Ini tentang gadis ambigu yang berhasil merayakan kehilangannya dengan sendu. Ditemani pilu yang tak pernah usai menyapanya dalam satu waktu.
Jadi, biarkan ia merayakannya cukup lama dan menikmatinya. Walau kebanyakan yang ia terima adalah duka, bukan bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raft, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyimpan luka - 4
...Ada yang selalu tersenyum walau memiliki luka besar. ...
...Ada juga yang selalu datar karena ingin melindungi mereka dari rasa kehilangan. ...
***
Seperti yang Rey duga, jika ia tak akan bisa menulis dengan leluasa. Menulis sedikit saja langsung ditanya, yang jelas jelas itu menganggu kenyamanannya.
"Kamu suka bikin puisi? Boleh aku baca kalau udah selesai nanti?" Tanya Rai sedikit berbisik karena di depan mereka masih ada guru yang menerangkan. Dan Rey berusaha untuk tidak memperdulikan.
"Untuk tugas bahasa Indonesia kali ini, berkelompok dengan teman sebangku, ya! Kalian harus membuat musikalisasi puisi, temanya bebas. Sudah mengerti semua?"
Rey paling benci tugas kelompok. Makanya ketika mendengar itu, helaan napas panjang ia keluarkan. Berbeda dengan Rai yang terlihat kegirangan.
"Nanti mau ngerjain tugas di rumah siapa? Aku, atau kamu?"
"Gue aja."
Setidaknya jika di rumah Rey, ia bisa sedikit mengecoh Rai agar mau menuruti perintahnya. Secara 'kan ia tuan rumah nantinya.
"Oke. Nanti pulang sekolah, aku langsung ke rumah kamu."
"Wah, gue iri sama lo, Rai." Lengkara tiba-tiba datang saat Rai selesai berbicara. Dan mampu membuat sebelah alis terangkat dengan sempurna.
"Iri kenapa?"
Lengkara berdecak pelan. "Pertama datang lo udah bisa deket sama Rey. Terus tadi gue denger kalau kalian mau kerja kelompok di rumah Rey. Gue juga 'kan pengen deket sama Rey."
Angkasa juga tiba-tiba datang ketika mendengar Lengkara sedang mengeluarkan kecemburuannya.
"Kamu suka sama Rey?"
Rai ini terlihat polos di mata Lengkara. Terlihat dari bagaimana caranya bertanya, dengan mata bulat di balik kacamatanya.
"Kalau iya kenapa?"
Rai langsung menatap Rey yang sekarang sedang menenggelamkan kepalanya di antara tangannya yang tersilang di atas meja.
"Rey. Ada yang naksir sama kamu." Ucapnya memberitahu yang mendapat pelototan langsung dari Lengkara. Muka Lengkara saja sekarang memerah karena malu.
"Tau."
Karena sepertinya Lengkara terlalu kentara ketika berbicara dengan Rey.
"Kamu suka juga gak sama dia?"
Lengkara menatap Rey penasaran, dengan perasaan yang campur aduk sekarang.
"Gak."
Singkat, padat, dan jelas. Sekian pemirsa, hati Lengkara langsung berlubang karena cintanya bertepuk sebelah tangan.
Angkasa tertawa sangat kencang, membuat Lengkara mendengus sebal. Begitupun dengan penghuni kelas ini yang menatap Angkasa tajam karena mengganggu ketenangan.
"So, lo gak usah naksir lagi sama Rey. Dia udah blak-blakan bilang gak suka sama lo." Ucapnya setelah berhenti tertawa.
Lengkara memutar bola mata jengah "bodo amat!" Setelahnya Lengkara tersenyum ke arah Rai dan mengulurkan tangan untuk memperkenalkan dirinya sendiri.
"Hallo, Rai! Salam kenal, gue Lengkara."
Tentu saja Rai membalas senyuman maupun uluran tangannya.
Angkasa yang juga belum memperkenalkan dirinya kepada Rai langsung mengusir tangan Lengkara dari genggaman Rai, dan menggantikan itu dengan tangannya.
"Gue Angkasa. Salam kenal, ya!"
Walau sedikit kebingungan, Rai tetap membiarkan senyumnya mengembang.
"Rey, ada Renata di depan, tuh!" Teriak Mahes yang membuat keadaan kelas sunyi seketika.
Dan Rey langsung berdiri tegak untuk menghampiri adiknya yang selalu datang ketika jam istirahat tiba. Mereka memang suka istirahat berdua.
Rai melihat bagaimana senyuman Rey mengembang sempurna dengan perempuan yang bernama Renata di depan sana. Ia jadi penasaran siapa Renata itu sebenarnya.
"Itu pacarnya Rey, ya?"
Angkasa dan Lengkara menggeleng bersamaan untuk menjawabnya. "Renata itu adiknya Rey." Jelas Angkasa membuat Rai mengangguk mengerti setelahnya.
"Kita ke kantin yuk, Rai! Gue ajak lo ke stand makanan paling enak di sekolah ini."
Tanpa menunggu jawaban, Lengkara langsung menarik tangan Rai dengan lembut agar mereka berjalan bersama seperti orang yang sudah kenal lama. Dan meninggalkan Angkasa yang kembali duduk di bangkunya.
***
Gadis berkacamata itu menggigit roti di tangannya. Sembari sesekali mencuri pandang kepada lelaki bermata dingin yang baru ia kenal kemarin.
Ini pertama kalinya ia melihat senyuman dari wajah kaku itu. Senyum itu mengembang tanpa ada kepura-puraan, juga matanya yang kini tak terlihat sendu dari biasanya.
Sepertinya Renata benar-benar menjadi tempat pulangnya.
Lengkara tiba-tiba bersuara, membuat tatapannya hanya berfokus kepada Lengkara saja. "Lo cuman jajan roti doang? Padahal batagor di sini enak, lho!"
"Rotinya juga enak, kok!"
Lengkara menggedikkan bahu. "Padahal gak ada salahnya lo coba."
"Kalau batagor aku udah sering coba di Bandung."
"Ehm, oke." Alasan yang cukup masuk akal, pikir Lengkara.
"Kara, Rey itu orangnya gimana, sih? Kamu pernah di kasih senyuman gak sama dia?"
Lengkara menghentikan gerakannya yang sedang mengaduk batagornya, dan melihat Rai penuh curiga.
"Lo suka sama Rey?"
Rai menggeleng "enggak. Aku cuman penasaran aja."
"Kalau kata Angkasa. Rey cuman bisa senyum karena dua hal. Pertama, karya sastra yang dia buat. Dan kedua, karena keluarganya."
"Kenapa kayak gitu? Dia punya luka apa sampai bisa kayak gitu? Senyum doang 'kan gak ada salahnya. Bahkan sama orang asing sekalipun."
Lengkara mengangguk begitu semangat, menyetujui kalimat terakhir yang Rai ucapkan.
"Dari awal kenal, Rey emang udah kayak gitu. Dan gue gak tau kenapa dia bisa kayak gitu."
Setelah Lengkara selesai bicara, mata Rai kembali tertarik untuk melihat Rey di sebrang sana.
Senyum itu masih mengembang dengan lebar, seperti sedang menemukan bahagia yang sangat Rey harapkan.
Sebenarnya, kenapa Rey berlaku demikian? Apa ia punya trauma masa lalu yang membuatnya tak percaya kepada semua orang?
Lantas, bagaimana dengan dirinya? Ia juga punya ketakutan sekarang. Takut jika Ibunya tiba-tiba meninggalkan, seperti yang dilakukan ayahnya beberapa hari ke belakang.
Walaupun begitu, Rai masih bisa tersenyum kepada semua orang. Tepatnya, Rai hanya berusaha menutupi lukanya, dengan senyum lebar yang selalu ia ciptakan.
Terlihat munafik memang, tapi itu yang bisa ia lakukan.
***
^^^23-Mei-2025^^^