Hari yang seharusnya menjadi awal kebahagiaan Eireen justru berubah menjadi neraka. Dipelaminan, di depan semua mata, ia dicampakkan oleh pria yang selama ini ia dukung seorang jaksa yang dulu ia temani berjuang dari nol. Pengkhianatan itu datang bersama perempuan yang ia anggap kakak sendiri.
Eireen tidak hanya kehilangan cinta, tapi juga harga diri. Namun, dari kehancuran itu lahirlah tekad baru: ia akan membalas semua luka, dengan cara yang paling kejam dan elegan.
Takdir membawanya pada Xavion Leonard Alistair, pewaris keluarga mafia paling disegani.
Pria itu tidak percaya pada cinta, namun di balik tatapan tajamnya, ia melihat api balas dendam yang sama seperti milik Eireen.
Eireen mendekatinya dengan satu tujuan membuktikan bahwa dirinya tidak hanya bisa bangkit, tetapi juga dimahkotai lebih tinggi dari siapa pun yang pernah merendahkannya.
Namun semakin dalam ia terjerat, semakin sulit ia membedakan antara balas dendam, ambisi dan cinta.
Mampukah Eireen melewati ini semua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eireyynezkim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bersimbah Darah
"Argh....!" Suara teriakan Eireen semakin lama, semakin terdengar nyaring, seolah begitu kesakitan.
Xav yang khawatir pun berlari menghampirinya. Ia mengabaikan gadis yang masih menatapnya nyalang dari ujung tangga, di atas sana. Saat Xav sampai di tangga di mana Eireen terduduk, teriakan tidak lagi terdengar. Tapi, tidak berselang lama, tubuh gadis itu terlihat lunglai. Xav dengan sigap menangkapnya, yang tiba-tiba pingsan.
"H-hei?!" ucap Xav sambil mengguncang tubuhnya, mencoba membangunkannya.
Sayang, Eireen sudah tidak sadarkan diri. Xav memeriksa denyut nadi, masih ada. Anehnya, keringat dingin terlihat membasahi dahi gadis itu.
"Hei, Eir. Sadarlah!" Xav berusaha sekali lagi mengguncang tubuh gadis itu, membangunkannya.
Nahas, yang coba ia bangunkan justru sedang tenggelam dalam ingatan masa lalu, yang membuncah di dalam kepalanya.
Masa lalu, yang dilihat Eireen dalam benaknya saat pingsan
BOOM!
BOOM!
BOOM!
Suara ledakan bersahutan begitu memekakkan telinga terdengar. Eireen kecil, yang saat itu berusia 7 tahun, melihat dari sebuah kapal, ledakan di pulau sebrang.
"Lihat dan ingatlah baik-baik! Itu adalah ulah Keluarga Alistair, mereka yang menghancurkan markas utama Keluarga Aelfric, termasuk keluarga kalian juga!" Suara laki-laki terdengar dengan nada penuh penekanan.
Eireen kecil bergeming, masih menatap kobaran api dari ledakan di pulau yang berhasil ia tinggalkan, bersama keluarganya, tampak berpikir.
Eireen berasal dari keluarga pengawal rahasia, yang melahirkan pengawal terlatih untuk bekerja kepada Keluarga Aelfric -- Keluarga Ayah Xav.
Saking rahasianya Keluarga Eireen, mereka punya tempat khusus di pulau, dimana markas utama Keluarga Aelfric berada. Tidak banyak yang tahu tentang mereka, kecuali anggota inti Keluarga Aelfric sendiri. Bahkan mereka tidak bermarga. Di kapal itu, Eireen bukan anak kecil satu-satunya. Mengingat, di sebelahnya, ada satu anak laki-laki dan satu anak perempuan, berdiri juga. Kedua anak itu adalah sepupu Eireen. Mereka, sama-sama menatap benci ke arah ledakan pulau itu.
"Suatu saat, aku akan membalas mereka, Paman. Demi darah ayah dan ibuku, aku bersumpah, akan membuat mereka kehilangan keluarga juga!" kata si anak laki-laki.
Sedang anak perempuan di sebelah Eireen juga menganggukkan kepala mantap. "Ya. Aku pasti akan balas kematian ayahku juga. Nyawa harus dibayar dengan nyawa!"
Berbeda dengan kedua anak itu. Eireen justru yang masih tampak berpikir.
Gadis itu melihat kedua anak di kanan dan kirinya, kemudian berceletuk, "Kenapa? Padahal, mereka sudah menyuruh kita untuk pergi menyelamatkan diri bukan? Orang tua kalian yang memilih bertahan. Jadi..."
"Jadi kau salahkan orang tua kami?!" Anak laki-laki itu menyela perkataan Eireen, dengan nada suara emosi.
Sejak tadi, Eireen memang berpikir tentang pilihan orang tua mereka, dan anggota keluarga mereka yang lain, yang memilih bertahan. Padahal, Keluarga Alistair sudah memberikan waktu yang cukup untuk mereka kabur. Mengingat, yang jadi target Ayah dan Ibu Xav adalah Kakek Xav dan penghancuran markas itu saja, bukan membunuh orang-orang lainnya di sana. Namun, Eireen tidak mengerti, karena orang tua kedua sepupunya dan orang dewasa lain itu justru memilih bertahan, melawan, pasukan Keluarga Alistair, yang mau membalas dendam kepada Tuan Besar mereka.
"Benar, kan? Padahal mereka sudah memberikan kesempatan hidup. Kenapa memilih bertahan, seolah sedang merelakan nyawa begitu?
Kalian..."
"Kau...!" Kini giliran anak perempuan di sebelahnya yang menyela. "Bisa berkata seperti itu, karena orang tuamu kebetulan tidak ada di markas, kan? Mereka masih hidup di luar sana, sedang orang tua kami, keluarga kita yang lain, mereka petarung sejati, pantang bagi mereka mundur, meninggalkan Keluarga Aelfric. Itu prinsip hidup kita, kau lupa?!"
Eireen tetap tidak mengerti akan pilihan itu.
"Kalau bicara kesetiaan, bukankah mereka gugur dalam keadaan terhormat, atas keputusan mereka sendiri? Lantas kenapa, kita harus membalas dendam?"
Anak laki-laki di sebelahnya menyeringai.
"Aleysha benar. Kau bicara seperti ini karena orang tuamu masih utuh. Lihat nanti, kalau orang tuamu juga jadi korban, apakah kau akan bisa berkata begini?!"
Eireen diam. Kedua anak itu menatapnya sinis. Sementara, laki-laki dewasa yang bersama mereka, juga menatapnya sambil mengawasi kemudi kapalnya.
Tatapan mereka kepada Eireen benar-benar mengucilkannya. Eireen berharap saat bertemu orang tuanya, ia akan dapat pembelaan.
PLAK!
Tapi, ia justru mendapat tamparan dari ayahnya, saat mengutarakan pendapat serupa.
"Kita ini keluarga petarung sejati, jangan kau berani-berani meno dainya dengan pemikiranmu yang seperti pecundang itu!" tandas Ayahnya dengan nada suara meninggi.
Eireen memegang pipinya, menahan sakit. Ia tatap sang ibu, tapi, sama halnya dengan ayahnya, ibunya pun tampak marah kepadanya.
Sejak itu, Eireen dan anak kecil lain berlatih bersama orang tuanya berserta satu orang dewasa yang membersamai mereka kabur di kapal waktu itu.
Mereka sengaja pergi ke negara, dimana Keluarga Xav berada, sekaligus mencari informasi di sana, untuk menyusun rencana balas dendamnya.
Eireen terpaksa mengikuti semua tahapan itu, karena ayah dan ibunya. Walau hatinya tetap menolak balas dendamnya.
Ia dilatih dengan sangat keras, di dalam pedalaman hutan, sebuah pulau tidak berpenghuni, bersama kedua anak lainnya.
Lebih gilanya lagi, ketiga orang dewasa yang bersamanya itu melakukan satu ritual gila, untuk mencetak petarung tidak terkalahkan, dengan rahasia keluarga mereka turun temurun.
Eireen dan kedua anak kecil itu didoktrin dengan pengaruh gas yang membuat orang mudah berhalusinasi, di ruangan isolasi yang tertutup. Ada juga suara melodi tertentu, yang diputar terus menerus.
"Setiap kali mencium bau gas ini, kekuatan kalian akan bangkit. Jika mendengar melodi ini, kekuatan kalian akan mencapai puncaknya! Kalian mungkin akan kehilangan kendali atas diri kalian sendiri! Tapi, kalian akan tetap ingat tujuan utama kit!" Kalimat itu terus menerus dikatakan, menggema di telinga Eireen dan kedua anak kecil lainnya.
Doktrin itu bukan hanya membuat dendam membara di dalam dada mereka untuk membalas dendam, kepada Keluarga Xav, tapi juga mampu mempengaruhi kekuatan tubuhnya.
Eireen sendiri, setelah menjalani doktrin itu, bukan hanya gerakannya yang gesit, melainkan tubuhnya jadi tidak merasakan sakit, saat kekuatan itu bangkit.
Aleysha, gadis itu didoktrin untuk mendekati Xav dengan kemampuan ilusi ekspresi wajahnya yang luar biasa. Ia disiapkan untuk menyusup ke dalam Keluarga Alistair dengan kekuatan fisik yang dia atas rata-rata juga.
Sedang anak laki-laki itu, ia memiliki kekuatan tubuh yang di luar nalar manusia.
Ketiganya, adalah rencana jangka panjang dari ketiga orang dewasa di Keluarga Eireen itu. Target utama mereka adalah anak-anak penerus Keluarga Alistair, yaitu Xav dan Xev.
Satu malam, saat usia 13 tahun, Eireen dan dua sepupunya diajak oleh orang dewasa yang menemani mereka kabur di kapal.
Mereka diajak keluar pulau itu untuk pertama kali, menaiki kapal sewaan, yang dipesan khusus dari kurir dunia gelap, di negara itu.
Di sanalah, Eireen kecil berkenalan dengan Bos Kalan, yang kebetulan, menjadi sopirnya kala itu.
Kedua anak lainnya dinaikkan mobil berbeda, dibawa ke arah yang berbeda pula, entah kemana.
Mereka sebenarnya masih dekat, seperti sepupu, karena selama ini Eireen pura-pura setuju dengan pemikirannya. Mereka berpisah dengan tatapan akhir saling mengkhawatirkan satu sama lain.
'Hmm. Tidak lah, pasti kami akan bertemu lagi nanti,' batin Eireen yang masih positive thinking, melihat kedua sepupunya dibawa pergi.
Namun, ia tidak sengaja mendengar orang dewasa yang mengantarnya berbisik, di telepon. "Apa? Operasinya gagal? Bukankah anak perempuan dan ajudannya sudah tertangkap?"
(...)
"Ok, bertahanlah, aku akan ke sana, setelah menyembunyikan anakmu!"
Eireen sadar, jika laki-laki itu sedang bicara dengan orang tuanya. 'Ayah... Ibu... kalian sedang apa?'
Ia tidak tahu saja, jika ia dan anak lainnya dibawa pergi dari pulau, karena ayah ibunya sedang melakukan rencana pembalasan mereka.
Eireen jadi ingat perkataan ibunya terakhir kali, sebelum pergi, yang katanya untuk mengumpulkan informasi. "Pelatihannya sudah selesai. Kau adalah petarung sejati, Eir. Jangan pernah sia-siakan pengorbanan kami! Entah apapun yang kami, orang dewasa lakukan, kalian adalah satu-satunya harapan kami, untuk mencapai tujuan keluarga kita. Mengerti, kan?"
Akhirnya ia sadar, jika itu kata perpisahan terakhir dari sang ibu. Air mata Eireen menetes, saat menyadari itu.
Namun, ia segera hapus air matanya, saat melihat laki-laki dewasa itu menghampiri. "Eir, kau cepat masuk mobil itu. Tunggu aku datang nanti. Kau mengerti?"
Eireen mengangguk, pura-pura paham. Ia masuk ke dalam mobil, yang sudah ada Bos Kalan di sampingnya.
Bos Kalan bicara beberapa hal dengan laki-laki dewasa itu, kemudian laki-laki itu pergi menuju ke kapal lagi.
Bos Kalan, masuk ke dalam mobil, melihat dari kaca spion orang tertutup selendang, dengan kedua sepatu di ujungnya.
Bos Kalan pikir, itu Eireen yang sedang berbaring di kursi berlakang. Tanpa bicara, ia mengemudikan mobil, melakukan tugas terakhirnya. Namun, ternyata Eireen sudah bergerak, diam-diam menyusup ke dalam kapal. Ia bersembunyi. Diam-diam ikut dengan orang dewasa kenalannya, karena mau ke tempat orang tuanya juga.
'Ayah.. Ibu... bertahanlah!' batin Eireen sambil meringkuk, di bawah kolong tempat duduk kapal.
Satu jam kemudian, di perairan kapal itu berada, ada kapal lain, terombang-ambing. Kapalnya mendekati kapal itu, barulah ia keluar dari tempat persembunyiannya.
Laki-laki dewasa itu terkejut melihat Eireen, yang ikut melompat ke kapal satunya. "Kau..."
"Ayah...Ibu... Dimana...?!" Gadis itu tanpa takut, langsung saja berlari masuk ke dalam kapal itu.
"Hei tunggu..." Laki-laki itu menyusulnya, sambil masih melihat kondisi sekitar kapal.
Saat sampai di bagian dalam kapal, ia melihat Eireen berdiri mematung di tengah lorong, yang bukan hanya bau anyir, tapi dindingnya juga penuh dengan bercak darah.
Orang-orang terlihat bergeletakan di lorong itu, termasuk ayah dan ibu Eireen yang juga bersimbah darah.