Alaska Arnolda, CEO terkenal Arnolda, terpaksa menanggalkan jas mewahnya. Misinya kini: menyamar diam-diam sebagai guru di sebuah SMA demi mencari informasi tentang pesaing yang mengancam keluarganya. Niat hati fokus pada misi, ia malah bertemu Sekar Arum Lestari. Gadis cantik, jahil, dan nakal itu sukses memenuhi hari-hari seriusnya. Alaska selalu mengatainya 'bocah nakal'. Namun, karena suatu peristiwa tak terduga, sang CEO dingin itu harus terus terikat pada gadis yang selalu ia anggap pengganggu. Mampukah Alaska menjaga rahasia penyamarannya, sementara hatinya mulai ditarik oleh 'bocah nakal' yang seharusnya ia hindari?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BabyCaca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25 - Bekerja
Setelah selesai sarapan, suasana di ruang makan perlahan mereda. Para pelayan kembali sibuk merapikan meja panjang yang penuh hidangan, sementara aroma roti panggang dan kopi perlahan menghilang bersama langkah-langkah pelayan yang lalu-lalang. Arum, yang sedari tadi tidak bisa diam, kini berdiri di depan sebuah foto besar yang tergantung megah di dinding utama ruang tamu mansion itu. Cahaya matahari dari jendela besar membuat bingkai foto tampak berkilau elegan.
Sedangkan Alaska dan Jeff masih berada di meja makan tadi. Keduanya tampak sibuk membicarakan sesuatu yang sama sekali tidak Arum mengerti bahkan sejak awal, percakapan mereka lebih banyak dipenuhi kata-kata serius yang terdengar asing baginya. Karena merasa tak ada yang bisa dia lakukan di sana, Arum meminta izin untuk melihat-lihat mansion, dan Alaska pun mengizinkannya dengan isyarat cuek seperti biasa.
Kini, berdiri di depan foto keluarga itu, Arum menatapnya dengan penuh rasa kagum. Foto itu besar, indah, dan jelas mahal. Di sana ada seorang pria tampan berwajah tegas yang mirip sekali dengan Alaska, hanya saja terlihat lebih dewasa. Di sisi lain ada Alaska sendiri, tampak lebih muda dalam foto itu, berdiri di samping seorang wanita cantik berambut pirang dengan mata biru yang sangat memikat—mungkin ibunya. Dan di antara mereka ada seorang wanita lain yang tampaknya adalah kakak perempuan Alaska. Semua terlihat bahagia.
“Andai saja aku juga punya foto keluarga,” gumam Arum lirih, suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan ruang tamu yang luas itu.
“Hei apa yang kau lihat?” tanya Alaska tiba-tiba, muncul dari belakang Arum tanpa suara.
“Astaga bapak mengagetkan saya!” ketus gadis itu spontan memutar tubuhnya. Jantungnya hampir meloncat keluar.
Alaska tidak menjawab dan hanya mengangkat alis, lalu melangkah santai menuju sofa besar yang berada di ruang tamu. Jeff sudah duduk di sana entah sejak kapan membawa tablet dan beberapa berkas lain. Arum sedikit mengintip ke arah Alaska, lalu tanpa diundang dia ikut duduk, menempatkan diri dengan sopan seperti anak magang di rumah orang kaya.
Alaska melirik Arum yang kini memainkan jarinya gelisah. Tumben sekali gadis itu tidak cerewet. Biasanya mulutnya tidak berhenti bergerak seperti radio rusak yang terus menyala. Pemandangan Arum yang kali ini diam justru membuat Alaska heran. Pria itu ikut melirik foto keluarga yang tadi membuat Arum termenung.
“Apa kau ingin bertanya sesuatu?” tanya Alaska, suara datarnya mengiris keheningan.
“Boleh kah?” tanya Arum langsung berubah girang, matanya membesar penuh antusias, seolah itu adalah tanda bahwa dia akhirnya boleh melepaskan tekanan yang ia tahan selama beberapa menit.
Alaska mematikan tablet di pangkuannya dan mengangguk. Arum tampak menahan napas sebentar lalu bertanya.
“Yang di sana siapa saja?” tanya Arum sambil menunjuk foto besar itu dengan kepo.
“Kenapa kau sangat penasaran dengan keluarga orang lain?” tanya Alaska heran.
“Loh tadi kata bapak gapapa nanya!” kesal Arum langsung membuang muka seolah mengamuk dalam diam.
Alaska menahan senyum. Setiap kali Arum ngambek, tingkahnya memang konyol dan lucu. Tapi pria itu tetap menjaga ekspresi datarnya agar tidak ketahuan menikmati tingkah gadis itu.
“Di sana ada Mommy dan Daddy serta kakak perempuan ku,” jawab Alaska santai.
“Benarkah? Seru sekali apa mereka masih ada?” tanya Arum pelan, nadanya hati-hati seolah takut menyinggung.
“Tentu, kenapa? Apa kau ingin bertemu?” tanya Alaska bingung.
“Bukan, aku kira semuanya eh bukan maksudnya kenapa tidak di rumah ini di mansion, soalnya aku tidak melihat keluarga bapak,” tanya Arum bingung, mengamati sekitar seakan mencari keberadaan mereka.
“Mom dan Dad sedang liburan, lalu kakak ku dia sudah menikah dan tinggal bersama suami nya,” jelas Alaska.
Arum mendadak terdiam. Tatapan gadis itu melembut, memandangi Alaska seperti sedang melihat seseorang yang diam-diam kesepian. Rumah sebesar ini… tapi hanya dihuni oleh satu orang saja? Arum menghela napas kecil tanpa sadar. Alaska yang melihat tatapan itu langsung menaikkan alis.
Kenapa gadis ini memasang mata sedih penuh belas kasihan? Apa dia berpikir Alaska sendirian dan hidup mengenaskan di rumah sebesar ini?
Pria itu mendengus pelan.
“Jangan memasang wajah jelek mu itu, aku tidak kesepian. Mommy dan daddy ku baru saja pergi,” jawab Alaska datar.
“Hah bagaimana bapak tau aku memikirkan hal itu?!” Arum terkejut setengah mati.
“Wajah mu menjelaskan semua nya,” jawab Alaska sambil menggeleng.
“Ternyata aku orang nya sedikit mudah di tebak ya,” gumam Arum sambil memainkan ujung rambutnya.
Suasana kembali tenang. Alaska kembali menyalakan tablet. Arum mulai bosan. Biasanya di rumah Kak Dian, dia bisa menyapu halaman, melipat baju, mengepel, atau apa pun. Di mansion ini, semuanya sudah dikerjakan pelayan. Arum benar-benar merasa seperti tamu yang tidak berguna.
Kepalanya miring, bibirnya maju sedikit, tanda dia akan bertanya sesuatu lagi.
“Apa kah ayah bapak seorang pengusaha sawit?” tanya Arum tiba-tiba dengan polosnya.
Jeff sampai tersedak udara. “Pfttt hahah pengusaha sawit,” tawa Jeff meledak.
Alaska menatap Jeff tajam sampai tawa itu seketika mati.
“Kenapa kau bertanya tanya terus, ini semua rumah dan mobil bukan milik ku. Milik orang tua ku, kau tau aku hanya guru, bodoh,” jawab Alaska.
“Astaga benarkah? Saya benar bener tidak enak dengan bapak harus menumpang gratis di sini,” ucap Arum menunduk seperti anak sekolah ketahuan bohong.
Senyum miring Alaska muncul. Justru ini jawaban yang ia tunggu-tunggu. Setidaknya gadis ini sadar diri bahwa tinggal di mansion bukan hal gratis.
“Apa kau kira makanan di sini gratis? Bahkan listrik, sabun dan semua yang kau gunakan gratis tentu tidak. Kau harus bekerja,” jawab Alaska santai.
“Hah bekerja? Ya sudah gapapa deh, aku tau diri juga kok, jadi apa?” tanya Arum cepat sekali.
“Kenapa kau langsung setuju dan tidak menolak?” tanya Alaska heran.
“Kenapa aku menolak? Aku menumpang tentu aku harus balas budi kan pak, bukan kah itu yang kita pelajari,” jawab Arum mantap.
Alaska hanya mendengus. Padahal dia berharap Arum akan marah atau protes agar bisa menggodanya. Tapi gadis itu malah setuju tanpa ragu, seperti pekerja baru yang bersemangat.
“Tapi kau harus pakai baju ini bekerja,” ucap Alaska sambil menunjukkan set pakaian yang diletakkan Jeff di atas meja.
“Wah ini baju pelayan ya? Seragam dong sama yang lain seru banget,” jawab Arum senang bukan main.
‘Sial… dia malah bahagia,’ batin Alaska kesal.
“Tapi boleh request ga warna pink aja biar lucu, boleh kan? Eh aku kerja nya apa pak? Bersih-bersihin rumah?” tanya Arum.
“Warna pink? Jeff ganti warna baju nya buat yang warna pink,” perintah Alaska.
“Baik tuan,” ucap Jeff.
“Asikk terimakasih pak Aska,” senyum Arum selebar mungkin.
Jeff memandang mereka berdua sambil menahan komentar.
‘Ih ngeri kok mau aja di atur sama nona Arum… apa tuan Alaska udah suka sama nona Arum?’
...----------------...
Jangan lupa pencet tombol jempol ya. Dukungan itu gratis tapi sangat membantu author.