Serafim Dan Zephyr menikah karena di jodohkan oleh kedua orang tuanya, dari awal Serafim tahu Calon suaminya sudah mempunyai pacar, dan di balik senyum mereka, tersembunyi rahasia yang bisa mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Blueberry Solenne, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 – Luka Yang tersembunyi
Sebenarnya aku tahu dia mengetuk pintu dan memanggilku, hanya saja aku tak ada tenaga untuk bertengkar atau pun marah padanya. Aku butuh waktu mencerna semua ini, perubahan sikapnya yang secara mendadak. Selesai mandi aku langsung tertidur pulas.
Keesokan paginya aku berangkat lebih awal tanpa sarapan lagi dan langsung pergi ke kantor. Udara pagi masih agak lembap, dan lorong kantor terasa sunyi saat aku melangkah masuk. Bau kopi dari pantry samar-samar tercium.
Saat Zephyr mengirim pesan padaku.
Zephyr : Fim, apa kau marah padaku.
Aku tersenyum miring dengan tatapan sinis, lalu membalas cepat.
Serafim: Kenapa aku harus marah padamu, Phyr?
Zephyr : Ada yang ingin aku bicarakan, Fim.
Serafim: Baiklah.
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menelpon Shane, aku mengajaknya makan malam denganku, untungnya dia menerima ajakanku. Aku meletakkan ponselku, memijat leherku yang terasa kaku, dan melakukan sedikit streaching bagian tangan, pinggang dan kakiku. Kursi kerjaku berdecit pelan ketika aku merenggangkan tubuh.
Liam mengetuk pintu ia membawakan kopi untukku, dan meletakkannya di meja. Aroma kopi panas langsung memenuhi ruangan kerja yang tenang, hanya terdengar dengungan AC lembut di langit-langit. Ia bersender sedikit ke meja.
“Fim, apakah kenapa kemarin kau malah menyuruhku membawa mobilmu, sementara kau malah satu mobil dengan pria itu?” ujarnya sambil cemberut, lalu meneguk kopinya yang masih mengepul.
Aku menopangkan sikuku di atas meja, merangkapkan kedua telapak tanganku di sela-sela jariku. Tubuhku sedikit membungkuk, mataku menatap Liam, mencoba menyimak setiap kata darinya. Aku hanya terkekeh dan meminta maaf padanya.
“Kau tahu kau adalah teman yang sangat baik, kita sudah lama berteman, tapi kau malah mengikutiku ke sini kenapa kau tidak menetap di Montvale,” Candaku.
“Karena aku ingin selalu menjagamu, Fim, kakakmu sibuk dengan bisnis dan Elaina,” ujarnya, ia terdiam sesaat. “Fim kapan kakakmu menikahi Elaina, bukankah sudah tiga tahun mereka pacaran.”
Aku menyisir rambutku dengan jari-jariku.
“Entahlah, mungkin dia masih bangga dengan status dudanya.”
Dan kami tertawa bersama. Tawa kami memantul samar di ruangan kerja, mencairkan ketegangan yang sejak tadi menggantung.
Liam meneguk beberapa kali, ia mengecap, lalu sedikit berbisik.
“Fim, apa hubunganmu dengan Zephyr memburuk lagi, aku tidak melihatnya sudah beberapa hari ini?”
Aku mendongak sebentar, lalu merai ujung lengan kemejanya.
“Liam, bukankah kau suka dengan model pilihan kemejaku waktu itu, kenapa masih memakai kemeja lama?”
Liam mengecilkan matanya, “Jangan mengalihkan pembicaraanku, Fim?”
Aku mengangkat alisku dan melepaskan tanganku darinya sambil mengangkat bahu. Aku mengatakan padanya, kalau aku tidak ingin membahas soal rumah tanggaku.
Liam hanya menggeleng, dia sudah kehilangan kesabaran, lalu membisikkan sesuatu:
“Bagaimana kalau kita ke club?"
Ia menatapku lama, “aku tidak akan bilang pada Ayah dan kakakmu, tapi kau hanya boleh minum tiga gelas saja.”
Aku mendecakkan lidahku.
“Sebaiknya tidak usah, Liam, karena… aku akan makan malam dengan Shane.”
Liam memiringkan kepalanya ke kanan dan kekiri.
“Lagi lagi Shane, aku tahu kau dulu sering menelponku untuk membahasnya, tapi kau tidak pernah mengungkapkan perasaannya padanya.”
“Bagaimana kalau nanti malam?”
Liam terbatuk-batuk, Ia menatapku seolah tak percaya dengan kata yang ucapkan tadi, meletakkan gelasnya ke samping, lalu meletakkan kedua telapak tangannya di meja menatapku dalam-dalam.
“Fim… apa aku tidak salah dengar, kau pasti sedang bercanda? sadar Fim, kau sudah menjadi istri orang?”
Aku hanya mengangkat alisku cepat menandakan kalau aku serius.
Liam terus melarangmu, dan mencoba mengatakannya sekali lagi, dan saat aku mengatakan kalau aku tidak sedang bercanda, Liam pura-pura pergi dengan gelasnya, namun sesaat ia kembali. Dan menasehatimu.
“Liam, jadilah pengacaraku, mungkin dalam waktu dekat aku akan bercerai darinya, tapi tolong rahasiakan ini dari keluargaku,” aku mengusap wajahku sebentar, “Tolong Liam,”
Liam meletakkan gelasnya lalu memelukku, aku memeluknya juga, dan aku hampir menjatuhkan air mataku.
“Fim, aku apapun yang terjadi aku akan mendukungmu, kau tahu kita adalah teman sejati, benar bukan?”
Aku melepaskan pelukanku dan kami pun tertawa.
Pada akhirnya aku merubah rencana nanti malam yaitu bersenang-senang ke club beersama Liam dan tentu saja mengajak Shane juga.
Malamnya kami bertemu satu sama lain di tempat janjian, yaitu di salah satu Club. Lampu neon berwarna biru dan ungu menyorot dari dinding, musik berdentum tapi tidak terlalu keras, masih di jam awal. Aroma alkohol, parfum, dan asap tipis bercampur di udara.
Shane pun datang, ia memelukku dan Liam.
“Fim kau selalu saja membawa bodyguardmu.”
Kami terkekeh.
“Sebenarnya aku ingin menikahinya, tapi dia hanya menganggapku sebatas teman, Shane, apa… kau bisa membujuknya agar dia membuka hatinya untukku.”
“Apa maksudmu, Liam dia sudah menikah.”
“Ah dia sama Zephyr–”
Aku memotong ucapan Liam.
“Liam… Bukankan kau mau ke toilet?”
Tapi Liam malah mengernyitkan dahi, dan ia tersadar karena hampir keceplosan.
“Ahh iya, tapi nanti saja.”
Liam hanya menatap kami. Lalu melakukan tos, dan kami pun minum, tapi aku hanya diberi sedikit oleh Liam dan Shane, mereka tahu aku cepat mabuk.
Shane mengajakku menari, ia meletakkan kedua tangannya di pinggangku, awalnya aku tidak nyaman, tapi aku meberanikan diri, ini adalah salah satu tujuanku.
Aku melingkarkan kedua tanganku di lehernya.
Dan saat musik berubah pelan, lampu perlahan meredup, cahaya strobo berhenti berputar, suasana dance floor terasa lebih intim, ia memelukku lebih erat aku pun menyandarkan kepalaku di bahunya.
Malam itu aku menjadi berani, lalu aku mengangkat kepala menatapnya. Dulu aku sangat menyukai pria ini, tapi sekarang hatiku berubah.
Kami menatap satu sama lain.
“Fim… apa kau baik-baik saja?”
Aku pun tersadar dari lamunanku, lalu tersenyum.
Namun ketika aku hendak menjawab, Shane tiba-tiba menurunkan sedikit kepalanya, suaranya merendah dibawa dentuman musik yang mulai melambat.
“Fim… jujur saja, aku masih tidak percaya kita bisa sedekat ini sekarang. Dulu… kita bahkan tidak pernah bicara.”
Aku terkekeh kecil, gugup. “Iya. Padahal kita satu jurusan, kan? Strategi komunikasi. Aku selalu lihat kau duduk di barisan tengah, sibuk dengan catatanmu.”
Shane menoleh cepat, seolah tak menyangka. “Kau memperhatikanku?”
“Aku…” aku menelan ludah, “Aku dulu memang… suka melihatmu. Tapi kita tidak pernah benar-benar bertegur sapa. Aku pikir kau bahkan tidak tahu aku ada.”
Shane tertawa pendek, pelan, tapi matanya berubah, menjadi hangat, sedikit getir. “Kau salah, Fim. Aku tahu kau. Kau selalu duduk dekat jendela. Kau suka menoleh keluar ketika dosen mulai membosankan. Aku ingat itu.”
Aku terdiam. Dadaku terasa menegang.
Jadi… dia memperhatikanku juga?
“Aku tidak pernah mengira kau ingat hal seperti itu,” bisikku.
“Fim, aku bahkan ingat bagaimana kau selalu buru-buru keluar kelas setelah kuliah selesai. Aku ingin menyapamu beberapa kali… tapi entah kenapa aku selalu kehilangan nyali.” Ia menahan napas. “Mungkin karena kau terlihat… jauh.”
Aku menunduk sedikit, merasakan campuran hangat dan perih. Betapa anehnya, dulu aku begitu menyukainya, tapi sekarang rasanya hanya nostalgia yang lewat.
“Shane sebenarnya dulu aku menyukaimu, apa kau juga menyukaiku?”
Shane berhenti. Ia menatapku seolah tak percaya. Alisnya terangkat, napasnya tertahan.
“Fim… apa kau serius?”
Aku tersenyum, meskipun dadaku sakit. “Kalau kau tidak percaya, kau boleh bertanya pada kakakku dan Liam.”
Shane menatapku lebih lama, seakan menimbang-nimbang sesuatu yang seharusnya ia katakan sejak lama.
“Fim… kalau saja aku tahu—”
Tapi Liam seolah tidak memercayai ucapanku.
Ia yang sejak tadi memperhatikan dari jarak dekat langsung memalingkan muka, menggeleng cepat, seakan ingin menolak kenyataan itu.
Sebelum Shane sempat melanjutkan, aku melihat seseorang dengan kedua bodyguardnya.
Tidak seperti biasanya dia berdampingan seperti itu. Langkahnya mantap. Tatapannya langsung ke arah kami. Zephyr semakin mendekat dan tepat berdiri di sisi kami dengan tatapan menusuk.
Aku menoleh pada Zephyr.
“Hai, Phyr.”
Bersambung...
Dia jelas nganggep Zephyr tak lebih daripada alat/Doge/