Rara hanyalah seorang gadis biasa yang hidupnya berubah sejak diadopsi oleh pasangan kaya, Nadine dan Damar. Di usianya yang masih 15 tahun, ia merasa mendapat kesempatan kedua dalam hidup-tempat tinggal yang nyaman, kasih sayang, dan harapan baru. Tapi semua itu bukan tanpa alasan. Rara diangkat bukan hanya sebagai anak, tapi juga disiapkan untuk satu tujuan: menjadi ibu pengganti bagi anak pasangan itu.
Sebagai bentuk balas budi, Rara menerima takdirnya. Ia ingin membalas kebaikan mereka dengan keikhlasan, tanpa berharap apa-apa. Tapi takdir memiliki caranya sendiri untuk menghancurkan segalanya.
Di malam ulang tahun temannya, sebuah kesalahan tak termaafkan terjadi. Dalam keadaan mabuk dan tak sadar, Rara dan Damar menghabiskan malam bersama-tanpa cinta, tanpa kesengajaan, hanya kekeliruan yang tak bisa dihapus. Beberapa minggu kemudian, saat prosedur inseminasi kembali direncanakan, Damar menghentikannya. Ia tahu... Rara mungkin sudah hamil. Dan yang tumbuh di dalam rahim itu adalah anaknya-bukan dari hasil inseminasi, melainkan dari peristiwa yang disangkal dan ditutupi.
Sementara Nadine, yang begitu bahagia dengan kehadiran janin dalam rahim Rara, tak menyadari bahwa anak itu bukanlah hasil inseminasi seperti yang ia yakini. Sampai akhirnya, perhatian berlebih Damar pada Rara membongkar semuanya.
Kehancuran pun menyusul. Nadine merasa dikhianati, kebenaran -tentang janin yang dikandung Rara, dan tentang hubungan terlarang yang tak pernah Rara inginkan.
Diusir.
Dihina.
Dibuang.
Rara kehilangan segalanya-termasuk harga dirinya. Tapi ia memilih pergi... karena ia tahu, dirinya bukan pelaku... tetapi korban dari cinta beracun yang seharusnya tak pernah tumbuh, karena cinta dari pria seegois Damar bukan sesuatu yang bisa dihindari-itu adalah jerat.
Dan Damar sendiri,terjebak antara dua perempuan yang sama-sama mengisi ruang berbeda dalam hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25
Nadine melangkah cepat menyusuri koridor rumah sakit menuju poli kandungan pertama. Wajahnya kaku. Matanya tajam. Kali ini, dia tidak sedang menjalani peran sebagai pemilik rumah sakit yang elegan dan tenang. Kali ini dia datang sebagai istri yang terluka dan ibu yang dikhianati.
Begitu sampai di depan ruangan dokter, salah satu suster yang berjaga langsung berdiri kaget melihat kehadiran Nadine.
"Nyonya Nadine, perlu kami bantu—"
"Aku mau masuk. Sekarang," tegas Nadine, tanpa menunggu jawaban.
Tanpa berani membantah, suster itu buru-buru mengetuk dan membuka pintu ruangan dokter.
"Dok, Nyonya Nadine ingin bertemu," ujarnya terbata.
Dokter yang tengah merapikan berkas-berkas mendongak, wajahnya langsung berubah pucat saat melihat siapa yang berdiri di ambang pintu. Nadine masuk, menutup pintu rapat. Hening sejenak.
"Bu Nadine, selamat siang... ada yang bisa saya bantu? Ada yang ingin dikonsultasikan?" tanya dokter itu gugup, berdiri setengah dari duduknya.
"Aku gak datang buat basa-basi, Dok." Nadine menatapnya lurus. "Aku mau jawaban. Jujur. Sejujur-jujurnya. Tanpa ditutup-tutupi."
Dokter itu kelihatan makin gelisah, tubuhnya kaku, keringat mulai mengalir di pelipis.
"Maksudnya, Bu Nadine...? Apakah hasil program inseminasinya tidak berjalan baik?"
Nadine menarik napas panjang. Suaranya dingin namun tegas.
"Saya hanya mau tanya satu hal... Suntikan terakhir untuk inseminasi. Dilakukan atau tidak?"
Dokter itu menelan ludah. Ia tersenyum kikuk, mencoba mengendalikan situasi.
"Oh... dilakukan kok, Bu Nadine. Ada susternya juga kok. Ada saksi. Kami melakukan sesuai prosedur."
"Mau saya gugat, Dok?" suara Nadine naik satu oktaf, tajam. "Kalau Anda berani bohong, saya akan tuntut profesi Anda. Saya punya cukup bukti untuk menjatuhkan satu rumah sakit ini. Saya bisa bawa ini ke pengadilan. Saya akan pastikan Anda kehilangan surat izin praktik Anda."
Dokter itu terduduk perlahan, wajahnya makin pucat.
"Bu Nadine... mohon tenang dulu... saya—"
"Jawab!" bentak Nadine. "Apa suntikan itu dilakukan? Dan saya minta jawaban jujur, bukan omong kosong. Saya tahu ada sesuatu yang kalian tutupi."
Dokter itu menunduk. Ia menghela napas dalam-dalam, lalu akhirnya bersuara, pelan.
"Baik... Saya akan jujur, Bu Nadine. Suntikan terakhir itu... tidak kami lakukan. Saya memang tidak melaksanakan tindakan inseminasi untuk terakhir kalinya..."
"Apa?!" Nadine membentak, matanya membelalak.
"Maafkan saya... Itu atas permintaan Pak Damar. Beliau datang langsung ke ruangan saya, dan meminta agar tindakan inseminasi tidak dilanjutkan. Awalnya saya menolak, karena tidak sesuai prosedur. Tapi... beliau memaksa. Beliau bilang akan menangani semuanya sendiri. Saya akhirnya menyetujui, tapi dengan syarat tindakan tersebut tidak tercatat dalam laporan medis resmi."
"Dan kamu langsung setuju?!" Nada Nadine meninggi. "Kamu tidak berpikir untuk menghubungi saya sebagai istrinya? Kenapa kamu hanya mendengarkan dia?! Kamu tidak curiga kenapa dia tiba-tiba membatalkan program yang sudah berjalan? Kamu tahu betapa pentingnya program ini untuk saya!"
"Saya pikir... saya pikir beliau sudah berdiskusi dengan Ibu... karena saat itu Ibu sedang tidak ada di rumah sakit."
Nadine menyipitkan mata.
"Lalu, apa yang kamu suntikkan ke Rara hari itu?"
"Vitamin... vitamin kandungan. Tidak ada tindakan medis inseminasi apapun. Obat yang saya berikan pun berbeda dari sebelumnya."
"Dan Rara tahu?"
"Dia tidak tahu apa-apa. Pak Damar meminta agar semua dilakukan diam-diam. Saya hanya mengikuti arahan beliau."
Nadine mengepal tangannya, gemetar.
"Berarti kamu melakukan tindakan malpraktek. Kamu menyuntikkan obat tanpa penjelasan pada pasien, kamu mencatat data palsu, kamu menuruti permintaan pasien yang bukan wewenangnya, dan kamu memalsukan prosedur rumah sakit!"
"Bu Nadine, saya—"
"Berapa Damar bayar kamu?!" bentak Nadine. "Berapa banyak uang yang dia berikan sampai kamu tega mengkhianati kode etik kamu sebagai dokter?"
Dokter itu memalingkan wajah. Perlahan ia menjawab.
"Beliau memberi saya sejumlah uang, dan janji tambahan tunjangan. Saya memang khilaf, Bu Nadine. Tapi saya takut... takut reputasi saya hancur..."
Nadine melangkah maju, mendekat.
"Saya minta surat pernyataan resmi dari rumah sakit. Bahwa suntikan terakhir bukan tindakan inseminasi. Saya tidak akan mengajukan tuntutan sekarang, tapi jika kamu tidak bisa memberikan surat itu dalam tiga hari... saya pastikan kamu kehilangan semuanya. Kamu mengerti?"
"Surat seperti itu butuh proses satu bulan, Bu..."
"Aku tidak peduli prosesnya berapa lama. Kamu dokter di rumah sakit milik saya. Kamu tahu semua pintu. Kamu bisa percepat. Dua sampai tiga hari. Saya tunggu. Lewat dari itu... saya akan tuntut kamu, rumah sakit ini, semua suster yang terlibat, dan tentu saja Damar. Semuanya akan saya bawa ke pengadilan!"
Dokter itu hanya bisa mengangguk pasrah. Suaranya pelan dan lemah.
"Baik, Bu Nadine. Saya akan usahakan. Saya akan minta suratnya segera. Dua hari, saya akan hubungi Ibu."
Nadine tidak bicara lagi. Ia melangkah keluar ruangan, membanting pintu perlahan. Begitu keluar, ia bersandar di dinding lorong. Matanya berkaca-kaca, dadanya sesak.
Hatinya remuk, bukan karena kehamilan itu, tapi karena kemungkinan bahwa suaminya—yang ia percayai sepenuhnya—telah menghianati kepercayaannya diam-diam.
Nadine melangkah cepat keluar dari ruang dokter. Udara di lorong rumah sakit yang biasanya menenangkan kini terasa menyesakkan. Wajahnya merah padam, bukan karena malu—tapi karena amarah yang mendidih dalam diam.
Tangannya gemetar, tapi bukan karena takut. Karena kecewa. Karena perasaan dikhianati yang begitu pekat.
Ia duduk di bangku lorong yang kosong, memijit pelipisnya yang berdenyut. Hatinya berteriak. Otaknya penuh pertanyaan. Tapi satu yang paling membuatnya sesak:
"Kenapa Damar...?"
Namun, seperti biasa, Nadine tak bisa lama-lama tenggelam dalam keterkejutan. Dia harus melakukan sesuatu.
Tangannya meraih ponsel dalam tasnya, dan tanpa pikir panjang, ia mengetik nama Bima.
Ponsel menempel di telinga. Baru dua kali nada sambung, suara Bima sudah terdengar.
"Halo? Nadine? Kamu kenapa nelfon lagi? Barusan juga kita ngobrol. Ada apa? Kamu kedengeran ngos-ngosan."
Nadine menarik napas dalam, lalu menjawab dengan suara berat tapi masih berusaha stabil.
"Bima... aku... aku agak terkencut. Ada hal yang barusan aku dapetin. Tapi aku belum bisa pastiin kebenarannya. Aku gak tahu ini bener atau cuma kebetulan. Tapi aku butuh ketemu sama kamu sekarang."
Suara Bima langsung berubah serius.
"Kamu ketakutan? Nadine, kamu kenapa? Siapa yang bikin kamu kayak gini? Damar?"
"Aku gak tau, aku... aku butuh tenang. Aku butuh orang buat diajak ngobrol. Aku... aku butuh refresh bentar. Bisa kita ketemu?" suara Nadine sedikit gemetar di akhir kalimatnya.
"Oke. Di mana kamu mau ketemu?"
"Kamu tahu café yang dekat danau itu? Yang pernah kita datengin waktu acara gathering rumah sakit dua tahun lalu?"
"Iya, iya, tahu. Aku ke sana sekarang. Tapi Nadine, kamu udah ngomong ke Damar belum? Kamu pamit pergi?"
Hening beberapa detik. Lalu suara Nadine terdengar dingin.
"Ngapain? Dia juga gak pernah peduli aku ke mana. Gak penting buat dia."
Dan tanpa menunggu jawaban, Nadine langsung menutup telepon.
Ia berdiri, melangkah keluar dari rumah sakit tanpa melihat ke belakang. Mobil pribadinya menunggu di depan lobi, dan ia masuk dengan langkah tegas. Dalam hati, amarahnya makin membuncah. Setiap denyut di kepalanya seolah berkata:
"Kalau ini semua benar, aku akan hancurkan kalian berdua."
...➰➰➰➰...
Langit sore memudar jingga. Angin berhembus tenang, tapi tidak bagi Nadine. Ia sudah duduk di salah satu sudut café, mengenakan kaca mata hitam besar, menutupi wajah lelah dan matanya yang sembab.
Tak lama kemudian, Bima datang tergesa, mengenakan jaket hitam dan celana jeans, wajahnya jelas menunjukkan kekhawatiran.
"Nadine," panggilnya pelan.
Nadine mendongak, membuka kacamatanya perlahan. Mata mereka bertemu. Dan hanya dengan tatapan itu, Bima tahu: ini bukan masalah biasa.
"Thanks udah dateng," ujar Nadine.
Bima duduk, mencondongkan tubuh sedikit.
"Ceritain. Apa yang kamu dapet dari dokter itu?"
Nadine menatap danau di kejauhan sebelum menjawab.
"Suntikan terakhir itu... gak pernah dilakukan, Bim."
Bima diam. Matanya menyipit, menunggu kelanjutan.
"Dokter itu awalnya bohong. Tapi aku paksa dia. Aku ancam. Dan akhirnya dia ngaku. Dia bilang itu semua atas permintaan Damar. Damar sendiri yang minta agar suntikan inseminasi terakhir tidak dilakukan."
Bima terdiam. Mulutnya sedikit terbuka, tapi tidak ada suara yang keluar.
"Dan kamu tahu yang lebih parah?" lanjut Nadine, suaranya mulai pecah. "Dokternya nyuntik Rara. Tapi bukan suntikan inseminasi. Cuma vitamin kehamilan. Dan Rara gak tahu. Damar nyuruh diam-diam."
"Nadine..." bisik Bima pelan.
"Aku... masih belum percaya. Damar yang aku kenal... gak mungkin setega itu, Bim. Dia bukan tipe orang yang melakukan sesuatu di belakangku. Kami ini udah jalanin hidup bareng hampir tujuh tahun. Mana mungkin dia... dia berbuat kayak gini?"
"Tapi kamu gak curiga ke Damar?"
"Aku curiga. Tapi aku lebih benci Rara. Dia yang datang tiba-tiba. Dia yang terlalu dekat. Dia yang terlalu manis. Dan sekarang? Hamil. Dan dokter bilang... Damar bayar dia. Bayar untuk diam. Bayar untuk melakukan hal yang gak sesuai prosedur."
Nadine menatap Bima. Matanya penuh api.
"Aku udah minta surat resmi. Bukti bahwa tindakan inseminasi terakhir gak dilakukan. Kalau dalam tiga hari aku gak dapet itu, aku akan gugat semuanya. Rumah sakit. Dokter. Bahkan Damar."
Bima menarik napas dalam. Ia tahu Nadine sedang berada di titik antara logika dan amarah. Tapi ia juga tahu: Nadine tidak pernah asal bicara.
"Dan kalau surat itu beneran keluar?" tanya Bima pelan.
Nadine menjawab cepat, dingin, tanpa ragu.
"Aku akan minta Damar jujur. Dan kalau dia terbukti... aku akan pastikan dia mengakui semuanya. Di depan aku. Di depan Rara. Di depan dunia."