Laura jatuh cinta, menyerahkan segalanya, lalu dikhianati oleh pria yang seharusnya menjadi masa depannya—Jordan, sahabat kecil sekaligus tunangannya. Dia pergi dalam diam, menyembunyikan kehamilan dan membesarkan anak mereka sendiri. Tujuh tahun berlalu, Jordan kembali hadir sebagai bosnya … tanpa tahu bahwa dia punya seorang putra. Saat masa lalu datang menuntut jawaban dan cinta lama kembali menyala, mampukah Laura bertahan dengan luka yang belum sembuh, atau justru menyerah pada cinta yang tak pernah benar-benar hilang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27. Rahasia Terburuk
"Ayo aku antar pulang."
Ketika mendongak, Laura mendapati Noah dengan tatapannya yang dingin. Lelaki tersebut mengulurkan tangannya. Laura menatap tangan Noah sekilas, kemudian berusaha berdiri sendiri.
Akan tetapi, kekuatan Laura seakan menguap ke udara. Kakinya seakan tak mampu memijak bumi, sehingga membuatnya kesulitan berdiri tegak. Noah akhirnya memapah Laura untuk masuk ke mobilnya.
Sepanjang perjalanan ke apartemen, Laura hanya terdiam. Begitu juga dengan Noah. Dia hanya menatap jalanan di hadapannya, seolah tidak ada yang terjadi sebelumnya.
"Mama!" seru Leon ketika Laura masuk ke apartemen.
Laura hanya tersenyum tipis, lalu masuk ke kamarnya. Tatapan Leon mengikuti arah Laura berjalan, sampai akhirnya pintu kamar sang ibu tertutup.
Mata bulat Leon kini beralih menatap Noah. Lelaki tersebut sudah jarang bertemu sejak pernikahannya dengan Laura gagal. Baru kali ini Leon bisa kembali bertemu dengan paman yang sudah mengenalnya sejak lahir itu.
"Paman, Mama kenapa?" tanya Leon dengan kelopak mata yang berkedip beberapa kali.
"Mama kurang enak badan, Kai. Jadi sekarang mau istirahat." Noah tersenyum hangat seperti biasanya sambil mengusap puncak kepala bocah laki-laki tersebut.
"Ooo ...." Bibir Leon yang imut kini membentuk bulat sambil mengangguk.
"Ngomong-omong, kenapa Kai masih di rumah? Nggak sekolah?" tanya Noah dengan alis yang saling bertautan.
"Miss rapat, Paman. Jadi, sekolah hari ini diliburkan."
"Ah, baiklah. Sudah makan? Atau mau ngemil? Mau keluar sebentar sama paman?" tawar Noah.
Leon menoleh ke arah Siti. Perempuan paruh baya itu tersenyum simpul kemudian mengangguk. Kini Leon kembali menatap Noah dan mulai mengangguk.
Lelaki tersebut langsung menggendong Leon. Keduanya pun keluar dari apartemen dan berjalan menuju minimarket. Noah sengaja mengajak Leon bermain di taman agar kelelahan dan lebih cepat tidur. Noah yang sejak kecil mendampingi Leon tentu paham pola bermain dan istirahatnya.
Hanya bermain dalam waktu satu jam, Leon mulai mengucek matanya. Bibirnya terbuka lebar ketika menguap. Noah tersenyum simpul, lalu mendekati Leon yang duduk tenang di atas ayunan.
"Leon mau pulang sekarang?" tanya Noah.
Leon pun mengangguk mantap. Matanya mulai sayu karena rasa kantuk yang menyerang. Noah langsung menggendong tubuh mungil Leon.
Lelaki tersebut sesekali bersenandung sambil menepuk punggung Leon. Dia sangat tahu bagaimana cara menenangkan dan melelapkan Leon. Begitu kembali ke apartemen, lelaki tersebut merebahkan tubuh Leon dan memilih untuk segera keluar dari kamarnya.
Ketika keluar dari ruangan tersebut, Noah mendapati Laura sudah duduk termangu di depan ruang tengah dengan televisi yang menyala. Noah hendak langsung keluar dari apartemen tanpa mengatakan apa pun, tetapi Laura mencegahnya.
"Kamu nggak takut ninggalin aku sendirian? Noah, aku sempat mikir buat bunuh diri beberapa menit lalu." Laura menatap Noah dengan mata yang berubah merah.
Noah terdiam seketika. Dia sadar kalau sekarang Laura sangat membutuhkan dukungannya. Jika kali ini dia tidak membersamai Laura, Noah berpikir telah mengingkari janjinya kepada perempuan tersebut.
Noah menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Dia kini berjalan mendekati Laura dan meletakkan ponsel ke atas meja. Ponsel tersebut terasa mengganggu jika berada di saku celana jeans Noah.
"Aku akan buatkan teh hijau untukmu." Noah kini berjalan ke arah dapur.
Laura menenggelamkan wajah ke dalam telapak tangan. Perempuan tersebut mengembuskan napas kasar, berusaha mengempaskan rasa sesak dan kegelisahan yang mengisi hati. Suara ponsel yang bergetar di atas meja membuat Laura menoleh ke arah benda pipih tersebut.
Perempuan tersebut mengambil alih ponsel tersebut. Sebuah pesan masuk dan sedikit terbaca oleh Laura. Pesan itu berasal dari nomor asing.
"Aku sudah melakukan semuanya. Sekarang giliranmu mencari cara agar Laura semakin hancur."
Tangan Laura bergetar hebat usai membaca pesan dari nomor tak dikenal tersebut. Ketika memperhatikan nomor itu, Laura menyadari sesuatu. Itu merupakan nomor sama yang tadi mengirimkan fotonya dengan Jordan.
Laura yang terkejut langsung meletakkan kembali benda pipih tersebut, seolah tidak terjadi apa-apa. Dia tersenyum kikuk ketika Noah menyerahkan secangkir teh hijau kepadanya. Laura menyesapnya perlahan dan meletakkan cangkir tersebut ke atas meja usai meneguk isinya beberapa kali.
"Terima kasih, Noah. Aku nggak tahu bagaimana bisa membalas semua kebaikanmu selama ini, bahkan ketika aku telah menyakitimu dengan banyak hal, kamu masih peduli kepadaku. Tidak ada rasa dendam atau benci." Laura tersenyum tipis, seraya menatap Noah yang masih berdiri di hadapannya.
"Aku tidak pernah menaruh dendam dan benci kepadamu, Laura. Tapi, sebagai manusia biasa, aku masih punya rasa kecewa yang belum pulih seutuhnya. Maka, jaga dirimu baik-baik ketika tidak bersamaku." Noah menyambar ponselnya kemudian berjalan keluar dari apartemen Laura.
Begitu pintu apartemen tertutup, Laura langsung menangis histeris. Dia memukul dada karena mengetahui isi pesan bahwa Noah mungkin tengah bekerja sama dengan orang lain untuk menghancurkannya. Dia tak menyangka sudah menyakiti Noah sejauh itu sampai lelaki yang pernah melindunginya itu kini berusaha menghancurkan segalanya.
Dunia kecil yang dia bangun tujuh tahun lalu dengan mengumpulkan kepingan hati itu kini kembali hancur. Seharusnya Laura tidak pernah kembali ke Indonesia. Seharusnya dia tetap menjauh dan menyembunyikan diri dari Jordan.
Perlahan Laura bangkit dari atas sofa. Perempuan tersebut berjalan gontai masuk ke kamarnya. Kini dia meringkuk di atas ranjang sambil memeluk kakinya sendiri layaknya kucing yang sedang kedinginan.
---
"Baik, saya akan bicarakan dengan tim pengembang terkait," ujar Jordan melalui sambungan telepon.
Lelaki tersebut kembali meletakkan gagang telepon ke tempatnya, lalu memijat pangkal hidung. Tak lama kemudian, Jordan menekan tombol interkom dan meminta sekretarisnya untuk memanggilkan Laura. Namun, sebuah jawaban mengejutkan keluar dari bibir sang sekretaris.
"Bu Laura sudah mengundurkan diri, Pak. Tadi Pak Jimmy menyerahkan surat pengunduran diri Bu Laura. Saya sudah meletakkannya ke atas meja Pak Jordan. Maaf karena lupa tidak memberitahu ...." Belum selesai perempuan itu bicara, Jordan langsung mematikan interkom.
Lelaki tersebut bergegas mengambil amplop coklat besar yang ada di atas mejanya. Dia sudah ada di ruangan itu sejak setengah jam yang lalu. Namun, kacaunya perusahaan karena efek dari skandal kemarin membuatnya tak bisa fokus.
Jordan membuka amplop itu dan membaca isinya dengan cermat. Ya, Laura memang mengundurkan diri dengan alasan ketidaknyamanan situasi tempat kerja. Jordan mengusap wajah kasar, kemudian berteriak.
Jordan kembali menekan interkom dan meminta sekretarisnya untuk memanggil Jimmy. Setelah Jimmy datang, lelaki tersebut menceritakan semua detail yang terjadi malam sebelumnya. Jordan langsung beranjak dari kursi dan meninggalkan Jimmy yang belum sepenuhnya selesai menceritakan ulang kejadian semalam.
"Pak!" panggil Jimmy tanpa digubris oleh Jordan.
Jordan keluar dari mobil sedannya menuju apartemen Laura. Dia menekan bel berulang kali, tetapi tidak mendapatkan respons apa pun dari dalam. Sebuah suara dari arah punggungnya membuat Jordan menoleh.
"Pak Jordan?"