NovelToon NovelToon
Mirror World Architect

Mirror World Architect

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Anak Genius / Horror Thriller-Horror / Epik Petualangan / Dunia Lain / Fantasi Wanita
Popularitas:312
Nilai: 5
Nama Author: PumpKinMan

Satu-satunya hal yang lebih buruk dari dunia yang rusak adalah mengetahui ada dunia lain yang tersembunyi di baliknya... dan dunia itu juga sama rusaknya.

Rania (21) adalah lulusan arsitektur terbaik di angkatannya. Sekarang, dia menghabiskan hari-harinya sebagai kurir paket. Baginya, sarkasme adalah mekanisme pertahanan, dan kemalasan adalah bentuk protes diam-diam terhadap industri yang menghancurkan idealisme. Dia hanya ingin hidup tenang, mengabaikan dunia, dan membayar sewa tepat waktu.

Tapi dunia tidak mau mengabaikannya.

Semuanya dimulai dari hal-hal kecil. Bayangan yang bergerak sepersekian detik lebih lambat dari seharusnya. Sensasi dingin yang menusuk di gedung-gedung tua. Distorsi aneh di udara yang hanya bisa dilihatnya, seolah-olah dia sedang melihat kota dari bawah permukaan air.

Rania segera menyadari bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Dia adalah satu-satunya yang bisa melihat "Dunia Cermin"-sebuah cetak biru kuno dan dingin yang bersembunyi tepat di balik realita

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 27: FLARE DI DALAM KABUT

Kegelapan total di dalam trailer kontainer itu terasa berat dan membebani.

Satu-satunya suara adalah *thrum-thrum-thrum* yang teredam dari generator diesel di luar, dan napas Reza yang tercekat di tenggorokannya. Monitor CRT di depan Rania kini hanya berupa layar hitam yang memantulkan cahaya oranye sakit-sakitan yang samar-samar masuk dari jendela trailer yang kotor.

*TUK. TUK. TUK.*

Ketukan itu lagi.

"Halo?" suara wanita itu memanggil, lebih keras sekarang. "Saya tahu ada orang di dalam! Generatornya menyala! Saya... saya wartawan! Saya tidak bersenjata! Saya... saya menerima email Anda!"

Reza, yang sedang berjongkok di dekat jendela belakang, menoleh ke RANIA. Matanya terbelalak ngeri dalam kegelapan.

"Jebakan," bisik Reza, suaranya gemetar. "Ra, itu jebakan. Itu pasti salah satu dari mereka. Faksi... faksi Pembersih!"

Rania tidak bergerak dari pintu. Amulet obsidian di dadanya dingin dan stabil. Pikirannya, yang dibungkam dari lolongan Gema, bekerja dengan kecepatan yang analitis.

*Data:* Suara wanita. Tunggal. Terdengar tegang, tapi tidak mengancam.

*Data:* Klaim sebagai "wartawan".

*Data:* Klaim menerima "email".

"Mereka tidak mengetuk," bisik RANIA. Suaranya datar. "Pria Berpayung itu mendobrak. Elara menelepon. Mereka tidak *mengetuk* seperti pengantar paket."

"Itu taktik baru!" desis Reza. "Untuk membuat kita keluar! Jangan jawab, Ra. Kumohon. Dia pasti bohong."

*THUMP-THUMP-THUMP.*

Wanita di luar kini menggedor lebih keras, nadanya berubah dari ragu-ragu menjadi putus asa. "Tolong! Dengar! Saya Santi Ibrahim dari *Suara Kota*! Saya tahu ini bukan ledakan gas! Saya tahu ini bukan terorisme! Saya... saya hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi!"

Santi Ibrahim. Nama itu memicu sesuatu di ingatan Rania yang terkompartementalisasi. Sebuah nama di artikel-artikel investigasi. Seorang reporter sungguhan.

"Email apa?" teriak Rania. Suaranya, yang diperkuat oleh dinding logam kontainer, terdengar tidak manusiawi dan datar.

Ada keheningan sesaat di luar. Wanita itu terkejut karena mendapat jawaban.

"Email!" teriak Santi. "Itu datang sekitar... sekitar pukul sepuluh malam tadi! Terenkripsi! Tanpa pengirim! Isinya hanya dua hal: satu file audio... dan koordinat GPS. Koordinat tempat ini!"

Rania dan Reza saling memandang dalam kegelapan.

"Itu tidak mungkin," bisik Reza. "Kita tidak mengirim email. Kita bahkan tidak punya sinyal!"

"Tentu saja tidak," Rania memproses. "Email itu... bukan *dari* kita. Email itu... *tentang* kita."

Pikiran Rania bekerja seperti *software* arsitektur. Siapa yang tahu? Siapa yang *tech-savvy*? Siapa yang *hidup* dan ingin membantu mereka, tetapi tidak bisa menghubungi mereka secara langsung?

Hanya ada satu jawaban logis.

"Dion," bisik Rania.

"Dion?"

"Dia teknisi Pelestari," Rania menyatukan kepingan-kepingan itu. "Dia masih hidup saat kita lari. Dia melihat kita. Dia tahu kita kabur. Dia tidak bisa menghubungi kita. Jadi... dia mengirim *flare*. Dia mengirim wartawan."

"Ke kita?" Reza tampak ngeri. "Dia *membocorkan* lokasi kita ke wartawan?!"

"Tidak," kata RANIA. "Dia tidak tahu kita ada di sini. Dia mengirimnya ke *koordinat* ini. Koordinat dari... Titik Buta yang tertidur di bawah kita."

Rania tiba-tiba mengerti. Amulet itu membisukan denyutan di bawah fondasi, tapi Dion pasti bisa melihatnya di sensor Ordo. Dia mengirim Santi ke sini, berharap Santi akan menemukan *sesuatu*... dan dia malah menemukan *mereka*.

Ini bukan jebakan. Ini adalah kebetulan yang sangat, sangat berbahaya.

"Putar file audio itu!" teriak Rania ke pintu.

"Apa?"

"File audio di email! Putar sekarang! Keras!"

Di luar, terdengar suara geraman frustrasi, lalu suara *fumbling* seseorang merogoh saku.

Sesaat kemudian...

*SKRRRRREEEEEEEEEEEEECH...*

Sebuah suara statis bernada sangat tinggi dan menyakitkan memancar dari *speaker* ponsel.

Reza langsung berteriak pelan dan mencengkeram kepalanya. "Hentikan! Hentikan!"

Itu adalah *suara* yang dia dengar di kepalanya. Itu adalah lolongan para "Sensitif". Itu adalah rekaman audio mentah dari "Koreksi" yang terjadi di Blok M.

Rania mengabaikan rasa sakit Reza. Dia mendengarkan. Bahkan melalui amulet, dia bisa merasakan getaran samar yang *salah* dari suara itu.

"Itu dia," bisiknya.

Dia telah membuat keputusan. Ini bukan ancaman. Ini adalah *aset*. Aset yang sama berbahayanya dengan yang lain.

"Reza," kata Rania, suaranya kini menjadi perintah. "Jaga generator. Dan tetap di belakangku. Jangan bicara."

"Ra... tidak... jangan buka..."

Rania mengabaikannya. Dia berjalan ke pintu kontainer yang berkarat. Dia memegang pipa rebar di tangan kirinya. Dengan tangan kanannya, dia meraih gagang pintu.

Dia membuka kunci gembok yang rusak dari dalam.

*KREEEEEK...*

Pintu itu terbuka dengan erangan logam berkarat, membuka celah selebar tiga puluh sentimeter.

Udara dingin malam yang berbau ozon menyerbu masuk.

Di luar, berdiri seorang wanita.

Persis seperti yang dideskripsikan Reza tentang dirinya sendiri: dia tampak seperti baru saja ditabrak truk. Rambutnya yang diikat asal-asalan mencuat ke segala arah. Ada noda kopi di jaket kulitnya. Di matanya yang merah dan lelah, Rania melihat sesuatu yang dia kenali: obsesi seorang analis yang tidak akan menyerah.

Santi Ibrahim memegang senter di satu tangan dan ponsel di tangan lainnya. Di lehernya tergantung kamera DSLR yang besar.

Dia menyinarkan senternya ke celah, menyilaukan Rania.

"Matikan sentermu," geram Rania, suaranya rendah dan mengancam.

Santi tersentak. Dia tidak menduga akan disambut oleh seorang wanita muda yang kotor, memegang pipa rebar berkarat seperti senjata.

"Saya... saya Santi Ibrahim," katanya, suaranya gemetar, tapi dia memaksakan diri untuk menunjukkan kartu pers-nya yang tergantung di lehernya. "Saya wartawan."

"Kami tahu siapa Anda," kata RANIA. "Pertanyaannya adalah, siapa *lagi* yang tahu Anda di sini?"

"Tidak ada!" kata Santi cepat. "Saya bersumpah. Saya datang sendiri. Kantor saya... redaktur saya... dia membungkam cerita ini. Dia menyebutnya 'ledakan gas'. Tapi saya tahu itu bohong."

"Buktikan," kata RANIA.

"Buktikan? Bagaimana?"

"Foto-foto. Yang katanya 'meleleh'," kata Rania. Dia sedang menguji data dari *interlude* (pikirannya sendiri).

Wajah Santi berubah dari takut menjadi kaget. "Bagaimana kamu...?"

"Tunjukkan."

Santi, dengan tangan gemetar, menurunkan senternya dan menyalakan layar LCD kameranya. Dia memutarnya menghadap Rania.

"Ini," bisiknya. "Saya... saya mengambilnya dari kejauhan. Sebelum militer menutup semuanya."

Rania mencondongkan tubuhnya sedikit ke celah pintu. Reza mengintip dari belakang bahunya.

Di layar kecil itu, mereka melihatnya.

Foto yang *glitch*. Foto bangunan "Kopi Titik Koma" yang sedang *dikoreksi* menjadi monolit hitam yang mustahil. Foto aspal yang *terhapus* piksel demi piksel.

"Lagi," perintah Rania.

Santi menggulir.

Sebuah foto buram, diambil dengan *zoom* maksimum. Sedan abu-abu. Seorang pria (Dion) menarik seorang wanita (Elara) masuk.

"Ya Tuhan..." bisik Reza. "Mereka... mereka berhasil."

"Lagi."

Santi menggulir ke foto terakhir. Foto yang dia ambil dari patroli polisi 302.

"Mobil ini," kata Santi, suaranya kini bersemangat karena adrenalin jurnalistik. "Saya memeriksanya. Mobil ini... lenyap. Lenyap dari radar. Seolah-olah mereka baru saja..."

"Melaju keluar dari eksistensi," Rania menyelesaikan kalimatnya, nadanya datar.

Santi menatapnya, mulutnya terbuka. "Bagaimana... bagaimana kamu tahu itu?"

Rania tidak menjawab. Dia telah mengkonfirmasi datanya. Wartawan ini nyata. Dia memiliki kepingan *puzzle* yang tidak dimiliki orang lain. Dan dia, tanpa sadar, telah dilukis sebuah target raksasa di punggungnya oleh Dion.

"Anda dalam bahaya besar, Santi Ibrahim," kata RANIA pelan.

"Saya tahu!" bentak Santi. "Itulah mengapa saya di sini! Apa *ini*? Apa yang terjadi di kota ini? Apa itu 'ledakan gas' itu? Apa suara di file audio itu? Dan... siapa... *kalian*?"

Rania menatap mata reporter yang panik namun teguh itu. Dia membuat perhitungan.

*Risiko:* Dia adalah manusia biasa. Dia "berisik". Dia panik. Dia bisa menjadi beban. Dia bisa membocorkan rahasia mereka.

*Peluang:* Dia adalah "mata" mereka di dunia *normal*. Dia memiliki akses ke data (berita, laporan polisi) yang tidak mereka miliki. Dia adalah cara mereka untuk berkomunikasi dengan dunia luar, jika diperlukan. Dia adalah... aset. Sama seperti Reza.

"Anda ingin tahu ceritanya?" tanya Rania, suaranya masih dingin dan tanpa emosi.

"Ya! Tentu saja ya!"

"Cerita itu akan membunuh Anda."

"Saya sudah mengambil risiko itu dengan datang ke sini," balas Santi.

Rania menatapnya lama. Lalu dia melangkah mundur, menarik pintu kontainer itu terbuka lebih lebar, menampakkan kegelapan total di dalamnya.

"Masuk," perintah Rania. "Matikan sentermu. Matikan ponselmu. Dan jangan menyentuh apa pun."

Santi Ibrahim ragu-ragu sejenak, menatap ke dalam kegelapan yang berbau apak dan diesel itu, di mana dua sosok kotor sedang menunggunya. Ini adalah keputusan terbodoh atau terhebat dalam kariernya.

Dia menekan tombol rekam di *voice recorder* kecil di sakunya.

Lalu dia melangkah masuk.

Pintu kontainer ditutup di belakangnya dengan suara *KLANG* logam yang final.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!