NovelToon NovelToon
Nikah Dadakan Karena Warga

Nikah Dadakan Karena Warga

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Pernikahan Kilat
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Anjay22

Reva Maharani kabur dari rumahnya karena di paksa menikah dengan pak Renggo ,ketika di kota Reva di tuduh berbuat asusila dengan Serang pria yang tidak di kenalnya ,bernama RAka Wijaya ,dan warga menikahkan mereka ,mereka tidak ada pilihan selain menerima pernikahan itu ,bagaimana perjalan rumah tangga mereka yang berawal tidak saling mengenal ?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjay22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Godaan mertua

Pagi ini Raka dan Reva nampak sedang duduk berdua di ruang makan ,namun ada yang berbeda diantara keduanya nampak ada rasa canggung .

Reva duduk di kursi, menatap telur dadarnya seolah itu bisa memberinya jawaban atas kecanggungan yang melanda sejak tadi pagi. Di seberangnya, Raka sibuk mengaduk kopi—terlalu lama, terlalu keras—seolah sendok itu musuh bebuyutannya.

Semalam, mereka akhirnya saling mencium. Pertama kalinya. Dan sekarang?

Sekarang, mereka tak tahu harus bersikap bagaimana.

Setiap kali pandangan mereka bertemu—secuil saja—wajah keduanya langsung memerah. Mereka buru-buru menunduk, pura-pura sibuk dengan piring, gelas, atau bahkan remah roti yang tak ada di meja. Mereka belum siap menghadapi “hari setelahnya.” Apalagi karena ini bukan sekadar ciuman biasa—ini ciuman pertama dalam pernikahan mereka. Dan itu... mengubah segalanya. Atau setidaknya, membuat segalanya terasa berbeda.

“Kamu nggak makan telurnya?” tanya Raka pelan, suaranya agak serak.

“Eh? Oh... iya, makan,” jawab Reva cepat, lalu menusuk telurnya dengan garpu—terlalu keras hingga kuningnya meletus dan mengenai piring dengan suara *pluk* yang terdengar sangat dramatis di tengah keheningan.

Raka menahan tawa—tapi juga menahan napas. “Kamu marah, ya?”

“Marah? Nggak! Kenapa aku marah?” Reva membalas terlalu cepat, matanya membelalak.

“Karena... aku cium kamu semalam ?”

Reva menatapnya, lalu menghela napas. “Aku nggak marah, Raka. Aku cuma... bingung.”

“Bingung kenapa?”

“Karena sekarang rasanya... aneh. Kayak kita bukan kita lagi.”

Raka mengangguk pelan. “Iya. Aku juga ngerasa gitu. Tapi... aneh yang enak, nggak?”

Reva menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil. “Iya. Enak.”

Tapi sebelum mereka sempat melanjutkan percakapan yang mulai mencair, suara derap langkah terdengar mendekat .

“Selamat pagi, anak-anak!” seru Bu Laras, ibu Raka, sambil melangkah masuk dengan wajah ceria dan tangan membawa sekeranjang buah. Di belakangnya, Pak Hartono—ayah Raka—mengikuti dengan senyum tenang dan koran di tangan.

Reva dan Raka langsung duduk tegak, seolah baru ketahuan menyontek ujian.

“Ma! Pa! Kok sudah bangun pagi-pagi?” tanya Raka, suaranya sedikit melengking.

“Ya iyalah, masa nunggu siang? Kalian kan belum sarapan, pasti. Aku bawa pepaya sama mangga—segarkan!” Bu Laras meletakkan keranjang di meja, lalu menatap keduanya dengan pandangan tajam tapi penuh arti.

Ada yang aneh.

Itu yang langsung terlintas di kepala Bu Laras. Biasanya, Reva dan Raka santai saja saat sarapan. Tapi hari ini? Mereka duduk berjauhan, tak saling menatap, dan wajah mereka—meski berusaha tenang—jelas memerah.

Bu Laras menyipitkan mata. “Kalian... nggak bertengkar, kan?”

“Nggak, Ma!” jawab keduanya serempak—terlalu serempak.

Pak Hartono tertawa kecil, lalu duduk di kursi kosong. “Kalau nggak bertengkar, kenapa jarak kalian kayak lagi di kencan pertama?”

Raka nyaris tersedak kopi. Reva buru-buru meneguk air putih—padahal gelasnya kosong.

Bu Laras duduk, lalu menyilangkan tangan. “Jadi... ada apa semalam?”

“Nggak ada apa-apa, Ma,” jawab Reva cepat.

“Kalian tidur bareng, kan?” tanya Bu Laras polos—tapi dengan nada yang jelas sedang menggoda.

“Ma!” Raka menjerit kecil, wajahnya memerah seperti tomat matang.

Reva menunduk, berharap lantai bisa menelannya.

Pak Hartono tertawa terbahak-bahak. “Wah, ini pertama kalinya aku lihat Raka malu-maluin diri sendiri. Biasanya dia yang bikin orang lain salah tingkah!”

“Pa.. tolong jangan bantu mama bikin aku makin malu,” rengek Raka.

Bu Laras tersenyum lebar, lalu mengambil sepotong roti. “Jadi... kalian belum... *itu*, ya?”

“BELUM, Ma!” teriak Raka, lalu buru-buru menutup mulut dengan tangan. “Maksudku... belum... *itu*... dalam arti... belum *itu*... tapi...”

“Tapi kalian udah ciuman, kan?” potong Bu Laras santai, sambil mengoles selai kacang.

Kediaman.

Reva dan Raka saling menatap—panik. Lalu kembali menunduk.

Bu Laras tertawa kecil. “kalian lucu ,seperti orang yang ketahuan maling ayam goreng saja."

Pak Hartono ikut tertawa  “Iya. kalian memang lucu ,Aku kira kamu nyesal nikah.”

“Pa!” Raka protes.

“Tapi ternyata... bukan nyesal. Cuma baru berani cium istrinya,” lanjut Pak Harun sambil tersenyum.

Reva menutup wajah dengan kedua tangan. “Pa ,jangan ngomong begitu ,Aku malu banget...”

“Kenapa malu? Itu hal wajar, Nak,” kata Bu Laras lembut, tapi matanya masih berbinar-binar nakal. “Cuma... kok baru sekarang? Udah sebulan menikah, lho.”

“Kami... butuh waktu,” jawab Raka pelan.

“Waktu buat apa? Belajar teknik ciuman dari YouTube?” goda Bu Laras.

“BU LARAS!” teriak Raka dan Reva bersamaan.

Pak Harun tertawa lagi. “Sudah, sudah. Jangan digoda terus. Nanti mereka kabur ke luar kota.”

“Kalau kabur, aku kejar pake motor,” jawab Bu Laras santai, lalu menggigit rotinya. “Tapi serius—kalian baik-baik aja, kan?”

Reva mengangguk pelan. “Iya, Ma. Kami baik. Cuma... masih belajar.”

“Belajar jadi suami istri yang beneran, maksudnya?” tanya Bu Laras, matanya berkilat.

“Ma...” Raka mengeluh.

“Ya udah, aku nggak nanya lagi. Tapi...” Bu Laras menatap mereka berdua, lalu tersenyum hangat. “Aku senang lihat kalian kayak gini. Malu-malu, tapi saling jaga. Itu tandanya kalian saling menghargai. Nggak asal-asalan.”

Reva menatap ibu mertuanya, lalu tersenyum kecil. “Makasih, Ma.”

“Tapi... besok kalau sedang di meja makan  jangan duduk kayak lagi di pengadilan, ya? Duduknya deketan dikit. Biar aku nggak mikir kalian lagi perang dingin,” lanjut Bu Laras, kembali menggoda.

Raka menghela napas. “Mama ini... nggak pernah berhenti ya?”

“Kalau berhenti, siapa yang bakal bikin hidup kalian seru?” jawab Bu Laras sambil mengedipkan mata.

Sarapan pun berlanjut—tapi perlahan, kekakuan mulai mencair. Raka berani menyentuh tangan Reva saat mengambil garam. Reva balas menyenggol kakinya di bawah meja—secara tak sengaja, atau mungkin sengaja. Mereka masih malu, tapi kini ada kehangatan di balik rasa canggung itu.

Usai sarapan, Bu Laras membantu Reva mencuci piring,walaupun ada pembantu ,tapi sudah menjadi kebiasaan mereka , Sementara itu, Pak Hartono duduk di teras bersama Raka, menyesap kopi terakhir.

“Kamu takut, ya?” tanya Pak Hartono tiba-tiba.

Raka terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Iya, Pa. Takut salah. Takut... dia kecewa.”

“Reva bukan tipe yang gampang kecewa. Dia tipe yang sabar. Tapi... jangan terlalu lama bikin dia nunggu, Nak.”

“Maksud Papa?”

“Cinta itu nggak cuma soal perasaan. Juga soal keberanian. Kamu udah mulai—itu bagus. Tapi jangan berhenti di ciuman doang.”

Raka menatap ayahnya, lalu tersenyum kecil. “Aku ngerti, Pa.”

Di dapur, Bu Laras berbisik pada Reva, “Dia cuma butuh dorongan kecil. Jangan ragu tunjukin kalau kamu juga pengin deket sama dia.”

Reva tersipu. “Tapi... aku takut dia mikir aku terlalu... berani.”

“Berani itu nggak salah, Nak. Asal dari hati yang tulus.”

Reva mengangguk. “Makasih, ma.”

Saat orang tuanya selesai sarapan dan  hendak meninggalkan tempat itu Raka dan Reva berdiri  berdampingan—tapi masih menjaga jarak tipis.

“Jaga diri, ya. Jangan lupa makan,” pesan Bu Laras.

“Siap, ma ,” jawab Raka.

“Dan... jangan lupa ciuman selamat pagi,” tambahnya sambil tersenyum nakal.

Reva langsung menarik lengan Raka ke dalam kamar dan menutup pintu—tapi terlalu cepat hingga hidung Raka nyaris kena pintu.

“Waduh! Maaf!” seru Reva.

Raka tertawa—tawa pertama yang benar-benar lega sejak tadi pagi. “Gapapa. Lebih baik kena pintu daripada kena godaan mama sepanjang hari.”

Mereka berdua tertawa. Dan dalam tawa itu, kecanggungan perlahan menguap.

“Jadi... kita udah kayak pasangan beneran, ya?” tanya Reva pelan.

“Kayaknya iya,” jawab Raka, lalu menatapnya. “Boleh... aku cium selamat pagi? Biar mama nggak penasaran.”

Reva tersenyum, lalu mengangguk.

Kali ini, ciumannya lebih percaya diri. Masih lembut, tapi penuh kehangatan. Dan ketika mereka berpisah, tak ada rasa malu yang mengganggu—hanya rasa nyaman yang tumbuh perlahan, seperti sinar matahari yang akhirnya menembus awan.

1
Napoleon
woop , rasanya gimana tuh Raka manis pasti
Napoleon
Buruk
Napoleon
Kecewa
Jena
Asiknya baca cerita ini bisa buat aku lupa waktu
MayAyunda: terimakasih kak
total 1 replies
kawaiko
Thor, tolong update secepatnya ya! Gak sabar nunggu!
MayAyunda: siap kak 🙏
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!