Berawal dari ganti rugi, pertengkaran demi pertengkaran terus terjadi. Seiring waktu, tanpa sadar menghadirkan rindu. Hingga harus terlibat dalam sebuah hubungan pura-pura. Hanya saling mencari keuntungan. Namun, mereka lupa bahwa rasa cinta bisa muncul karena terbiasa.
Status sosial yang berbeda. Cinta segitiga. Juga masalah yang terus datang, akankah mampu membuat mereka bertahan? Atau pada akhirnya hubungan itu hanyalah sebatas kekasih pura-pura yang akan berakhir saat mereka sudah tidak saling mendapatkan keuntungan lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
"Ines, tumben elu baru dateng?" tanya Lily heran karena tidak biasanya Ines datang terlambat.
"Kesiangan." Ines menjawab ketus. Lalu melangkah pergi meninggalkan Lily. Melihat respon sahabatnya, membuat Lily kembali merasa bingung.
Ia pun bergegas masuk menyusul Ines yang sedang meletakkan tas.
"Nes, elu kenapa?"
"Enggak papa."
"Yang bener. Kenapa gue ngerasa elu beda banget hari ini?"
"Beda gimana? Sama aja. Enggak ada yang beda. Perasaan elu aja kali yang salah." Tidak ada senyuman saat berbicara. Lily paham kalau ada yang tidak beres dengan sahabatnya.
"Nes ...." Lily memegang tangan Ines, tetapi langsung ditepis oleh gadis itu.
"Gue mau kerja." Ines pergi meninggalkan Lily begitu saja.
Melihat Ines yang menjauh, Lily hanya bisa menghela napas panjang. Apakah ia memiliki sebuah kesalahan kepada gadis itu. Jika Ines sedang memiliki masalah keluarga, gadis itu tidak pernah bersikap tak acuh seperti sekarang ini. Ines justru akan bercerita panjang lebar, tetapi kali ini benar-benar berbeda.
Lily pun berusaha tidak ambil pusing. Ia kembali bekerja dan berusaha bersikap biasa saja meski tidak tenang. Seharian ini, Ines benar-benar mendiamkan dirinya. Bahkan, gadis itu terkesan menghindar.
"Nona Lily," panggil Yosep saat sudah berdiri di depan toko itu.
"Eh, Tuan. Ada apa?" tanya Lily sopan. Ia mendekati pria itu.
"Tuan Brian meminta saya mengantar makanan ini. Untuk makan siang Anda." Yosep menyerahkan dua plastik berisi nasi kotak.
"Tumben banget Om Tampan baik hati," gumam Lily. Yosep tersenyum saat mendengarnya.
"Nona, sekeras apa pun es, lama-lama pasti akan mencair. Kalau begitu, saya permisi dulu, Nona."
"Eh, tunggu dulu." Lily menahan langkah Yosep yang hendak pergi. Ia masuk sebentar ke dalam lalu keluar membawa kotak bekal. "Ini bekal makan siang saya, karena Om Tampan udah ngasih makan siang, ya ini untuk dia aja. Kalau dia tidak mau makan, bisa kasihkan ke karyawan dia, tapi jangan dibuang. Mubazir."
"Baik, Nona. Akan saya sampaikan. Tuan Brian pasti akan memakannya," kata Yosep. Menerima bekal makan itu dengan antusias.
"Makasih banyak, sampaikan salam buat Om Tampan."
Yosep mengangguk. Lalu berlalu pergi dari sana. Lily melihat dua kotak nasi, dua minuman segar dan sekotak es krim. Dengan semangat, Lily masuk ke dalam dan menemui Ines yang baru saja istirahat.
"Nes, gue bawa makanan. Ayo kita makan bersama." Lily menaruh makanan itu di depan Ines.
"Buat elu aja. Gue udah bawa sendiri." Ines menjawab ketus. Mengambil sebotol minum dari dalam tas.
"Mana? Sejak kapan elu bawa makan siang, biasanya elu beli di depan sana 'kan, daripada beli mendingan makan ini aja." Lily mengambil satu bagian untuknya dan satu bagian lagi untuk Ines. Namun, sahabatnya itu tetap saja menolak.
"Nes ...." Lily terlihat begitu memohon.
Ines pun dengan enggan mengiyakan. Mengambil makanan itu dan memakannya dengan lahap. Ternyata enak. Bukan seperti makanan yang ia santap dan beli. Ini seperti makanan restoran kelas atas dengan bahan premium tentunya.
"Nes, kita udah sahabatan lama. Gue udah sangat paham gimana elu. Jadi, jangan menutupi apa pun dari gue," kata Lily. Ia sengaja menyelipkan obrolan itu.
"Ly ...." Ines menghabiskan suapan terakhir. "Apa elu suka sama Arvel?" tanya Ines pada akhirnya. Hal yang sejak kemarin terasa memenuhi dada hingga membuatnya sesak.
"Enggak." Lily menjawab cepat. "Gue sama sekali enggak punya perasaan sama Arvel. Gue cuma anggap dia temen, enggak lebih. Elu tenang aja."
"Apa elu serius?" tanya Ines memastikan. Lily mengangguk tanpa keraguan. "Maaf, kemarin gue di taman. Enggak sengaja lihat Arvel nembak elu."
Uhuk uhuk!
Lily langsung tersedak mendengar ucapan Ines. Ia pun segera minum. Setelahnya, ia menghela napas lega. Untung dia tidak mati karena tersedak. Mendengar ucapan Ines, sekarang Lily tahu hal apa yang membuat gadis itu mendiamkan dirinya.
"Nes." Lily memegang tangan Ines dengan erat. "Maaf, kalau gue udah ngelukain hati elu. Gue tahu kenapa elu dari tadi ngediemin gue. Elu tenang aja. Gue bener-bener enggak punya perasaan apa pun sama Arvel. Gue cuma anggap dia temen baik, enggak lebih."
"Tapi dia cinta sama elu, Ly. Dia bahkan mau ngelamar elu," kata Ines. Suaranya parau menahan tangis. "Ly, kalau emang elu juga suka sama dia. Elu enggak perlu tutupin. Mendingan elu terima dia aja. Dia sangat sayang sama elu. Gue cuma kagum sama dia, bukan cinta."
Ines memaksa senyum. Ah, seharusnya ia tidak perlu berpura-pura di depan Lily, bukankah sahabatnya sudah sangat paham. Hubungan mereka bukanlah sehari dua hari saja.
"Nes, gue sungguh enggak suka sama Arvel. Elu tahu, untuk saat ini gue enggak terlalu mikirin cowok. Bagi gue, kebahagiaan ayah adalah nomor satu. Gue masih pengen buat ayah bahagia. Cuma dia satu-satunya yang gue miliki."
"Lalu dengan Tuan Brian?"
"Bukannya elu tahu kalau hubungan kami itu hanyalah sebatas ganti rugi saja. Gue mau jadi pacar pura-pura buat bayar ganti rugi itu. Setelah waktu yang ditentukan, gue dan Om Tampan bakalan kembali menjadi orang asing," kata Lily berat. Entah mengapa ia merasa tidak nyaman saat mengatakan hal itu.
Lily tahu, hubungannya dengan Brian hanya berlaku selama satu tahun saja dan ini sudah berjalan tiga bulan. Semakin lama waktu terus berjalan. Perpisahan itu pun semakin dekat. Lily berusaha menguatkan hatinya untuk tidak jatuh cinta dengan pria itu. Namun, ia tidak yakin apalagi semakin ke sini, Brian semakin baik padanya.
"Nes, gue harap elu enggak akan salah paham lagi sama gue. Kalau ada apa2, elu bilang. Soal Arvel gue bener enggak ada perasaan apa pun, kalau elu mau, gue bakal bantuin Arvel buat suka sama elu," tawar Lily. Namun, Ines menggeleng cepat.
"Enggak perlu, Ly. Gue enggak mau Arvel suka sama gue karena terpaksa. Kalau memang gue dan Arvel enggak jodoh, mungkin ada pria lain yang bakal jadi jodoh gue."
"Semangat, Nes."
Kedua sahabat itu pun saling berpelukan dan memaafkan. Semarah apa pun, tetapi Ines tidak bisa membenci Lily. Apalagi Lily bilang bahwa ia tidak menyukai Arvel. Ines tidak ingin hubungannya dengan Lily menjadi renggang. Hanya Lily yang menjadi sahabatnya selama ini.
***
"Ini apa?" tanya Brian saat Yosep menaruh tempat bekal di depannya.
"Ini makan siang Nona Lily. Karena Anda memberi makan siang untuknya, jadi Nona memberi miliknya untuk Anda. Kalau Anda tidak suka, Anda boleh memberi kepada saya atau karyawan lain. Jangan sampai dibuang ke tong sampah."
"Sini, ini hanya untukku."
Brian tersenyum senang. Dengan antusias membuka kotak makan itu. Isinya hanyalah nasi putih, sayur urap dan ikan asin.
"Yosep, ambilkan sendok dan garpu," perintah Brian. Namun, Yosep hanya diam di tempat. "Yosep ...."
"Tuan, makan seperti ini lebih enak menggunakan tangan."
"Masa, sih?" tanya Brian. Yosep hanya mengangguk. "Kalau begitu, aku cuci tangan dulu."
Brian bangkit dan menuju ke toilet. Yosep hanya menggeleng saat melihatnya. Baru kali ini Brian bersedia makan masakan seperti itu.
"Aku yakin, kalau Nona Lily memberi makan bekicot goreng pun, Tuan Brian pasti akan langsung memakannya. Dasar, sudah cinta tapi gengsi." Yosep terkekeh sendiri.
.