Ziudith Clementine, seorang pelajar di sekolah internasional Lavante Internasional High School yang baru berusia 17 tahun meregang nyawa secara mengenaskan.
Bukan dibunuh, melainkan bunuh diri. Dia ditemukan tak bernyawa di dalam kamar asramanya.
Namun kisah Ziudith tak selesai sampai di sini.
Sebuah buku usang yang tak sengaja ditemukan Megan Alexa, teman satu kamar Ziudith berubah menjadi teror yang mengerikan dan mengungkap kenapa Ziudith memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dfe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan pergi
"Masuklah... Ada kejutan untuk mu di dalam sana."
Kata itu seperti sebuah perintah untuk Arkana, perintah agar dirinya bisa melangkahkan kaki lebih jauh dari yang sekarang dia lakukan hanya berdiri saja di depan pagar rumah Megan.
Satu langkah, dua langkah, hingga beberapa langkah lebar membawa pemuda itu untuk lebih dalam menelusuri sisi sunyi rumah besar keluarga Megan.
"Ada orang di sini? Megan? Kamu di rumah?" Dia bertanya pada udara. Karena tidak ada siapapun di dalam rumah.
"Kau mencarinya? Ke sini untuknya? Mau aku tunjukkan sesuatu?" Suara itu kembali muncul. Suara yang sekarang tidak lagi bisa Arkana katakan asing, saking seringnya Arkana mendengar suara itu di dalam kepalanya. Ya, itu adalah Ziudith.
Dalam kebingungan, Arkana merasakan tubuhnya limbung. Dia jadi tidak fokus dengan apa yang ada di sekelilingnya. Tiba-tiba cahaya pagi yang masuk dari jendela kaca besar itu meredup berubah menjadi kabut tipis yang merayap memenuhi ruangan. Langkahnya goyah, dia berhenti melangkah. Memegang dadanya yang bergemuruh. Ada sesuatu yang berbeda, seperti berpindah dimensi atau entahlah.. Arkana sendiri tidak mengerti. Tapi rasa tidak nyaman itu masih singgah di dadanya.
"Lihatlah... Kau akan melihat dirinya... Untuk terakhir kali."
Suara itu berubah serak dan berat. Ketika menoleh ke arah suara, suasana ruangan seketika berubah. Pagi yang indah berganti malam yang pekat. Lampu lampu menyala. Dan ada lelaki paruh baya yang duduk di sofa yang semula kosong, tak diduduki siapapun. Dia menatap ke arah Arkana!
"Sweety, kau datang juga akhirnya..."
Arkana menatap kebingungan. 'Sweety?' bahkan papanya sendiri tak pernah memanggilnya semanis itu. Tapi tatapan itu meyakinkan Arkana jika lelaki paruh baya tersebut memang memanggilnya.
Namun alangkah terkejutnya Arkana ketika ada sosok yang datang dari belakangnya, bukan.. bukan lewat dari samping tapi melewati tubuhnya! Menembus Arkana begitu saja seperti Arkana ini hanya kabut tak berwujud. Hantaman dari arah belakang itu menyadarkan Arkana jika dia sedang tidak berada di dunianya. Ini di mana? Apa dia kembali di bawa ke memori Ziudith? Atau.. kilas balik kejadian semalam saat Megan pulang ke rumahnya?
"Pah.."
Itu Megan. Dia tersenyum lembut, berjalan dengan tas ransel yang pernah Arkana lihat sebelumnya. Ya, itu adalah tas yang sama yang dipakai Megan ketika dia akan pulang ke rumahnya tadi malam!
"Lihatlah dirimu, kau makin kurus, setiap kali pulang ke rumah.. lingkar matamu makin menghitam. Mama mu di rumah setiap hari berusaha menggemukan ku tapi kau seperti orang kurang gizi di sana. Apa kau tidak pernah makan, Megan?" Sapaan hangat dari orang yang sekarang dipeluk oleh Megan.
"Papa bicara tentang itu? Serius? Aku sudah berkali-kali minta pindah sekolah tapi papa dan mama tidak pernah menanggapi omongan ku. Jangan salahkan aku jika anakmu ini jadi jelek dengan lingkar mata seperti panda begini, ini semua karena kalian." Pura-pura mendengus, Megan tak melepaskan dekapannya pada sang papa.
Arkana ikut tersenyum melihat keakraban keluarga Megan di depan matanya. Sampai Megan memutuskan untuk naik ke atas, menuju kamarnya. Arkana pun turut mengikuti dari belakang.
"Dia sepertinya sudah terbiasa dengan Lavente ya, pa?" Tanya mama Megan menatap punggung Megan yang makin menjauh menapaki tangga.
"Ya. Siapapun pasti akan tertekan dengan rentetan kejadian mengerikan di sekolah tempat mereka menimba ilmu. Namun, Megan tidak bisa menghindari itu, dia harus melawan rasa takutnya demi bisa meraih masa depan yang cerah. Setelah lulus dari Lavente, semua akan dia dapatkan. Bahkan ketika sekolah lain belum berani menyusun mimpi, Lavente sudah bisa mewujudkan impian para siswanya." Ucap papa Megan dengan bangga.
Arkana masih bisa mendengarnya. Tapi dia tidak peduli, sekarang dia ingin melihat apa yang Megan lakukan setelah pulang ke rumah.
Tanpa bersusah payah, Arkana bisa masuk ke dalam kamar Megan. Namun, seketika matanya membulat. Dia melihat sosok hitam berdiri tepat di belakang Megan, sosok itu seperti mencengkeram kepala Megan. Megan tidak bisa berteriak, suaranya seperti hilang oleh keheningan malam.
Arkana berlari, mendekati sosok itu agar tidak menyakiti Megan. Tapi Arkana hanya terus melakukan hal yang sama, menembus tubuh Megan dan sosok hitam di depannya terus menerus. Semakin lama tenaga Arkana semakin habis, dia terengah-engah. Tidak bisa berbuat apa-apa.
Matanya menyaksikan Megan tersiksa, kepalanya terus dicengkeram, matanya mendelik ke atas, tubuhnya lemas, dan.. Ada makhluk lain di ruangan itu. Ziudith!
"Kenapa kau lakukan ini?? Megan tidak bersalah!! Hentikan!! Kau menyakitinya, Ziudith!!" Bentak Arkana sudah sangat frustasi.
Di luar perkiraan, Ziudith menoleh ke arah Arkana. Dia memandang Arkana dengan tatapan sedih.
"Aku tidak berbuat apa-apa. Kenapa kau bilang aku menyakitinya?" Pertanyaan yang keluar dari bibir yang tidak bergerak itu membuat Arkana marah.
Dia mendekati Ziudith, mencoba meraih seseorang yang dulu pernah menjadi salah satu siswa Lavente, namun percuma... Seberapa keras usaha Arkana.. Ziudith tidak tersentuh sama sekali.
"Dia hanya melihat bagaimana aku diperlakukan dulu... Tidak ada yang menyakitinya di sini, kecuali pilihannya sendiri yang memilih diam atas semua yang dia lihat dulu." Tidak terdengar marah, juga tidak terdengar menghakimi, Ziudith bicara cukup tenang tanpa ada ledakan emosi.
"Tapi ini semua tidak adil untuknya!! Kau tahu Megan tidak pernah menyakiti mu selama ini?? Kau sudah terlihat seperti monster Ziudith! Dulu aku begitu senang ketika kau melakukan pembalasan atas ketidakadilan yang terjadi padamu, tapi sekarang... Sekarang kau seperti pemangsa buas yang tidak memandang siapa target mu!! Kau iblis!!" Teriak Arkana masih berusaha bersusah payah menghentikan apa yang sosok hitam itu lakukan pada Megan.
"Kau bicara tentang ketidak adilan padaku? Apa kau sungguh-sungguh tidak menyadari siapa yang kau ajak bicara sekarang ini?? Aku Ziudith Clementine! Korban perundungan di sekolah elite yang kalian banggakan. Aku Ziudith Clementine, yang memilih mengakhiri hidup dan menukar jiwa ku dengan keadilan yang tidak pernah aku dapatkan di dunia, dan aku adalah Ziudith Clementine... Yang kalian anggap sampah tidak berguna. Bahkan setelah aku tiada, kalian tetap memperlakukanku seperti aku adalah makhluk paling menjijikan di muka bumi!!"
Telinga Arkana berdenging. Dia sampai menutup telinga guna meredam teriakan Ziudith. Arkana terkekeh. Dia menatap Ziudith, mencoba bangkit meski tubuhnya terasa lebih lemah dari sebelumnya.
"Karena kau memang menjijikan, Ziudith! Salah.. Kau sudah bukan lagi Ziudith, Ziudith yang asli sudah tidur di keabadian. Sedangkan kau adalah... Kau hanya jelmaan iblis yang menyerupai dirinya!" Tak gentar Arkana melawan makhluk yang dia anggap bukan lagi Ziudith di depannya.
Ziudith tidak marah meski Arkana menyebutnya iblis. Senyumnya tipis, matanya sendu, tetapi tatapannya menusuk seperti belati. Kabut makin pekat, menelan dinding rumah Megan, menyisakan hanya ruangan dengan cahaya lampu pucat yang bergetar seolah hampir padam.
"Aku iblis, katamu?" suara Ziudith pelan, nyaris seperti gumaman, namun gaungnya menggetarkan dada Arkana.
"Kalau aku iblis… maka aku adalah iblis yang lahir dari manusia-manusia yang menciptakanku. Dan Megan… salah satunya. Kalian membuatku seperti ini."
Arkana terbelalak. "Tidak! Megan bukan salah satu dari mereka! Dia tidak pernah menyakitimu!!"
Ziudith menunduk, senyumnya merenggang, getir, lalu dia mengangkat wajahnya yang basah seakan ada air mata di sana.
"Kau salah, Arkana. Dia tidak menyakitiku dengan tangan, tidak dengan kata-kata… tetapi dengan diam. Dan diam… lebih mematikan dari pisau manapun."
Seketika ruangan berguncang. Lantai retak seperti kaca, dan Arkana kehilangan pijakan. Dia terhuyung, mencoba meraih apa pun, namun tangannya hanya menyentuh kabut. Ziudith merentangkan tangan, dan tubuh Arkana terseret ke dalam pusaran gelap.
"Lihatlah… lihat, bagaimana dia memilih jalanku untuk meninggalkan dunia!"
Dan di sana Arkana bisa melihat Megan. Jika sebelumnya ada sosok hitam yang terus menyiksa Megan dengan memberikan ingatan-ingatan tentang Ziudith, sekarang ini Megan terlihat diam mematung. Dia duduk di tepian tempat tidur. Tidak ada kebahagiaan di wajahnya, pandangan mata kosong dan terus menunduk menatap lantai.
Arkana menahan napas. "Megan…"
Dia berlari, tapi tubuhnya menembus udara. Megan tidak menoleh, tidak mendengar.
Megan menangis sendirian, demi apapun.. Arkana ikut tersiksa melihat Megan yang hancur seperti ini. Megan berdiri, dia menuju cermin. Lalu menatap lama pantulan dirinya di dalam cermin di hadapannya. Jari-jarinya menyentuh pergelangan tangannya sendiri, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu yang kelam.
Arkana berteriak memanggil Megan, berusaha meraih gadis itu tapi usahanya sia-sia. Memohon agar Megan berhenti... Berhenti dari apapun yang sedang gadis itu pikirkan saat ini, namun tidak ada suara yang bisa keluar dari kerongkongannya. Sepi! Arkana hanya membuang tenaga sia-sia.
Sekarang, Arkana melihat Megan duduk di lantai kamar mandi. Lampunya temaram, dindingnya dingin. Tangannya menggenggam sebuah silet kecil, tubuhnya gemetar. Air mata berjatuhan, membasahi pipi.
Arkana merasakan darahnya berhenti mengalir.
"Tolong berhenti Megan!!! Megan, jangan melakukan hal bodoh!!! Megaaan!!!" Teriak Arkana semakin kehilangan kontrol atas dirinya.
Namun, apa Megan berhenti? Tidak! Bahkan dengan tangan gemetar, Megan menempelkan silet itu ke pergelangan tangannya. Gadis pucat menarik napas panjang, lalu goresan pertama tercetak. Darah merah menyembur, menetes ke lantai putih. Megan terisak, tetapi dia melakukannya sekali lagi...
Arkana berlari, menubruk tubuh Megan, berusaha menghentikan tangan semua itu, namun tubuhnya hanya melewati kabut. Ia terjatuh di lantai, menangis putus asa.
"MEGAN!!! BERHENTI!!! YA TUHAN.. HENTIKAN INI SEMUA!!!"
Tapi Megan tidak mendengar. Tubuhnya sudah terlalu lemah, matanya sayu, bibirnya berbisik...
"Ar, jika kau melihat ini.. kau pasti akan membenci ku seumur hidup kan? Tak apa... Aku akan bawa kebencian mu itu pergi bersama jiwaku.. Ar, terimakasih selama ini selalu menemani ku, di saat orang lain tidak percaya padaku.. kau selalu ada.. terima.. kasiiih.."
Arkana menjerit, suaranya parau, sampai dadanya sesak. Mata Megan memandang ke arah Arkana. Dia sudah tak bergerak.
"MEGAAAAN!! AWAS SAJA KALAU KAU BERANI PERGI MENINGGALKAN KU!!! TUHAAAAN TOLONG MEGAN TUHAAAN!!"
Di tengah kekacauan itu.. Di sudut ruangan, berdiri Ziudith. Wajahnya tidak lagi marah, tidak lagi menyeramkan, hanya penuh duka.
"Kau lihat kan? Aku tidak menyakitinya. Aku hanya menunjukkan cermin. Megan memilih jalannya sendiri… aku tidak melakukan apapun."
Arkana menggeleng, memukul lantai. Tangannya berdenyut, sakit! Tapi tidak dia hiraukan. Dia terus menjerit meminta pertolongan.
"Tidak!! Kau yang mendorongnya! Kau yang membuat dia percaya bahwa bunuh diri adalah satu-satunya jalan keluar untuk semua ini!! Kau iblis, Ziudith!! Musnah saja kau ke dalam api neraka!!!"
Ziudith melangkah mendekati Arkana, wajahnya samar dalam kabut darah. Dia menatap Arkana yang begitu hancur.
"Aku hanya membisikkan kebenaran yang sudah ada di hatinya. Bukankah lebih menyakitkan, ketika seseorang tahu kebenaran itu sejak awal tapi memilih membisu?"
Arkana mendongak, air mata mengalir deras. "Kau iblis!! Kau bukan Ziudith yang dulu."
Ziudith tersenyum, samar dan sedih.
"Mungkin benar. Mungkin aku bukan lagi Ziudith yang kalian kenal."
Bersamaan dengan itu, cahaya pecah, suara Ziudith menghilang. Megan yang tadi bersimbah darah tak lagi Arkana lihat. Hanya ada keheningan. Lalu kepalanya terasa terhantam sesuatu, Arkana merasa dirinya diseret puluhan meter jauhnya. Tapi dia tidak tahu sosok apa yang melakukan ini semua padanya.
Sampai di bisa menatap kembali sekeliling, masih di rumah Megan! Tapi, ini bukan lagi malam... Ini pagi hari. Tangannya bergetar, dankepalanya luar biasa pusing. Dengan tertatih, Arkana mencoba keluar dari rumah Megan.
Tubuhnya lunglai, bibirnya bergetar, seakan merapalkan kalimat berulang..
"Aku mohon.. jangan ambil dia.. aku mohon.."
.
.
Lampu-lampu putih rumah sakit berpendar dingin, seperti cahaya bulan yang kehilangan hangatnya. Bau antiseptik menusuk, menelusup ke paru-paru Arkana yang baru saja siuman. Dunia terasa berputar, kepalanya berat, tubuhnya seakan masih tertahan dalam tarikan memori yang dia lihat beberapa saat yang lalu. Namun begitu matanya terbuka, yang pertama Arkana tanyakan dengan suara seraknya adalah..
"Megan… di mana Megan?"
Seorang perawat yang ada di ruangan itu menatap dengan tatapan ragu, lalu menyuruh Arkana untuk menunggu dokter.
Dia bisa merasakan ada firasat yang sama yang membawanya ke rumah Megan tadi pagi, kini sedang mencengkeram hatinya lebih kuat daripada sebelumnya. Dia memaksa bangun, meski tubuhnya lemah, lalu dengan langkah terhuyung dia mencari ruangan di mana Megan dirawat.
Pintu dibuka, dia keluar dari ruang rawat. Ada keluarga Megan yang sebelumnya dia lihat di memori yang diberikan Ziudith padanya, Arkana berjalan mendekati lelaki paruh baya yang nampak kehilangan semangat hidup itu.
"Om..." Panggil Arkana sudah ada di depan papanya Megan.
"Kau sudah sadar...? Asisten rumah tangga ku yang membawamu ke sini. Aku tidak tahu siapa orang tuamu, tidak tahu dari mana asalmu, tapi dari seragam mu.. aku yakin kau teman sekolah anakku." Ujar papanya Megan berusaha tegar.
Arkana mengangguk mengucapkan terimakasih. Dengan muka tak kalah menyedihkan dari orang tua Megan, Arkana meminta izin untuk menemui Megan.
Dan di sanalah Arkana menemukannya.
Megan berbaring di ranjang rumah sakit, tubuhnya pucat pasi, wajahnya terlihat cantik dengan pantulan cahaya remang yang jatuh dari lampu gantung. Tangan kirinya dibebat perban, noda merah samar masih merembes dari sela-selanya. Matanya setengah terbuka, seperti daun pintu yang hampir tertutup, menahan agar cahaya tak benar-benar hilang.
Arkana berhenti di ambang pintu. Dadanya bergetar, matanya panas. Begitu dekat, namun hatinya terasa jauh....
"Megan…" suaranya pecah, lirih, hampir tak terdengar.
Megan menoleh perlahan. Ada senyum tipis di bibirnya, senyum yang lebih mirip guratan luka daripada kebahagiaan. "Ar.. ka.. na" panggilnya pelan, seakan setiap huruf adalah beban terakhir yang harus dia pikul.
Arkana segera menghampiri, menggenggam tangannya yang dingin. "Aku di sini, Megan. Aku… aku terlambat, maafkan aku…"
Megan menutup mata sejenak, lalu membukanya lagi, menatap Arkana dengan sisa-sisa cahaya yang masih tersisa di irisnya.
"Minta maaf untuk apa? kau datang, itu sudah cukup bagiku."
Air mata jatuh tanpa bisa dia tahan. Arkana ingin berkata banyak hal.. tentang betapa dia menyesal tidak menahan Megan untuk pulang, betapa dia seharusnya melindungi, betapa hatinya menyimpan sesuatu yang sangat ingin dia ucapkan. Tapi bibirnya kelu. Arkana hanya bisa menunduk, membiarkan air mata jatuh di punggung tangan Megan yang pucat.
Megan tersenyum samar.
"Jangan… menangis...."
Suasana kamar sunyi. Hanya terdengar detak monitor jantung yang pelan, seakan menghitung sisa waktu yang mereka punya. Arkana mencengkeram tangannya lebih erat, berusaha menahan Megan tetap ada di dunia yang mulai menjauh darinya.
"Jangan pergi.. aku mohon, jangan pergi.. aku bersedia menggantikan dirimu, aku rela menukar jiwaku, agar kau masih ada di sini.. jangan pergi..." Suara Arkana pecah.
"Semoga.. di kehidupan berikutnya... Aku bisa mengenal mu.. lebih dulu...." Megan mengucapkan dengan sangat susah payah.
Hanya itu. Sesederhana itu. Namun kata-kata itu menikam Arkana lebih dalam daripada seribu pengakuan.
Detak monitor jantung melambat. Megan menarik napas panjang, lalu tersenyum tipis, bibirnya bergetar, menyisakan kata terakhir yang hampir berupa bisikan,
"Terima kasih… Ar..."
Dan layar monitor menorehkan garis lurus.
Arkana terpaku, tubuhnya gemetar. Teriakannya tertahan dalam dada, pecah dalam isakan tanpa suara. Dunia runtuh di hadapannya, dan untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar sendirian.
Dia bersandar di tepi ranjang, menggenggam tangan Megan yang mulai dingin, menangis tanpa peduli pada siapa pun. Kehilangan itu menenggelamkannya, dan yang tersisa hanyalah sesal... karena cinta yang dia simpan tak pernah sempat menemukan rumahnya.
Kan Megan pemeran utamanya
tadinya kami menyanjung dan mengasihaninya Krn nasib tragis yg menimpanya
tapi sekarang kami membencinya karena dendam yg membabi-buta
dikira jadi saksi kejahatan itu mudah apa?
dipikir kalo kita mengadukan ke pihak berwajib juga akan bisa 'menolong' sang korban sebagaimana mestinya?
disangka kalo kita jadi saksi gak akan kena beban moral dari sonosini?
huhhhh dasar iblissss, emang udh tabiatnya berbuat sesaddddd lagi menyesadkannn😤😤😤
karna kmn pun kamu pergi, dia selalu mengikutimu
bae² kena royalti ntar🚴🏻♀️🚴🏻♀️🚴🏻♀️
Megan tidak pernah jahat kepada ziudith,tapi kenapa Megan selalu di buru oleh Ziudith???!
Apakah Megan bakal kecelakaan,smoga enggak ah.. Jangan sampe