Hanya berjarak lima langkah dari rumah, Satya dan Sekar lebih sering jadi musuh bebuyutan daripada tetangga.
Satya—pemilik toko donat yang lebih akrab dipanggil Bang... Sat.
Dan Sekar—siswi SMA pecinta donat strawberry buatan Satya yang selalu berhasil merepotkan Satya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfaira_13, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Masa Kecil
Satya membulatkan matanya sempurna saat membaca pesan yang dikirim beberapa jam lalu oleh Sekar.
"Shit! Udah jam segini," gumamnya panik.
Sejak toko buka pagi tadi, pelanggan terus berdatangan. Dan kebetulan di hari ini, ia menerima pesanan mendadak saat siang tadi. Satya ingin menolaknya, tapi berhubung yang memesan adalah pelanggan tetap, mau tak mau ia menerimanya.
Satya tak sempat membuka ponselnya, bahkan untuk sekadar membuka pesan. Dan sekarang, sudah pukul empat sore. Sudah dua jam yang lalu, sejak Sekar pulang sekolah.
Dari arah dapur, Rasya datang sambil membawa nampan berisi donat hangat. Ia menatap Satya dengan alis terangkat. "Kenapa Sat?"
Satya memijat dahinya yang berdenyut. "Gua lupa jemput Sekar."
"Yaudah lah Sat. Biarin aja, udah gede juga anaknya."
Satya melepas apron yang dikenakan dengan terburu-buru. Meraih jaket, dan mengambil kunci motor miliknya. "Gua balik dulu deh. Kalo dibiarin, itu anak bisa keluyuran sampe malem."
"Duhh si Abang ini, protektif banget sih sama Adek gemesnya," goda Rasya, menaik—turunkan alisnya.
Satya melirik tajam, tapi juga tak bisa menyangkal. "Bukan gitu. Kalo ada apa-apa sama dia gimana?"
Rasya menyusun donat hangat di dalam etalase. "Sekar bukan bayi lagi Sat. Jangan berlebihan gitu deh."
"Iya, tapi Mama belum balik. Dan selama itu, gua harus pastiin Sekar gak lecet sedikit pun," jelas Satya.
"Huh, padahal ada tante Serena juga, lo tetep jagain sekar tuh," komentar Aluna yang baru saja datang menghampiri keduanya.
"Dah ah, balik dulu gua. Males gua ladenin kalian!" ucapnya sebelum benar-benar meninggalkan toko.
Satya sampai di rumah setalah menempuh perjalanan singkat dengan motornya. Langit telah berubah warna, jingga keemasan. Buru-buru Satya memarkirkan motor di halaman rumahnya asal dan menaruh helmnya di atas jok motor.
Dengan langkah terburu-buru menyeberang ke rumah Sekar. Pagar rumahnya tak dikunci. Ia masuk begitu saja, lalu mengetuk pintu rumah Sekar. Hanya dua kali ketukan.
Hening. Tak ada balasan dari dalam rumahnya. Membuat Satya panik tak karuan. Kakinya bergerak gelisah.
"Kar! Lo di rumah kan?" teriaknya, berpikir jika Sekar sengaja tak membukakan pintu untuknya karena sedang marah. "Kar, sorry. Buka pintunya!"
Satya tak menyerah begitu saja. Ia kembali mengetuk pintu rumah Sekar, kali ini ketukannya lebih keras dari sebelumnya. Dari arah belakang, seorang pria berusia tiga puluhan berjalan mendekati Satya. Tetangga mereka, yang rumahnya hanya berjarak beberapa meter dari sana.
"Satya, cari dek Sekar ya?" tanya pria itu, tersenyum ramah.
Satya mengangguk, sedikit kikuk. "Iya mas, takutnya dia belum pulang."
"Dek Sekar udah pulang dari tadi, saya liat ada di taman sama anjingnya."
"Oh gitu. Makasi ya Mas."
Tanpa berpikir dua kali, Satya melesat ke taman komplek. Tak peduli dengan kemejanya yang kusut—atau pun penampilannya yang berantakan. Maklum saja, seharian mengurus toko bukan suatu hal yang mudah. Apalagi jika sedang ramai.
Saat tiba di pinggir taman, Satya berteriak. "Woii, pawang anjing!"
Sekar yang tengah bermain ayunan, refleks menoleh. Rambutnya yang sebatas bahu dibiarkan tergerai ditiup angin, dan sorot matanya menusuk tajam ke arah sumber suara.
"Lo anjingnya!" balas Sekar galak.
Tak jauh dari ayunan, Nero sedang asyik menggali tanah. Tak peduli dengan kehadiran Satya yang membuat emosi Sekar meluap.
Satya tertawa pelan, melangkah santai mendekati Sekar. "Ngapain sih lo di sini?"
"Ish, buta kali ya mata lo!" jawab Sekar ketus.
Alih-alih meminta maaf, Satya malah terkekeh. Ia berdiri di samping ayunan dan menggenggam rantai besinya, memperlambat gerakan ayunan Sekar. Dengan jahil, satu tangannya mengusak rambut Sekar kasar. Membuat sang empu berdecak sebal. Sudah mah, ia telat dijemput—dan sekarang, rambutnya dibuat kusut begitu saja.
"Lo bisa diem gak!?" ucapnya ketus.
Satya mencolek pipi Sekar dengan jari telunjuk-nya, senyum usil mengembang di wajahnya. "Jutek banget sih, Dek."
Sekar segera menepis tangannya kasar. "Ihhh, bang Satya!" seru Sekar kesal.
ia menyentuh pipinya yang baru saja disentuh, lalu mengusapnya kasar, seolah ingin menghapus noda di pipinya. "Gak usah pegang-pegang!"
"Balik yok! Udah sore nih."
"Balik aja sendiri!" balas Sekar ketus. Ia mengalihkan pandangan-nya ke arah lain. Memandang ke arah pohon, ke semak, ke arah mana pun yang bisa dilihatnya selain menatap Satya.
"Maaf, tadi di toko full. Gua sampe lupa buat jemput lo," ungkapnya dengan perasaan bersalah.
"Alasan," gumam Sekar dingin, suaranya pelan.
Satya melirik Nero yang tanah asyik menjilati tubuhnya. "Nero! Bantu gua dong. Pawang lo lagi ngambek nih."
"Janji deh nanti gak bakal lupa lagi," ucapnya lagi, masih berusaha membujuk Sekar.
Sekar melirik Satya, hanya sesaat. "Males ah. Udah terlambat."
"Yahhh, gua ngaku salah deh."
Ia lalu mencondongkan tubuh sedikit, menatap Sekar dari samping dengan gaya menggoda, lalu berbisik. "Terus kalo lo ngambek, siapa yang bakal gua ajak nonton ya Minggu ini? Mana tiketnya udah dibeli."
Sekar melirik sekilas mendengar penuturan Satya. Lalu, kembali diam.
Satya menyeringai kecil. "Apa gua kasih Rasya aja, biar kita nonton berdua."
"Bang Satya!!" Sekar akhirnya berteriak.
Tawa Satya meledak setelahnya, senang karena telah berhasil menggoda Sekar.
Sekar mencengkeram ujung kaus Satya sambil merengek manja. "Ihhh, kan janjinya mau ngajak gua sama Rakha!"
"Bercanda Sekar! Jangan ngambek lagi dong makanya." Satya berusaha membujuk Sekar kembali. Raut wajahnya menunjukkan perasaan bersalah.
"Gua masih ngambek pokoknya!" Sekar mendengus sebal. Nada suaranya meninggi. Layaknya seorang anak kecil yang sedang merajuk.
Satya menghela napas panjang, lalu duduk di ayunan samping Sekar. "Hahhh.... kalo lo ngambek begini, jadi inget waktu kita kecil."
Sekar tak menjawab, tapi melirik sekilas. Merasa tertarik.
"Lo inget gak? Waktu gua gak sengaja ngabisin donat buatan Ibu di rumah." tanya Satya tersenyum samar. Pikirannya kembali ke masa lalu saat ia merasa gagal menjaga Sekar—adik kesayangan-nya.
"Masih," jawab Sekar mengangguk pelan.
Satya menatap lurus ke depan, berbicara sambil bernostalgia. "Lo lari juga ke sini, sampe gua nangis nyariin lo karena gak ketemu."
Sekar terkekeh, mengingat momen lama yang terdengar konyol jika diceritakan saat ini. "Pftttt, padahal kan gua seharian di sini."
Satya ikut tertawa, merasa geli sendiri saat mengingat ia menangis hanya karena Sekar. "Mana gua tau kalo lo tidur di dalem perosotan!"
"Waktu lo panik nyari gua, lucu banget, sumpah," ucap Sekar yang tak bisa menahan tawa. "Gua denger lo teriak manggil gua, padahal gua ada di terowongan perosotan kuning."
"Iya lah, gua takut lo diculik. Makanya gua panggil tetangga yang lain buat bantu nyari lo." bagi Satya, saat itu adalah sebuah mimpi buruk baginya. Kesalahan kecil yang menbuatnya merasa gagal menjadi seorang Kakak. Ia tak hanya merasa bersalah kepada Sekar, tapi juga kepada keluarganya dan juga Rinjani saat itu.
"Gua gak nyangka, lo udah segede ini sekarang," ujar Satya dengan suara pelan. "Cantik banget lagi."
Sekar mendesah pelan, berusaha bersikap biasa saja. "Apaan sih! Udah ah balik yok!"
Satya menahan senyumnya melihat reaksi Sekar. Semakin Sekar berpura-pura tak peduli, semakin tinggi niat Satya untuk menggodanya. "Serius gua! Lo cantik, pake banget..."
Sekar memandang Satya kali ini, membalas dengan percaya diri. "Dari dulu juga gua cantik, lo aja yang gak sadar!"
"Iya, tapi sayang... gak punya pacar."
Sekar mengangkat kedua bahunya, menatap langit sore di atasnya. "Selagi ada lo, gua gak butuh pacar."
Satya diam sebentar, kemudian berkata dengan nada yang dibuat serius. "Kalo gitu... gua aja yang jadi pacar lo."
Sekar memukul lengan Satya dengan gemas. "Awww.... pukulan lo sakit juga!"
"Udah ah, balik gua." Sekar bangkit dari ayunan, menyembunyikan rona merah samar di pipinya.
Satya ikut bangkit dengan cepat. "Ikut dong!"
ditunggu next chapter ya kak😁
jangan lupa mampir dan ninggalin like dan komen sesuai apa yang di kasih ya biar kita sama-sama support✨🥺🙏
sekalian mampir juga.../Coffee//Coffee//Coffee/
Dikasih koma ya, Kak. Biar lebih enak bacanya. Semangat terus nulisnya!😉