NovelToon NovelToon
After The Fall

After The Fall

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: ARQ ween004

Viora Zealodie Walker, seorang gadis cantik yang memiliki kehidupan nyaris sempurna tanpa celah, namun seseorang berhasil menghancurkan segalanya dan membuat dirinya trauma hingga dia bertekad untuk mengubur sikap lemah, lugu, dan polosnya yang dulu menjadi sosok kuat, mandiri dan sifat dingin yang mendominasi.

Bahkan dia pindah sekolah ke tempat di mana ia mulai bangkit dari semua keterpurukan nya dan bertemu dengan seseorang yang diam-diam akan mencoba merobohkan tembok pertahanan nya yang beku.

Sosok dari masa lalu yang dia sendiri tidak pernah menyadari, sosok yang diam-diam memperhatikan dan peduli pada setiap gerak dan tindakan yang di ambilnya.

Agler Emilio Kendrick ketua geng motor besar yang ada di jakarta selatan sana... Black venom.

Dia adalah bad boy, yang memiliki sikap arogan.

Dan dia adalah sosok itu...

Akankah Agler berhasil mencairkan hati beku Viora dan merobohkan dinding pertahanan nya, atau cintanya tak kunjung mendapat balasan dan bertepuk sebelah tangan??

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARQ ween004, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

pagi kembali tiba

Suara deru motor sport terdengar jelas menembus hiruk-pikuk pagi di Starlight School. Di antara deretan mobil mewah dan sedan berkilau milik para siswa elit, suara berat dari knalpot Ducati Panigale hitam-merah itu menarik perhatian hampir semua orang yang baru tiba.

Agler.

Ia memperlambat laju motornya sebelum berhenti mulus di area parkir barat sekolah. Di bawah cahaya matahari pagi, motor itu tampak berkilau seperti bagian dari dirinya—liar, dingin, dan tak tersentuh.

Saat mesin dimatikan, suasana di sekitar nya justru terdengar riuh. Beberapa siswi yang sedang berjalan menuju gedung utama starlight spontan berhenti, menoleh dengan wajah terpaku.

Dan ketika helm full-face hitam itu dibuka—

Jeritan kecil dan gumaman takjub langsung pecah.

“Oh my God, itu kak Agler, kan?”

“Dia makin ganteng aja.”

“Gila, tiap hari kayak makin nggak manusiawi sih mukanya.”

Seperti biasa, Agler seolah tak mendengar. Rambut hitamnya sedikit berantakan tertiup angin, jatuh menutupi sebagian dahinya. Kemeja putihnya dibiarkan keluar dari celana, jas abu tua khas Starlight dilipat hingga siku, menampakkan urat tangan dan jam hitam di pergelangan kirinya. Dasi abu tergantung longgar di lehernya—tidak rapi, tapi justru itulah yang membuatnya semakin mempesona.

Ia turun dari motornya, meletakkan helm di atas tangki, lalu menyibak rambutnya ke belakang dengan gerakan santai—tanpa menyadari keributan kecil di sekitarnya.

“Ya ampun, Kak Agler!”

“Dia definisi sempurna yang sesungguhnya, nggak sih?”

“Kalau kayak gini terus, bisa mimisan deh gue… ganteng banget!”

Jerit-jerit kecil itu terdengar tertahan namun jelas.

Di sisi lain parkiran, Zea baru saja turun dari mobil sport hitamnya. Tatapannya menyapu suasana sekitar yang riuh dengan kening menyerengit samar—sebelum akhirnya dia mengikuti arah pandang mereka dan melihat sosok Agler di sana. Namun tanpa peringatan tatapan mata mereka tak sengaja bertemu.

Mata Agler yang—dingin dan tajam—bertemu dengan tatapan Zea yang datar dan tenang.

Tak ada kata. Tak ada senyum. Tak ada sapaan.

Hanya dua sosok yang sama-sama tenggelam dalam pikirannya masing-masing.

Tidak ada yang lebih dulu berpaling.

Mereka seperti sedang membaca satu sama lain dalam diam.

Namun momen itu pecah seketika.

“Agleeer~!”

Suara cempreng bernada manja memotong keheningan. Dari sisi kanan, seorang gadis berambut panjang dengan pita biru muda melangkah mendekat dengan senyum genit.

Haura.

Salah satu siswi populer yang sudah lama berusaha menarik perhatian Agler—dan selalu gagal.

“Tumben banget lo nggak bareng Arvin sama Elva?”

katanya manja, tangannya hendak menyentuh lengan Agler.

Namun dengan cepat, pemuda itu menepisnya. Kasar.

Tatapan Agler berubah tajam—dingin, menusuk, membuat Haura tersentak dan kaku di tempat.

“Bisa berhenti gangguin gue, gak?” suaranya rendah, sinis, dan penuh rasa muak.

Haura mengerutkan alis, masih memaksa senyum. “Ganggu apaan, sih? Gue cuma nanya doang...” katanya santai, meski suaranya terdengar bergetar.

Agler maju selangkah. Satu langkah yang cukup untuk membuat udara di sekitar terasa berat. Tatapannya menghunus—dan Haura spontan ingin mundur, tapi urung ketika bisik-bisik mulai terdengar dari siswa-siswi di sekitar mereka.

“Gila, cuma Kak Haura yang bisa sedeket itu sama Kak Agler...”

"Gue iri sumpah. Kalau aja kita ada di posisi dia mungkin kita udah pingsan gak sih?"

"Iya lah. Secara tatapan doi bikin ngeri ege."

“Tapi katanya mereka udah jadian deh! Gue liat story Kak Haura di rumahnya kak Agler kemarin!”

“Serius? Wah, bad boy Starlight udah mulai sold out, nih ceritanya.”

“Keren juga, bisa dapetin cowok sedingin kak Agler.”

Haura menyunggingkan senyum penuh kemenangan namun Agler yang medengar itu semakin mengeraskan rahang dengan tatapan yang semakin menyala tajam. “Lo tau,” katanya rendah, nyaris berdesis, “semua tindakan lo... bikin gue muak.”

Tanpa menunggu jawaban, Agler melangkah pergi. Dingin. Tegas. Tidak menoleh sedikit pun.

Suara langkahnya menggema di antara decak kagum dan bisik-bisik yang masih berlanjut di belakang.

Namun sebelum langkahnya jauh, matanya menelusuri sisi parkiran tempat deretan mobil siswa-siswi___termasuk mobil sport milik Zea yang terparkir rapi di sana, tapi kali ini pemilik nya sudah berjalan santai menuju koridor pertama sekolah elite itu dengan earphone yang tersampul di kedua sisi telinganya.

Agler mengembuskan napas pelan, matanya menyipit.

“Cepet banget jalannya…” gumamnya lirih.

Lalu ia melanjutkan langkah menuju gedung sekolah dengan wajah datar, sementara di belakangnya beberapa siswi masih menatap punggungnya dengan pandangan penuh rasa kagum.

...----------------...

Koridor utama Starlight School sudah mulai dipenuhi siswa. Suara langkah sepatu bergema di lantai marmer yang mengilap, berpadu dengan cahaya matahari pagi yang menembus kaca besar di sisi barat.

Zea berjalan tenang dengan earphone masih terpasang di telinganya, tas disampirkan di satu bahu. Tapi langkahnya melambat ketika seseorang tiba-tiba merangkul pundaknya dari belakang.

“Pagi, Zee~!”

Suara itu cerah dan penuh percaya diri. Arcelyn—dengan rambut bergelombang yang jatuh indah sepinggang dan aroma parfum khas yang lembut—menyapa dengan senyum lebar.

Zea menoleh sedikit, melepas sebelah earphone.

“Pagi, Celyn.” Nada suaranya datar, tapi tidak dingin.

Arcelyn terkekeh kecil, berjalan sejajar di sampingnya.

“Pagi-pagi aura lo udah sedingin freezer aja,” godanya.

Zea mengangkat bahu pelan. “Masa? Gue rasa biasa aja.”

“Mungkin udah bawaan jiwa lo kali,” sahut Arcelyn sambil menahan tawa.

“Mungkin,” jawab Zea ringan.

“Oh iya,” Arcelyn menatapnya penasaran, “semalam lo berhasil kabur, kan, dari kejaran polisi itu?”

“Yup. Aman. Kalian sendiri gimana?”

“Aman juga, tapi sumpah—kita sempet panik. Soalnya lo satu-satunya yang mencar. Gue kira lo ketangkep.”

Zea terkekeh kecil. “Enggak kok. Gue sempet ngumpet sampai sirine polisi nya gak kedengaran lagi.”

"Huh, bagus deh. Tapi gue baru tau kalau lo lumayan jago juga bawa motor. Ada niat gak buat jadi peserta balap liar selanjutnya?"

"why not." Jawaban singkat itu membuat Arcelyn tersenyum puas. “Oke, noted.”

Mereka terus berjalan berdampingan, menyatu di antara arus siswa yang berhamburan ke kelas masing-masing. Beberapa siswa berhenti sejenak menatap—ada yang berbisik, ada yang terpaku.

Dua gadis populer dari kelas 11 IPA 1 pagi itu berjalan berdampingan—Arcelyn dengan auranya yang anggun tapi menindas, dan Zea dengan ketenangan yang berwibawa dan misterius.

Kontras yang sempurna.

Mereka berbelok di ujung koridor menuju tangga menuju lantai dua, tempat kelas 11 IPA 1 berada. Cahaya dari jendela besar menyoroti langkah mereka berdua, menciptakan bayangan panjang di lantai marmer yang dingin.

“Gila, semalam adrenalin gue diuji abis,” ujar Zea sambil tertawa kecil. “Tapi seru juga. Rasanya kayak bebas dari semua beban.”

“Emang lo punya beban?” Arcelyn menaikkan alis.

“Gue manusia, bukan robot, kalau lo lupa.”

Arcelyn tertawa renyah. “Fair enough.”

Begitu mereka tiba di depan pintu kelas, suasana seketika berubah. Beberapa siswa yang sudah duduk spontan menoleh.

Dua aura berbeda tapi sama-sama mencuri perhatian berdiri di ambang pintu.

Arcelyn melangkah lebih dulu, masih dengan gaya percaya dirinya. Zea menyusul di belakang, langkahnya tenang namun memancarkan wibawa yang tak bisa dijelaskan—dan sekali lagi, tanpa mereka sadari, seluruh perhatian di ruangan itu tertuju pada mereka.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

1
Mar lina
pasti Agler
yg menatap nya secara dlm...
lanjut thor ceritanya
Mar lina
siapa ya
sosok misterius itu???
Mar lina
bener Rafka ada main sama sahabat Viola
lanjut thor
Yunita Aristya
kok aku merasa friska ada main sama rafka🤭
ARQ ween004
Aku update tiap hari jam delapan ya! makasih yang udah mampir 🫶 tinggalkan jejak kalian di kolom komentar sini ya! biar aku tambah semangat nulisnya, hhe...

love u sekebon buat para readers ku🫶🫶
Madie 66
Aku jadi bisa melupakan masalah sehari-hari setelah baca cerita ini, terima kasih author!
ARQ ween004: makasih kembali, makasih udah baca cerita ku dan aku juga senang kalau kalian suka🫶🫶
total 1 replies
Carlos Vazquez Hernandez
Dapat pelajaran berharga. 🧐
Kelestine Santoso
Menguras air mata
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!