membelakangi pintu, tangannya merapikan lengan jasnya, ekspresinya netral sempurna. Seolah rapat barusan sama sekali tidak menyentuhnya.

Hingga pintu terbuka.

Aldo masuk tanpa mengetuk. Hembusan udara dari luar membuat pintu menutup lagi perlahan, menciptakan bunyi klik yang tenang namun berat. Farhan menoleh sedikit. Alisnya naik kurang dari satu sentimeter—sebuah reaksi minimal yang lebih mirip refleks sopan dibanding ketidaksenangan.

“Hm.” Nada suaranya datar, lembut, seolah kedatangan Aldo bukan hal yang mengejutkan. “Datang tanpa mengetuk, Do? Ada apa?”

Aldo tidak menjawab. Ia hanya menutup pintu sepenuhnya dengan dorongan kecil—tidak keras, tapi cukup tegas untuk mengirim pesan, itu bukan kunjungan santai.

Ia berdiri didepan meja Farhan, menarik napas panjang, sebelum berjalan masuk dan berdiri tepat di depan meja Farhan. Bahunya lebar, posturnya santai tapi matanya tidak.

“Gue mau ngomong.” Suaranya rendah, tapi tajam.

Farhan berbalik sepenuhnya, menyilangkan tangan di depan dada. Cahaya dari jendela memantul di rambutnya yang tersisir rapi. Senyum kecil muncul di sudut bibirnya—senyum tipis yang penuh perhitungan.

“Tentang rapat tadi?”

Nada lembut itu membuat ruangan terasa lebih sempit. Aldo tidak duduk. Ia tetap berdiri, bersandar di tepi meja panjang itu. Ada sesuatu dalam dirinya yang berubah—cepat, halus, tapi nyata.

“Ada yang aneh,” katanya perlahan.

Farhan tertawa kecil—suara pendek, seperti ejekan manis. “Banyak hal aneh di dunia teknologi, Do.”

Ia melangkah mengambil gelas air, bahunya tampak rileks. “Mau yang mana dulu?”

“Jangan main-main.”

Senyum Farhan berhenti seperti lampu yang mendadak padam. Suasana berubah. Keheningan turun dengan berat, seperti ada yang baru saja menutup tirai tebal di antara mereka.

Aldo memiringkan kepalanya sedikit, menatap Farhan dengan pandangan orang yang sudah terlalu sering berhadapan dengan manipulasi.

“Gue mau nanya,” katanya, suaranya bahkan lebih lirih daripada tadi—tapi jauh lebih menusuk. “Lo kenal Bulan?”

Pertanyaan itu menggantung di udara. Ruangan serasa membeku. Farhan tidak langsung menjawab, ia bahkan tidak bergerak. Hanya kelopak matanya yang berkedip sedikit lebih lambat… pertanda otaknya sedang memutar ulang sesuatu yang tidak ingin ia tunjukkan.

“…kenal?” Ia mengulang kata itu dengan senyum lembut, terlalu lembut untuk terasa wajar. Nada suaranya dibuat santai, tapi sorot matanya tidak bisa berbohong.

Aldo mendengus kecil. “Apa lo ada hubungannya sama resignnya Bulan?.”  Ia menatap Farhan langsung. Tajam dan tanpa berkedip.

“Senyum lo tadi waktu lihat Bulan?” Ia mendekat setengah langkah. “Itu bukan senyum orang yang baru dengar nama.”

Farhan terdiam. Pandangannya ke Aldo tidak berkedip—membeku di tengah antara defensif dan agresif.

Aldo menghela napas pelan, suaranya lebih pelan namun penuh tekanan. “Dan senyum lo ilang pas Pak Yanuar info kalo Bulan dan Liora akan resign”

Aldo Kembali menundukn badannya kearah Farhan “Kita udah kenal lama, jadi, sebenarnya apa hubungan lo sama Bulan?”

Farhan memalingkan wajah, berjalan pelan ke mejanya sambil memutar gelas air di tangannya. Gerakannya lembut, tapi ada ketegangan di otot rahangnya.

“Bulan…” Ia menyebut nama itu setengah berbisik. “…hanya seseorang yang pernah gue kenal.”

Aldo tertawa singkat. “‘Hanya’? Serius?”

Ia berdiri lebih dekat, jaraknya hanya satu meter dari Farhan. “Gue tau, Han.”

Farhan berhenti memutar gelas. Suasana di sekeliling mereka mengeras.

“Tau apa?” Nada Farhan tetap tenang… tapi terlalu tenang. Seperti seseorang yang terbiasa menyembunyikan badai di balik permukaan yang diam.

Aldo menatapnya lama—lama sekali—sebelum akhirnya berkata, “Gue tau alasan Bulan resign barengan sama Liora.” Suaranya turun dan lebih rendah.

Farhan menegang. Sangat tipis… tapi terlihat.

“Dan itu bukan karena alasan klise yang Pak Yanuar bilang tadi. Lo pikir gue bego?”

Keheningan berikutnya menggantung seperti pisau.

“Lo penyebabnya, kan?” Ucap Aldo tajam.

Farhan tidak menjawab, hanya menatap Aldo dalam diam, sorot matanya gelap, dalam, dan… terluka? Tidak. Itu bukan rasa terluka, itu obsesi. Aldo mengepalkan rahangnya.

“Lo pernah ngapain ke mereka?”

Farhan memejamkan mata sebentar—detik itu saja sudah cukup bagi Aldo untuk memahami bahwa semua kecurigaannya benar.

“Gue cuma…” Nada Farhan berubah pelan. “…punya urusan yang seharusnya sudah selesai sama Bulan.”

Aldo nyaris tertawa karena jijik. “Kalau udah selesai…” Ia mencondongkan tubuh agar sejajar dengan pandangan Farhan. “…kenapa dia sampai resign?”

Farhan lagi-lagi tidak menjawab. Hanya diam. Dan diamnya jauh lebih mengerikan daripada jawaban apa pun. Aldo menghela napas kasar, suaranya berubah menjadi bisikan yang hanya bisa didengar Farhan.

“Gue juga tau Liora resign karena ikut Bulan. Mereka begitu—dua-duanya. Satu pergi, yang lain narik.”

Farhan menatap lantai, tapi rahangnya keras—menahan sesuatu yang tidak ia sebutkan.

“Gue cuma mau kesempatan kedua,” katanya akhirnya.

Aldo menyipitkan mata seakan mendengar sesuatu yang sangat busuk. “Dengan cara jadi direksi pusat dan yang jadi target pertama lo adalah… Bulan?”

Farhan tersenyum pelan—senyum yang jelas dibuat-buat. “Kedengarannya dramatis banget kalau lo yang bilang.”

Aldo menatapnya lama. Wajahnya keras, tapi suaranya justru turun… tenang. “Gue berharap lo datang sebagai direksi yang profesional, Han.”

Ia menggeleng pelan, kecewa. “Tapi lo cuma datang buat lanjutin obsesi lama lo, kan?”

Farhan tidak menolak, tidak membantah ucapan itu.

Aldo berdiri sambil menahan napas, kedua tangannya bertumpu pada meja seolah menahan amarah yang ingin meledak. Wajahnya merah, rahangnya mengeras, dan matanya bergerak liar, penuh ketidakpuasan yang sudah dipendam sejak awal meeting tadi.

Farhan duduk, tapi duduk pun tidak tenang. Punggungnya kaku, kursi sedikit ditarik mundur, dan jari-jarinya mengetuk meja dengan irama gelisah. Sebuah gelisah yang jelas-jelas ia tidak bisa kontrol—gelisah yang hanya muncul jika menyangkut satu nama.

Bulan.

Aldo akhirnya bicara, suaranya berat dan penuh tekanan, seperti seseorang yang sudah melewati batas sabar.

“Ini gak bisa dibiarkan begitu saja.” Ia menendang pelan kaki kursi di sebelahnya, tidak cukup keras untuk merusak, tapi cukup untuk menunjukkan betapa frustrasinya ia. “Dua orang itu adalah tulang punggung Global Tekhnologi. Dua-duanya resign sekaligus—itu gila.”

Farhan menatap lurus ke meja, tetapi pikirannya jelas tidak berada di ruangan itu. Tatapan kosongnya seperti tenggelam pada bayangan Bulan yang tampil di layar Zoom tadi. Bulan yang dewasa, tenang, mempesona, dan… menjauh darinya tanpa memberi waktu untuk memperbaiki apa pun.

Aldo melanjutkan, semakin panas. “Dan Pak Yanuar bilang apa? ‘Mereka perempuan dan pasti akan menikah.’” Ia menirukan dengan nada sinis. “Omong kosong! Itu alasan yang dibuat-buat.”

Farhan bergerak pelan di kursinya. “Gue—”

“Bukan cuma itu,” Aldo memotong. “Liora… kenapa juga ikut pergi? Dia itu CEO terbaik yang gue lihat selama gue bekerja di perusahaan manapun. Dia punya kepala dingin, dia cepat ambil keputusan, dia… luar biasa.”

Kata “luar biasa” itu tidak diucapkan dengan nada profesional. Ada sesuatu di belakangnya. Sesuatu yang tertahan,  Sesuatu yang personal.

Farhan menangkap itu, meskipun ia sendiri sudah cukup sibuk dengan pikirannya sendiri.

“Jadi begitu,” Farhan akhirnya berkata pelan. “Lo gak ingin dia pergi… karena alasan itu.”

Aldo menatapnya dengan tatapan muram yang keras. “Gue gak pernah nyembunyiin kalo gue tertarik sama Liora. Dia… berbeda.” Ia tertawa pendek, getir. “Tapi perempuan itu tidak pernah menoleh. Seakan akan gue itu transparan.”

Ada rasa sakit kecil yang halus tapi jelas terselip dalam kalimat itu.

Farhan terdiam sejenak, lalu bersandar ke kursi. Ia mengangkat tangannya dan menekan pangkal hidungnya, menghela napas sangat panjang.

“Setidaknya lo pernah punya kesempatan bicara,” gumamnya lirih. “Gue bahkan gak sempat memperbaiki apa pun. Begitu gue masuk… dia keluar.”

Aldo mengernyit. “Bulan?”

Farhan menutup mata, seakan kalimat itu sendiri menyakiti. “Iya. Bulan.”

Ini pertama kalinya ia menyebut nama itu setelah meeting. Dan kenyataan itu membuat Aldo memperhatikannya lebih dalam.

“Bulan tadi… terlihat baik-baik saja,” Aldo bersuara hati-hati.

“Itu masalahnya,” Farhan membuka mata kembali, tatapannya gelap dan penuh emosi yang terpendam. “Dia baik-baik saja. Baik tanpa gue. Baik dengan keputusannya. Baik dengan meninggalkan tempat yang seharusnya membuat gue bisa memperbaiki semuanya.”

Aldo mendengus, bukan mengejek, tapi karena ia memahami kalimat itu lebih dari yang ia mau akui.

Ruangan menjadi sunyi. Hanya suara AC yang pelan, mempertegas ketegangan yang menggantung.

Aldo akhirnya bersuara lagi, lebih dalam, lebih dingin. “Gue gak peduli apa alasannya. Yang paling gue gak suka adalah perusahaan kehilangan dua aset terbaiknya.”

Ia menatap Farhan lurus-lurus. “Dan gue lebih gak suka kalau ada seseorang menjadi alasan di balik keputusan itu.”

Farhan tidak bergeming. Tapi rahangnya mengeras.

“Gue tidak melakukan apa-apa sekarang,” Farhan berkata tenang, tapi itu ketenangan yang dipaksakan. “Jika itu yang lo pikirkan.”

Aldo melangkah mendekat, berdiri tepat di depan Farhan seolah menantang. “Tapi lo pernah,” ucapnya perlahan. “Dan gue rasa… perasaan lo juga masih sama.”

Pernyataan itu menggantung lama di udara—tebal, berat, tajam.

Farhan menatap Aldo tanpa menghindar. Sorot matanya berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih gelap. Ada rasa bersalah. Ada rasa terdesak. Ada ketakutan yang dirangkai dengan penyesalan yang tidak terucap.

“Gue hanya ingin bicara,” katanya lirih, hampir seperti bisikan. “Gue hanya ingin… memperbaiki sesuatu yang belum selesai.”

Aldo menggeleng, nada sinis kembali. “Sayang sekali. Dia tidak memberikan lo kesempatan. Dan menurut gue, dia gak butuh itu.”

Kalimat itu menikam Farhan dengan cara yang membuatnya terdiam. Aldo memasukkan tangannya ke saku celananya, bersiap keluar, tetapi sebelum melewati pintu, ia berhenti.

“Dengar, Farhan,” ia menoleh dengan wajah yang dipenuhi ketidaksukaan yang sulit disembunyikan. “Jangan buat masalah. Perusahaan ini sudah cukup kacau tanpa lo membawa drama masa lalu ke sini.”

Farhan membalas tatapan itu tanpa ekspresi, hanya sisa tekad yang belum padam.

“Gue gak berniat membuat masalah,” ucapnya dengan suara rendah. “Tapi kalau ada kesempatan untuk memperbaiki kesalahan… gue akan ambil.”

Aldo menatapnya lama, lalu mengembuskan napas tajam. “Terserah lo,” katanya dingin.

Pintu tertutup. Farhan dibiarkan sendirian di dalam ruangan. Ia bersandar ke kursi, memandangi layar laptop yang sudah padam, seakan berharap Bulan akan muncul lagi di sana.

Surabaya**

Ruang metting lantai lima kembali sunyi begitu layar Zoom menutup sendiri. Suara notifikasi terakhir itu masih terngiang samar di antara dinding kamar kerja yang diterangi cahaya pagi. Matahari Surabaya yang mulai merangkak naik menembus tirai tipis, memantulkan warna putih keemasan yang lembut di meja kerja Bulan.

Bulan menutup laptopnya perlahan, seperti seseorang yang menutup sebuah babak yang sudah lama ingin ia tinggalkan. Nafasnya keluar perlahan dari hidung, stabil tapi panjang, seolah tubuhnya baru sadar sudah menahan ketegangan sepanjang satu jam tadi.

Di sofa, Liora meletakkan bantal kecil yang tadi ia peluk selama meeting. Raut wajahnya masih menyimpan sisa-sisa ketegangan: dagu sedikit terangkat, bahu belum benar-benar rileks, dan bibirnya menahan sesuatu yang seperti hendak dikeluarkan tapi akhirnya dibiarkan mengendap.

“Ya Tuhan…” Liora memijat pelipisnya. “Al—do itu… sumpah ya, hampir gue lempar pake laptop.”

Bulan tersenyum kecil, lembut, tapi ada lelah mengendap di sana. “Dia memang keras kepala. Tapi itu bagian dari pekerjaannya.”

Liora menatap Bulan, mengangkat satu alis. “Bagian dari pekerjaannya? Bul… itu tadi udah kayak mau bacok orang lewat layar Zoom.”

Bulan terkekeh pelan, akhirnya bisa bernapas normal. “Iya. Tapi untung Pak Yanuar cepat tahan dia tadi.”

Ucapan itu membuat ruangan kembali hening sejenak. Bukan hening yang janggal, tapi hening yang penuh arti — seperti dua orang baru saja melewati badai besar bersama-sama.

Bulan merapikan pulpen di samping laptopnya. Gerakannya rapi, teratur, dan setiap detailnya menunjukkan hal yang tidak terlihat, ia benar-benar mantap. Tidak ada penyesalan di wajahnya, hanya ketenangan seseorang yang sudah mengambil keputusan yang tepat.

Liora memperhatikan Bulan sejenak sebelum berkata, “Lo okey, Bul?”

Bulan berhenti sebentar, menarik nafas lalu mengangguk “Gue baik,” jawabnya pelan. “Cape… tapi baik.”

Liora meraih segelas air dari meja dan menyesapnya perlahan. “Farhan tadi… kamu lihat dia?”

Bulan terdiam sepersekian detik. Ia tahu apa yang dimaksud Liora, Ia tahu bagaimana reaksi Farhan tadi — wajah yang menegang, rahang yang mengeras, mata yang meredup penuh keterkejutan pagar.

Namun ia memilih tidak menyentuh memori itu terlalu lama.

“Gue lihat,” jawabnya dengan nada datar tapi halus. “Dan itu tidak mengubah apa pun.”

Liora tersenyum kecil, bangga sekaligus lega. “Good.”

Suara ponsel bergetar di meja — pesan masuk dari Arsen.

**Arsen: **Noted, Bu Liora. Final test & serah terima sore ini ya. Saya tunggu di Arjuno Grand Hotel.

Liora menunjukkannya pada Bulan. “Arsen udah konfirmasi.”

Bulan mengangguk, rambutnya jatuh sedikit menutupi pipi kiri. “Oke. Hari ini kita rapikan semua data. Sore ini tinggal finalisasi di kantor Arjuno.”

“Sip.”

**

Arjuno Grand Hotel sore itu dipenuhi cahaya keemasan, memantul lembut dari jendela kaca tinggi yang menghadap langsung ke danau buatan. Ruang meeting di lantai dua puluh tujuh—yang biasanya menjadi tempat presentasi rapi dan diskusi ringan—hari ini terasa sedikit lebih sunyi dari biasanya. Suasana profesionalnya tetap terjaga, tapi ada sesuatu yang menekan dari bawah permukaan. Sesuatu yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang peka.

Bulan dan Liora duduk berdampingan di meja oval panjang, membawa map berisi laporan final. Bulan mengenakan blazer biru gelap dengan rambut tersisir rapi, wajahnya tenang, terkontrol, dan sedikit lebih pucat dibanding biasanya. Liora, dengan blouse ivory dan coat tipis abu-abu, tampak sedikit lebih tegang dari biasanya—dagunya terangkat, tetapi tatapannya menghindari pantulan dirinya di kaca jendela.

Pintu ruang meeting terbuka pelan.

Bhumi masuk pertama—tinggi, berwibawa, dengan kemeja putih bersih dan jas hitam yang dipadukan rapi. Aura CEO-nya memenuhi ruangan seketika. Namun ada sesuatu yang berbeda di wajahnya: tatapan tajam yang seperti sedang membaca situasi jauh sebelum duduk.

Di belakangnya, Marvin menyusul, memegang tablet. Tubuh tinggi dan bahu lebarnya memberikan kesan dingin dan tenang. Rambutnya rapi, ekspresinya nyaris datar, tapi matanya tajam memperhatikan gerak-gerik kecil di ruangan.

“Selamat sore,” ucap Bhumi sambil menarik kursi. Suaranya tenang, namun ada ketertiban yang membuat Bulan dan Liora saling melirik sangat cepat.

“Selamat sore, Pak Bhumi. Pak Marvin.” Liora menyapa sopan dan profesional seperti biasa.

Bulan mengangguk, menyembunyikan tarikan napas yang terdengar halus, hampir tidak tertangkap telinga.

Meeting dimulai. Mereka membahas laporan final: progress uji coba sinkronisasi final, timeline revisi, dokumentasi serah terima, dan daftar kontak untuk komunikasi lanjutan. Bhumi menyimak setiap detail dengan fokus tertutup, sesekali mengetuk pena ke meja, sebuah kebiasaan kecil yang hanya muncul saat pikirannya sedang menganalisis sesuatu yang lebih dalam daripada data.

Di tengah presentasi, ia beberapa kali memperhatikan Bulan lebih lama daripada seharusnya. Bulan bersuara stabil, jelas, tidak tergesa. Namun Bhumi mengenali setiap lapisan kecil di balik suara itu.

Ia terlalu peka jika menyangkut Bulan.

Ketika presentasi selesai, Liora menutup laptop dengan hati-hati lalu menarik napas pendek sebelum bicara. Suaranya sopan, namun terdengar hati-hati seperti seseorang yang melangkah di atas kaca tipis.

“Pak… sebelum kita akhiri meeting hari ini, ada hal yang perlu kami sampaikan.”

Bhumi mengangkat wajah. “Silakan.”

Liora menatapnya beberapa detik—seolah sedang mencari cara paling elegan untuk mengatakan sesuatu yang tidak ingin ia katakan.

“Mulai minggu depan…” ia menelan sedikit, tangan kirinya meremas map yang ia pegang, “…untuk Project Arjuno Group akan ditangani oleh tim lain. Bukan kami lagi.”

Ruangan langsung terasa bergeser, seperti udara mendadak menegang.

Bhumi berhenti mengetuk penanya. Matanya langsung mengarah ke Bulan.

Bulan menunduk halus. Wajahnya tetap tenang, tapi ada getaran halus di garis bahunya—bukan gemetar, hanya penegasan betapa keras ia menjaga semua tetap rapi luar-dalam.

Marvin sedikit menaikkan alis, mengalihkan pandangan dari tablet ke dua perempuan itu. Ia jarang menunjukkan emosi, tapi kali ini jelas ia sedang menimbang sesuatu.

“Kenapa?” suara Bhumi keluar pelan, tapi ada tekanan halus yang jelas.

Bagi Bulan, tatapan itu terasa terlalu langsung.

Liora menjawab lebih dulu, cepat, seolah ingin melindungi Bulan dari pertanyaan itu. “Ada hal internal, Pak. Di kantor. Tapi tidak ada yang perlu Bapak khawatirkan. Semua dokumentasi, semua timeline, semuanya aman.”

Bhumi masih menatap Bulan, bukan Liora.

“Internal seperti apa?” tanyanya lagi. Nada suaranya tetap rendah, tapi tegang—seperti seseorang yang merasa ada sesuatu yang tidak diberitahu padanya.

Bulan akhirnya mengangkat wajah. Ia tersenyum tipis, lembut, tapi matanya terlihat sedikit lebih basah daripada biasanya.

“Ini… masalah internal kami, Pak,” ucapnya pelan. “Tidak ada masalah profesional. Tidak ada hal yang merugikan Bapak atau Arjuno Group. Kami hanya… memutuskan untuk mundur dari Global Teknologi.”

Bhumi terdiam.

Bukan karena tidak punya kata-kata. Tapi karena kata-kata yang ingin ia keluarkan semuanya terlalu personal untuk ruangan kerja ini.

Marvin memperhatikan perubahan kecil di wajah sahabatnya—gerakan halus rahang yang mengeras setengah sentimeter, kelopak mata yang turun sedikit, tangan kiri yang mendadak berhenti memegang pena. Ia tahu Bhumi tidak suka perubahan mendadak. Apalagi perubahan yang melibatkan Bulan.

“Ini mendadak sekali,” Bhumi akhirnya berkata. Suaranya tetap stabil, tapi ada lapisan emosi lain yang ikut terbawa. “Sangat mendadak.”

“Maafkan kami, Pak,” Liora menunduk sopan. “Tapi transisi akan kami buat sebersih mungkin. Tidak akan ada hambatan.”

Dengan tanga yang saling bertaut diatas pahanya, Bulan memberanikan diri untuk menatap Bhumi langsung ke matanya. “Dan maaf Pak Bhumi, sepertinya saya tidak bisa membantu Bapak untuk presentasi project ini di depan Management Bapak, sekali lagi saya minta maaf” ucap Bulan tulus.

Bhumi menautkan jari-jarinya di atas meja, tubuhnya condong sedikit ke depan.

“Saya hanya ingin mengerti satu hal.” Tatapannya kembali pada Bulan. Tatapan yang tidak bisa Bulan hindari. “Apakah ini keputusan yang benar-benar kalian inginkan? Atau ada sesuatu yang membuat kalian… terpaksa?”

Bulan menggeleng pelan. “Ini keputusan kami sendiri, Pak,” jawabnya halus. “Tidak ada yang memaksa.”

Bhumi tidak membantah. Tapi jelas ia tidak percaya seratus persen.

Ketegangan itu menggantung cantik—senyap, penuh hal-hal yang tidak terucap.

Sampai akhirnya Liora yang menutup percakapan. “Mulai minggu depan, serah terima resmi kami lakukan. Setelah itu, tim Global Teknologi yang baru yang akan handle semuanya.”

Bhumi mengangguk sangat perlahan, meskipun wajahnya tampak menyimpan seribu pertanyaan dan keberatan yang tidak diucapkan.

“Baik,” ucapnya akhirnya. “Kalau itu keputusan kalian… saya hormati.” Tapi suaranya bukan suara orang yang rela.

Bulan menunduk sopan. Liora mengikuti.

Mereka memberikan salam penutup, mengangkat map rapi, dan keluar dari ruang meeting.

Saat pintu tertutup, Bhumi masih memandang ke arah pintu itu, seolah menunggu Bulan kembali—atau berharap keputusan itu sekadar mimpi.

**

tbc

1
Anonymous
tuh kan dibales
Anonymous
buset liora/Facepalm/
Al_yaa
di bab ini marvin menang banyak, bhumi malah makin sweet .. lama lama ku gulung juga nih dunia pernovelan
Al_yaa
yaelah marv, menang banyak luuu /Grin/
Al_yaa
hayolo lioraa 🤭
Bia_
hayolo hayolo Liora
Bia_
heh Liora Jangan binal ya kamu/Facepalm/
Bia_
duh gusti /Grin/
Bia_
Jangan ditanya atuh bapak Selama masih ada 2 Curut mereka Pasti out
Bia_
liora Sebenernya ngerti tapi kek masih lugu aja nih
Al_yaa
di bab ini si marvin pemenangnya
Al_yaa
/Angry//Hey//Hey/
Al_yaa
marvin jan langsung diulti gitu apahhh
Al_yaa
omigat omigat lioraaaa/Facepalm/
KaosKaki
ya Allah, si Marvin mahhhh 😍
KaosKaki
/Angry//Awkward/
Al_yaa
bab ini bikin melting ihh, mauu satu yang kaya bhumi 😍
Al_yaa
padahal, liora juga mau ngomel tuhh ehh dikasi vitamin baby sama marvin malah meleleh diaa, jadi lupa deh mau ngomelnya
Anonymous
disuguhin yang manis manis dulu ya thorrr
Al_yaa
bab ini banyak ke uwuan /Smile//Hey//Grin/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!