Harusnya, dia menjadi kakak iparku. Tapi, malam itu aku merenggut kesuciannya dan aku tak dapat melakukan apapun selain setuju harus menikah dengannya.
Pernikahan kami terjadi karena kesalah fahaman, dan ujian yang datang bertubi-tubi membuat hubungan kami semakin renggang.
Ini lebih rumit dari apa yang kuperkirakan, namun kemudian Takdir memberiku satu benang yang aku berharap bisa menghubungkan ku dengannya!
Aku sudah mati sejak malam itu. Sejak, apa yang paling berharga dalam hidupku direnggut paksa oleh tunanganku sendiri.
Aku dinikahkan dengan bajingan itu, dibenci oleh keluargaku sendiri.
Dan tidak hanya itu, aku difitnah kemudian dikurung dalam penjara hingga tujuh tahun lamanya.
Didunia ini, tak satupun orang yang benar-benar ku benci, selain dia penyebab kesalahan malam itu.~ Anja
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atuusalimah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bagian 6,part 3
"Gak ada yang bilang sama mami kalau Kezia sakit. padahal malem, dia masih baik-baik aja. Tadi pas Erna pamit juga cuman bilang kalau Reka ada, jadi mami sengaja gak keluar kamar." Ucap Bu Niar, setelah mengganti botol infusan yang baru, kemudian tangannya beralih menyentuh kening Kezia.
"Dokter Eki gak mengatakan apa-apa?"tanyanya kemudian, memastikan bahwa tidak ada yang serius pada gadis kecil itu.
"Dokter bilang dia masuk angin. Mungkin karena kelamaan berendam di air, atau juga terkena angin malam, sementara daya tahan tubuhnya sedang lemah. Yang bikin dia lemes itu karena terus-terusan muntah, seharusnya sebentar lagi juga dia akan merasa baikan setelah menghabiskan beberapa botol cairan infusan!"
"Syukurlah..."timpalnya menghela nafas lega. "Ngomong-ngomong kapan mau keluar, biar entar mami bilang sama Karman buat anter kamu. Atau enggak ajak Santi aja, kebetulan bahan-bahan dapur juga sudah pada habis,"
Anja menatap Kezia yang tertidur pulas, "Tar aja deh mam, nunggu Kezia sembuh. Lagian sekarang aku belum berencana kemana-mana,Oh iya, papi hari ini sibuk gak?"
"Sibuk apa? Kalaupun sibuk paling juga main golf, atau enggak mancing. Tahun kemarin papi baru pensiun, jadi udah gak pernah lagi keluar untuk pembahasan bisnis. Kalau sekarang, lebih aktif-aktifnya mengunjungi yayasan yatim dan dhuafa. Belum makan kan? Ayo,makan bareng! Papi udah nunggu disana dari tadi, mumpung Kezia tidur!" tangan mungil Anja ditarik, kakinya sempat terhuyung sebelum ia dapat menyeimbangkan langkahnya kemudian.
"Bukannya papi punya beberapa restaurant dan toko, ya? Boleh gak kalau misal aku kerja disana? , aku pikir, aku bakal bosen karena gak punya kesibukan!"
"Kerja itu capek! Kamu tinggal duduk manis dan menikmati hasil malah minta kerja! Kalau gitu caranya sama aja, gak bakal ada yang nemenin mami ntar,"
Bu Niar menarik kursi dan mempersilahkan duduk pada menantunya, "baru datang, papi udah mau selesai ini!" Pak Tias berbicara saat Anja baru saja mendaratkan bokongnya.
"Kezia gak mau ditinggal sama sekali, dia takut aku pergi!"jawab Anja "mami udah, jangan banyak-banyak, gak abis nanti!" Protesnya kemudian begitu ia memperhatikan nasi yang diambilkan Bu Niar khusus untuknya berlebihan.
Bu Niar tersenyum menanggapi,"makan yang banyak, biar semua orang melihat kamu baik-baik saja!
Lauknya mau sama apa aja, biar sekalian mami ambilin?"
"Gak usah mam, biar aku pilih sendiri!" Anja merebut halus piring nasi itu, sementara kini Bu Niar mulai mengambil nasi untuk dirinya sendiri.
"Papi banyak kenalannya kan,? Ada chenel buat aku masuk kerja gak,? apa aja... yang penting cocok di aku!" Anja berbicara setelah memindahkan beberapa menu makanan pada piringnya.
Pak Tias menghentikan suapannya, pada wajahnya nampak perubahan ekspresi yang begitu jelas, "Dia juga lalai dalam memberi nafkah? Kalau misal kurang, kenapa kamu gak bilang sama Reka?"tanyanya dengan Amarah yang berusaha ditahan.
"Ma-maksud papi?"Anja gugup, apa mertuanya salah faham? Tapi tunggu, berbicara nafkah? Jangan bilang, kartu yang ia gunakan selama dalam tahanan untuk kenyamanannya dalam sel itu pemberian Reka?.
"Kamu mau kerja, apa uang yang Reka kasih ke kamu itu kurang? Maafkan papi Anja, papi gak tau soal ini!"
Anja terdiam, kepalanya pusing mencoba mencerna sebuah kebenaran.
"Ka-kapan Reka memberiku uang?"tanya nya ragu. Ia sudah sangat mempercayai keluarga ini, jangan bilang mereka mengkhianati hal ini kepadanya.
"Reka tak pernah mentransfer uang ke kartumu? Mami gak tau kalau anak mami sekejam itu!"
Ia semakin bingung, mendapat pertanyaan Bu Niar yang menatapnya tak yakin. Tapi kalau ditanya tentang sebuah kartu, seseorang memang tak pernah ragu mentransfernya dalam jumlah besar dalam setiap bulan. Ia bahkan tak tahu sudah berapa angka pada kartunya sekarang mengingat dia tak pernah mempedulikan soal itu sebelumnya.
"Anja!"
Panggil mereka secara bersamaan. Anja terperanjat kaget, ia tak begitu bodoh jika hanya untuk mengambil kesimpulan siapa orang dibalik kartu itu. Mendatangkan psikolog, memfasilitasi segala bentuk kehidupan, hidup nyaman meski di bayang-bayang kebencian. Jadi... Semua itu nafkah? Nafkah yang mengingatkan bahwa ia dan Reka masih suami istri?
Anja tersenyum getir mendapati kenyataan pahit itu. Berapa banyak fakta lagi yang tidak ia ketahui? haruskah ia marah pada mereka karena berani menyembunyikan ini?
Tapi, jikapun marah... Ia yang bodoh, kenapa sebelumnya ia tak menanyakan hal sebesar ini?
semangat kak author 😍