Joi, siswa SMA kelas 2 yang cuek dan pendiam, memiliki kemampuan indigo sejak kecil. Kemampuannya melihat hantu membuatnya terbiasa dengan dunia gaib, hingga ia bersikap acuh tak acuh terhadap makhluk halus. Namun, pertemuan tak terduga dengan Anya, hantu cantik yang dikejar hantu lain, mengubah kehidupannya. Anya yang ceria dan usil, terus mengikuti Arka meskipun diusir. Pertikaian dan pertengkaran mereka yang sering terjadi, perlahan-lahan mencairkan sikap cuek Joi dan menciptakan ikatan persahabatan yang tak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Joi momo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Titik Harapan
Setelah pelukan itu, Joi bergegas mencari lukisan Anya. Ia menemukannya, dan dengan hati berdebar, ternyata ia telah memajangnya di kamar kosong yang tak pernah dimasuki Anya. Kemudian, ia bergegas keluar,
Anya pun mencoba mengikuti nya namun karena badan nya yang masih lemah Joi pun melarang Anya mengikutinya. Joi berlari sekuat tenaga menuju rumah sakit, berharap orang tua Anya masih ada di sana. Lariannya penuh dengan keputusasaan dan harapan yang bercampur aduk. Ia hampir tertabrak mobil beberapa kali, nyaris kehilangan nyawanya, namun untungnya ia selamat.
Sampai di rumah sakit, sebelum sempat masuk, pihak rumah sakit kembali mengusirnya. Namun, kali ini, Joi berhasil menyampaikan pesan. Ia meminta pihak rumah sakit untuk memberikan lukisan itu kepada orang tua Anya, dan berjanji, "Saya akan menyelamatkan Anya." Lalu, ia berlari lagi, menghilang di balik senja yang mulai gelap.
**
Joi kembali ke rumahnya, terengah-engah. Kelelahan dan dahaga membuatnya terkapar tak berdaya di depan pintu rumah yang masih tertutup. Ia duduk di sana, memandangi bintang-bintang yang mulai bermunculan satu per satu, hati dipenuhi dengan campuran harapan dan keputusasaan.
Tiba-tiba, pintu terbuka. Anya muncul, wajahnya dipenuhi kekhawatiran. "Apa yang terjadi, Joi?" tanyanya.
Joi menjelaskan semuanya, tentang kunjungannya ke rumah sakit, tentang jasad Anya yang telah ia temukan.
Senyum Anya merekah, sebuah senyum yang begitu indah, menghiasi wajahnya yang transparan. Ia bersorak kegirangan, suaranya bergema di malam yang sunyi. "Aku bisa kembali! Aku bisa kembali ke tubuhku!"
Joi ikut tersenyum, melihat kebahagiaan Anya. Ia merasa semua perjuangannya terbayar lunas.
Anya memeluk Joi erat-erat, suaranya bergetar karena haru. "Akhirnya, kita bisa benar-benar bersama."
Joi hanya tersenyum tanpa berkata apa apa kemudian ia berbaring di sebelah Anya sambil memandangi bintang bintang.
"Sudah aku bilang kan aku ini manusia." ucap Anya dengan senyum dan tingkah menggemaskan dirinya.
Joi hanya tersenyum.
"Kalau nanti aku kembali jadi manusia, berjanjilah kamu akan sering sering ke rumah ku."
"Enggak." Sahut Joi namun dengan senyuman yang nampak sangat puas.
"Eh jangan gitu dong, nanti kalau aku kangen gimana?" balas Anya.
"Ya itu masalah mu, kau saja yang datang ke sini."
Anya pun terdiam sejenak, wajahnya cemberut "Dasar cowok gak peka, baik aku akan datang setiap hari." ucap Anya dengan wajah yang serius.
Joi pun lalu menatap nya sangat dalam, seperti menyembunyikan sesuatu dalam benak nya.
"Nanti aku bawakan ayam bakar kesukaan mu" ucap Anya dengan riang "Nanti kita makan sama sama ya"
"Yang pasti ini akan jadi kenangan yang tak terlupakan"
"Ya kenangan indah yang tak akan pernah terlupakan" sambut Joi.
Di atas teras rumah kayu tua milik ini, terhampar pemandangan luas yang tenang di bawah langit malam. Bulan purnama bersinar terang, menyiram halaman dengan cahaya keperakan. Joi dan Anya, dua sejoli yang saling mencintai, duduk berdampingan, kaki mereka bersentuhan ringan. Aroma bunga kamboja dari pohon di sudut halaman bercampur dengan semilir angin sejuk.
"Bayangkan, sepuluh tahun dari sekarang," kata Anya, suaranya lembut seperti desiran angin malam. Ia menatap bulan, matanya berbinar. "Kita sudah punya rumah sendiri, mungkin di dekat Danau. Rumah kecil, sederhana, tapi penuh cinta."
Joi tersenyum, menjangkau tangan Anya dan menggenggamnya erat. "Rumah kita akan penuh dengan tawa anak-anak kita. Kita akan menanam pohon mangga di halaman, seperti di rumah nenekmu."
Mereka terdiam sejenak, hanyut dalam khayalan masa depan mereka. Bayangan rumah mungil di tepi Danau, dengan suara riang anak-anak mereka bermain, begitu nyata. Janji-janji kecil mereka, yang dulu terucap ringan, kini terasa begitu berharga, seolah-olah sebuah ikatan yang tak terputus.
"Aku selalu ingat janji kita, Joi," bisik Anya, matanya berkaca-kaca. "Janji untuk selalu bersama, melewati suka dan duka, seperti sungai yang mengalir menuju laut."
Joi mendekatkan Anya padanya, pelukannya hangat dan penuh kasih sayang. "Dan aku akan selalu menepati janjiku, Anya. Aku akan selalu ada untukmu, selamanya."
Mereka larut dalam pelukan, merasakan kehangatan cinta yang begitu dalam. Di tengah malam yang sunyi, di bawah cahaya bulan purnama, janji-janji mereka bergema, kuat dan abadi, seperti bintang-bintang yang bersinar di langit malam itu. Malam itu, dunia terasa milik mereka berdua. Hanya mereka, dan janji-janji yang akan mereka raih bersama. Meskipun masa depan masih terasa jauh, rasa percaya dan cinta mereka begitu kuat, menghangatkan hati mereka di tengah dinginnya malam.
Tanpa sadar mereka saling menatap.
Wajah yang saling mendekat, sangat dekat dan mereka pun tanpa sadar berciuman.