Alya, siswi SMA berusia 17 tahun dari keluarga miskin, tak pernah menyangka niat baik menolong pria tak dikenal justru membuatnya dituduh berzina oleh warga. Pria itu ternyata kepala sekolahnya sendiri. Reihan, 30 tahun, tampan dan terpandang. Untuk menyelamatkan reputasi, mereka dipaksa menikah dalam kontrak.
Kini, Alya menjalani hidup ganda: murid biasa di siang hari, istri kepala sekolah di balik pintu rumah.
Tapi mungkinkah cinta lahir dari pernikahan yang tak pernah diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 27
Rehan duduk di ruang tamu megah itu, tepat di sebelah ayahnya, Sutrisno. Di antara mereka terbentang jarak tak kasat mata. Tak ada percakapan, tak ada tanya kabar, hanya hening yang terasa dingin. Hubungan mereka memang tidak dekat. Sejak kecil, Rehan merasa orang tuanya terlalu mengambil alih kendali hidupnya. Semua keputusan penting mereka buatkan, dan ia hanya tinggal menjalani, seperti robot yang diprogram.
Suara derit pintu besar memecah kesunyian. Lidya langsung berdiri, menyambut tamu yang baru tiba dengan senyum lebar.
“Selamat datang!” ucapnya ramah.
Keluarga Rani masuk. Ayahnya Wirawan, mengenakan setelan jas sederhana, sementara ibunya Sinta, tampil elegan dengan kebaya biru. Di belakang mereka, Rani melangkah anggun. Begitu matanya bertemu Rehan, ia tersenyum malu.
“Hai, Reihan… lama nggak bertemu,” sapanya dengan suara lembut.
Rehan menoleh, wajahnya datar. “Ya, lama nggak bertemu.”
Sutrisno berdiri dan menjabat tangan Wirawan dengan hangat. “Wah, senang sekali akhirnya bisa kumpul begini. Rasanya seperti reuni keluarga.”
Wirawan tertawa kecil. “Iya, Pak Sutrisno. Memang sudah saatnya kita duduk bersama membicarakan ini secara resmi.”
Lidya mempersilakan semua untuk duduk. “Mari, kita bahas persiapan acara. Tiga hari lagi bukan waktu yang lama.”
Sinta menimpali, “Betul, jeng Lidya. Kami juga sudah siapkan beberapa ide. Rani ini dari kemarin sibuk cari referensi dekorasi dan cincin. Semangat sekali.”
Rani tersipu. “Aku cuma pengin semuanya berjalan sempurna.”
Lidya membuka map berisi foto dekorasi ballroom. “Nah, saya kepikiran pakai tema pastel. Bunga mawar putih dan pink, plus lampu gantung kristal. Bagus kan?”
Rani matanya berbinar. “Cantik banget, Tante.”
“Reihan?” Lidya melirik. “Setuju?”
Rehan mengangguk tipis. “Terserah Mama saja.”
Wirawan ikut bicara, nadanya hangat tapi penuh penekanan. “Reihan, kamu tahu kan acara ini untuk kebahagiaan kalian berdua? Cobalah terlibat. Sekali-kali keluarkan pendapat, biar nggak semuanya diatur orang tua.”
Rehan menatapnya sekilas lalu berkata. “Kalau memang untuk kebahagiaan kami berdua, seharusnya keputusan dari awal juga dibicarakan bersama.”
Sutrisno melirik putranya tajam, tapi Wirawan hanya tersenyum tipis, mencoba meredakan ketegangan.
Sinta cepat-cepat mengalihkan topik.
“Kalau cincin, bagaimana? Kami sudah lihat beberapa model di butik. Ada yang sederhana, ada yang glamor. Tergantung selera kalian.”
Rani segera membuka ponselnya.
“Nih, aku mau tunjukkan ke kamu, Rey. Menurutku yang ini cocok banget. Lihat deh, desainnya unik, elegan, tapi nggak terlalu besar.”
Rehan melihat sebentar, menghela nafas sebelum menjawab. “Bagus.”
“Bagus?” Rani mengulang, tertawa kecil.
“Ya ampun, komentarmu singkat sekali. Tapi nggak apa-apa, yang penting kamu nggak keberatan.”
Wirawan menimpali, “Yang penting nanti di foto, cincin itu kelihatan pas di tangan kalian.”
Sinta menambahkan sambil tersenyum ke Rani, “Iya, biar nanti kalau anak cucu lihat, mereka bilang, ‘Wah, pernikahan Papa Mama dulu indah sekali.’”
Lidya tertawa, lalu melirik Rehan. “Kamu mau pilih sendiri, atau ikut pilihan Rani?”
Rehan menatap ibunya sebentar. “Ikut Rani aja.”
Sutrisno menghela napas pelan, lalu bicara pada Wirawan. “Acara nanti, kami rencanakan di ballroom hotel langganan keluarga. Kapasitasnya cukup besar. Dekorasi dan tata panggung juga sudah sering dipakai untuk acara resmi.”
Wirawan mengangguk puas. “Bagus sekali. Kami percaya keluarga Sutrisno tahu yang terbaik.”
Sinta menambahkan, “Untuk undangan, bagaimana?”
Lidya langsung menunjukkan contoh undangan putih dengan tulisan emas. “Ini desain yang saya pilih. Nanti dicetak 500 lembar. Di dalamnya ada foto kalian berdua. pasti akan terlihat cantik sekali.”
Rani menoleh pada Reihan, lalu tersenyum manis. “Kamu nggak keberatan kalau aku pilih fotonya?”
Rehan menggeleng. “Nggak.”
Suasana kembali dipenuhi obrolan hangat antara Lidya, Sutrisno, Wirawan, dan Sinta. Mereka membahas susunan acara, lagu saat pintu masuk, hingga daftar tamu penting yang harus diundang. Rani beberapa kali menyentuh lengan Reihan, mencoba melibatkannya, tapi ia hanya menjawab seperlunya.
Di dalam kepalanya, Rehan terus menghitung waktu. Ia ingin pertemuan ini selesai secepatnya. Semua yang dibicarakan hanya terasa seperti naskah yang sudah ditulis orang lain, dan ia hanya pemeran yang dipaksa memainkan perannya.