Istriku menganut childfree sehingga dia tidak mau jika kami punya anak. Namun tubuhnya tidak cocok dengan kb jenis apapun sehingga akulah yang harus berkorban.
Tidak apa, karena begitu mencintainya aku rela menjalani vasektomi. Tapi setelah pengorbananku yang begitu besar, ternyata dia selingkuh sampai hamil. Lalu dia meninggalkanku dalam keterpurukan. Lantas, wanita mana lagi yang harus aku percaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fitTri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Tahun Baru
🌸
🌸
Lima panggilan tak terjawab dari Alendra ketika Asyla memeriksa ponselnya pada hampir sore, lalu dia segera balik menelpon pria itu untuk bertanya.
“Hallo, Pak?”
“Kamu ke mana saja sih dari tadi saya telepon nggak dijawab?” cerocos Alendra begitu panggilan tersambung. Ramai terdengar suara klakson dan mesin kendaraan, sepertinya pria itu sedang dalam perjalanan.
“Habis … beresin villa, Pak. Kan malam ini mau ada temen-temen Bapak?”
“Sekarang sudah beres?” tanya Alendra lagi.
“Udah, baru saja —”
“Kalau gitu siap-siap. Saya sampai kita langsung pergi lagi mau belanja.”
“Belanja apa?”
“Buat acara tahun baruan.”
“Katanya sata suruh siapin tempat aja, kenapa jadi belanja juga?”
“Ceritanya panjang, pokoknya kamu harus sudah siap pas saya sampai.”
“Umm ….” Lalu panggilan segera terputus.
***
Dan di sanalah mereka, di supermarket yang minggu lalu dikunjungi saat berbelanja kebutuhan dapur dengan troli yang sudah siap diisi.
“Apa saja yang harus dibeli?” Alendra menatap ponsel dan menunggu pesan dari Listy, yang ternyata tak bisa menyiapkan akomodasi seperti yang dijanjikannya karena mendadak ada urusan keluarga.
“Kalau di lembur saya, tahun baru itu biasanya bakar-bakar, Pak.” Asyla menyahut.
“Kalau itu semua orang memang melakukannya.”
“Ya sudah, beli buat bakar-bakar aja.”
“Daging maksudnya?”
“Ya iya lah, masa bakar rumah? Ngaco Bapak ini.” Celetukannya membuat Alendra ternganga.
“Berani sekali kamu berkata begitu?”
Asyla hanya menutup mulutnya untuk menahan suara tawa. “Ya kalau di tempat saya biasanya nyate gitu, atau bakar ayam, bakar jagung juga. Memangnya Bapak kalau tahun baruan apa yang dibakar?”
“Uang!” Alendra mendelik seraya mendorong troli ke dalam lorong rak aneka jenis makanan.
“Wah? Beneran bakar uang?” Asyla pun mengejarnya.
“Ya.”
“Gimana caranya? Ditumpuk gitu di pembakaran, terus dibakar? Ngapain?”
Pria itu mendengus kasar dengan rasa kesal yang muncul setelahnya.
“Kenapa harus bakar uang? ‘kan sayang, Pak.”
Tiba-tiba Alendra menghentikan langkah kemudian berbalik sehingga Asyla yang tidak menduga sama sekali menabraknya. Jarak di antara mereka menghilang dan wajah wanita itu terbenam di dada bidangnya. Seketika aroma maskulin memenuhi indra penciuman.
“Kamu ini disebut bodoh tidak mau, tapi kenapa polos sekali? Berapa usiamu sebenarnya?” Alendra dengan cepat melingkarkan tangannya di pinggang Asyla yang hampir saja terjengkang ke belakang.
“Hum?” Wanita itu mendongak.
“Benar kamu tinggal di kampung, pergaulanmu tidak luas tapi pengetahuan dan cara bicaramu tidak seharusnya seperti itu.”
“Me-memangnya kenapa dengan saya?”
Alendra mengetatkan rahang. Rasanya gamas sekali dengan wanita ini karena apapun yang dia katakan terdengar begitu lugu. Tidak seperti siapapun yang selama ini ditemuinya.
“Men!!” Lalu suara khas milik Tirta menyadarkannya. Mereka berdua menoleh pada anak itu yang menunjuk ke arah rak camilan.
“Men, Mbu. Men!”
“Sekarang apa lagi?” Dan Alendra yang masih memeluk pinggang Asyla pun berkomentar.
“Mau Men, Mbu! Icu … men, cokat, beyi ….”
“Permen?” Asyla bertanya pada putranya.
“Men, Mbu. Men!!” Tirta mengangguk dan berjingkrak riang dalam gendongan ibunya, dengan telunjuk yang masih mengarah ke rak camilan itu.
“Belum boleh makan permen!”
“Men, Mbu!! Men!!” Namun Tirta tidak mau mendengar penolakan ibunya.
“Berikan saja lah, dari pada dia menangis?”
“Tapi anak seumuran Tirta belum boleh makan permen, Pak. Giginya baru tumbuh.”
“Hanya satu.”
“Nggak!” Dua orang dewasa itu masih berdebat dan tanpa sadar mereka menyita perhatian beberapa orang. Apalagi dalam posisi yang tanpa jarak seperti itu.
“Lagian, dari mana juga dia tau ada makanan semacam itu?”
“Ya mana saya tau? Mungkin selama diasuh ambu.”
“Mertuamu itu memang menyebalkan, apa saja bisa jadi masalah.”
Dan Asyla hampir saja membuka mulutnya untuk kembali berbicara ketika di saat yang bersamaan seorang petugas supermarket mendekat.
“Ehmm, permisi. Bapak, Ibu. Bisa berhenti dan menepi sebentar? Pengunjung lain mau memilih barang di sini juga. Ehm ….” Wanita yang usianya ditaksir sama dengan Asyla itu tampak canggung. Sedangkan dua orang yang dimaksud itu menoleh dengan raut terkejut.
“Iya, di sini tempat belanja. Bukannya untuk berdebat apalagi pacaran.” Kemudian salah satu pengunjung menimpali, membuat Asyla dan Alendra menyadari kelakuan mereka. Keduanya bahkan baru sadar dengan jarak yang begitu dekat dan pria itu yang memeluk pinggangnya, lalu seketika saling melepaskan diri.
“Maaf, apa belanjanya mau dilanjutkan? Kalau tidak Anda berdua sebaiknya —”
“Maaf, Mbak. Masih banyak barang yang kami butuhkan.” tukas Alendra untuk memecah kecanggungan.
“Baik, kalau begitu bisakah terus bergerak saja? Karena dengan begini bisa timbul kemacetan.” Senyum canggung masih menghiasi perempuan berseragam kuning dengan rompi hitam itu.
“Iya, maaf.” ucap Alendra lagi yang mendorong troli sambil meraih satu bungkus permen yang tadi ditunjuk oleh Tirta agar balita itu diam, lalu ditariknya tangan Asyla untuk menuju ke lorong berikutnya.
“Sumpah, itu malu banget!” Kini mereka sudah berada di area lain. Tampak beberapa bahan makanan berjejer rapi dan lagi-lagi keduanya tertegun. Entah berpikir atau saling mengalihkan perhatian, karena keduanya sama-sama tampak canggung.
“Sebaiknya kita cepat. Sebentar lagi magrib dan orang-orang dari kantor mau jalan ke villa.” Alendra melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul setengah enam sore.
“Terus apa saja yang mau dibeli?” tanya Asyla lagi yang membenahi posisi Tirta dalam gendongannya.
“Apa saja lah, yang penting ada untuk dimakan malam nanti.” Dan Alendra segera meraih beberapa bungkus bahan makanan yang dekat dengan jangkauan, lalu keduanya segera menyelesaikan misi pada petang itu.
***
Sosis, roti dan selainya, berbungkus-bungkus camilan dan beberapa macam buah sudah Alendra tata rapi di meja. Sedangkan Asyla menyelesaikan pekerjaannya membuat puluhan tusuk sate yang sudah dia bumbui. Tidak lupa dengan beberapa kilo jagung yang dibeli pula dari pedagang di pinggir jalan yang mereka lewati dalam perjalanan pulang. Dan tepat pada jam delapan malam para tamu pun mulai berdatangan.
Alendra berdiri di teras untuk menyambut mereka, yang kebanyakan adalah rekan kerjanya di divisi keuangan. Termasuk Listy yang merupakan sekretarisnya yang paling bersemangat dalam acara ini. Sedangkan yang lainnya adalah staf dari beberapa divisi.
“Maaf banget ya, Pak? Tadi orang tua saya mendadak datang berkunjung. Jadinya harus antar mereka kesana kemari deh.” Wanita itu merangsek sambil menyerahkan dua buah bungkusan kepada tuan rumah. “Ini ada sedikit oleh-oleh, semoga membuat acara ini semakin meriah.”
Alendra hanya tersenyum.
“Wah, rumahnya indah sekali, Pak Alendra. Hampir nggak percaya kalau yang tinggal di sini cuma sendirian.” Danang, yang tiba setelahnya langsung memuji apa yang tampak dalam pandangan. Tempat itu memang terlihat indah dan sangat nyaman, tidak salah kalau Listy memaksa untuk mengadakan acara akhir tahun di sana. Sepertinya wanita itu tau banyak soal atasannya tersebut.
“Saya memang nggak sendirian.”
“Wah? Serius?”
“Ya, mana bisa mengurus semua ini sendiri? Pak Danang pikir rumahnya bisa beres-beres sendiri?” Alendra tertawa.
“Pak Alendra ini bisa saja?”
“Ayo semuanya masuk? Kelamaan di luar bisa beku kalian.” Tuan rumah pun mempersilahkan tamu-tamunya masuk. Dan ya, tentu saja mereka semua terkagum-kagum.
Selain desain villa tersebut memang indah, suasana di dalam sana memang sangatlah nyaman. Semuanya tampak rapi dan ornamen khas nya menambah hangat. Belum lagi area belakang yang sudah disulap sedemikiam rupa hingga terasa semakin meriah. Dan lampu gantung yang baru saja dipasang di sepanjang taman beberapa saat sebelumnya menjadikan tempat itu menjadi terang benderang.
“Totalitas sekali ya, Pak Alendra ini. Berasa di tempat liburan.” Listy memuji sang atasan.
“Ya, nggak salah ide kamu untuk mengadakan acara di sini. Tuan rumahnya full effort!!” timpal Danang.
“Bisa saja.”
“Terus, memangnya beneran ya kalau Bapak tinggal sendiri di sini?” Lalu pertanyaan itu muncul dari salah satu rekannya yang sejak tadi merasa penasaran karena tak menemukan siapapun di tempat itu selain Alendra.
“Nggak, saya ada yang kerja.”
“Oh … jadi kalau mau bakar-bakar ada yang ngerjain ya?” tanya Listy yang menatap meja di mana bahan makanan sudah tersedia. Termasuk sate dan bahan ayam bakar. Yang satu itu bahkan tidak ada dalam daftar menu akomodasinya.
“Ya bakar sendiri saja lah, sebelumnya ‘kan sudah ada yang menyiapkan.” Alendra sepertinya menolak untuk melibatkan Asyla lebih jauh. Selain ada rasa sungkan karena wanita itu sudah menyiapkan semuanya sedari sore, rasa-rasanya ada ketidak relaan yang muncul jika rekan-rekannya di perusahaan mengetahui bersama siapa dirinya tinggal.
“Ya dibantu sedikit lah, Pak. Apalagi ini pertama kalinya kami main ke sini, kan? Nggak tau di mana saja menyimpan peralatan.” Listy menjawab.
“Semuanya sudah disiapkan.” Namun Alendra menunjuk beberapa box di dekat meja yang sisinya berupa alat makan dan keperluan lainnya. Sengaja dia meminta Asyla mengeluarkan semuanya agar mudah dicari.
“Hmm ….”
“Ayo kalau mau dimulai, silahkan ….” Lalu acara itu pun segera dibuka.
Alat pembakaran dinyalakan dan mereka mulai mencoba beberapa hal. Jagung yang sudah diolesi saos bakar, lalu sate yang yang sudah siap, kemudian ayam bakar dan sosis yang menjadi primadona pada malam itu. Tidak lupa makanan ringan dan minuman yang menjadi pelengkap dalam acara mereka.
“Kamu mau ke mana?” Mereka hampir saja bertabrakan ketika Alendra sengaja memeriksa ke paviliun di mana Asyla berada, dan wanita itu sepertinya baru saja keluar dari kamarnya.
“Mau lihat keluar.”
“Mau apa?”
“Memeriksa kalau ada yang kurang?”
“Nggak ada yang kurang, semuanya sudah lengkap.” Alendra menghalangi langkahnya.
“Masa?”
“Iya.”
“Tapi gimana kalau ada bahan yang habis?” Namun Asyla melihat ke belakang punggung majikannya.
“Nggak, semuanya sudah pas.”
“Beneran?”
“Iya.”
“Terus gimana kalau ada yang kotor?”
“Ya biarkan saja.”
“Bapak kenapa sih halangin saya terus? Saya nggak boleh keluar?”
“Nggak apa-apa, mereka banyakan. Nanti kamu disuruh-suruh.”
“Ya nggak apa-apa, kan memang kerjaan saya.”
“Saya yang nggak mau kamu disuruh-suruh.”
“Kenapa?”
“Enak saja. Saya yang gaji kamu masa orang lain seenaknya nyuruh-nyuruh?”
“Lho?”
“Sudah, sana masuk. Nanti Tirta menangis.”
“Tirta udah tidur, Pak.”
“Ya, temani saja.”
“Gitu ya? Nggak apa-apa?” Kedua bola matanya yang jernih menatap Alendra lekat-lekat. Dan ya, hal itu semakin membuat pria itu merasa tidak rela.
Ah, mengapa begini ya?
“Beneran?”
“Benar. Besok saja kamu kerja lagi, bereskan bekas pestanya.”
“Oh, ya sudah.” Dan Asyla pun akhirnya menurut. Namun, hampir saja dia kembali ke dalam kamarnya seseorang di belakang Alendra memanggil.
“Pak?” Membuat kedua orang itu menoleh secara bersamaan. “Bisa minta gula sama teh? Pak Danang mau teh manis katanya.”
Alendra dan Asyla saling tatap.
“Tadi saya cari di dapur tapi nggak ketemu.” Lalu Listy mendekat.
“Di lemari putih paling atas.” Asyla pun menjawab.
“Sudah saya cari, Mbak. Tapi nggak ada.”
“Masa sih? Baru aja tadi saya isi kok.” Dan secara refleks Asyla pun bergegas menuju dapur. Dilewatinya Alendra begitu saja tanpa mengingat ucapan majikannya itu.
“Syl? Syla??” Bahkan panggilannya tidak Asyla hiraukan.
🌸
🌸
Kata 'Lembur' dalam bahasa sunda merujuk pada sebutan tempat. nama lain dari kampung halaman atau tempat tinggal.
Sementara kata 'nyate' adalah sebuah kegiatan yang dilakukan untuk membuat sate.
sakian pengetahuan bahasa Sunda dari otor🤭🤭
alopyu sekebon😘😘
Ini perempuan main nyelonong masuk tempat tinggal orang aja, bok permisi kek🤦♀️
Listy ini mangkin lama mangkin ngelunjak kayaknya
Ale bukan hanya ga rela kalo Syla disuruh-suruh tapi yang pasti dia ga rela Syla dilirik laki² lain.
Kekecewaan Ale akibat pengkhianatan sedikit demi sedikit mulai terkikis dengan kehadiran, Syla dan Tirta.
takut jantung gak aman lagi ya Le