Elena hanya seorang gadis biasa di sebuah desa yang terletak di pelosok. Namun, siapa sangka identitasnya lebih dari pada itu.
Berbekal pada ingatannya tentang masa depan dunia ini dan juga kekuatan bawaannya, ia berjuang keras mengubah nasibnya dan orang di sekitarnya.
Dapatkah Elena mengubah nasibnya dan orang tercintanya? Ataukah semuanya hanya akan berakhir lebih buruk dari yang seharusnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahael, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27: Kembali ke Drugen
Ralf dan Nielz sampai di sebuah rumah yang terlihat besar namun tidak semewah bangsawan. Nielz dengan santai berjalan ke depan pintu dan mengetuknya.
Pintu kayu itu terbuka dan menampakkan sosok wanita paruh baya dengan rambut merah muda keabu-abuan yang di sanggul. Matanya terlihat terkejut saat melihat kedatangan Nielz.
"Mery!" Wanita itu langsung berlari memeluk gadis berambut merah muda itu dengan nada begitu lega.
Suami dari wanita itu keluar dan merasa terharu melihat istri dan anaknya berpelukan. Ia berterimakasih berkali-kali kepada Nielz dan memberikan sekantung uang.
"Terimakasih sekali lagi. Kalau bukan berkat anda, anak saya mungkin sudah tidak ada lagi."
"Hahaha... Beruntung anda sangat kaya jadi bisa menyewa jasa saya!" Nielz terkekeh dengan nada mengejek. Namun, pria itu tidak begitu mempedulikannya dan tetap berterimakasih, sedangkan Ralf yang melihat tindakan Nielz yang dinilai kurang sopan membuatnya tercengang di tempat.
"Kalau begitu, saya pergi dulu. Jangan lupa datang lagi, tentu saja dengan sekantung emas kalian juga~"
Nielz berjalan ke arah Ralf sembari memutar-mutar kantung emasnya dengan perasaan senang.
"Ayo," ajaknya.
Ralf hanya bisa menghela napas kasar dan mengikuti Nielz di belakangnya. Namun, suara panggilan seorang gadis membuat Ralf berbalik sejenak.
"KAKAK! Terimakasih sudah menyelamatkan Mery!" Gadis itu melambaikan tangannya dengan senyum lebar, dan itu kembali membuat Ralf teringat kenangannya.
"Ralf, Mega, ayo main!"
Sosok itu kembali terngiang di kepalanya. Rambut merah muda yang berayun-ayun ketika ia berlari. Senyum lebarnya, dan suara cerianya. Tapi, sekarang itu tinggal kenangan.
Nielz menyadari perubahan ekspresi dari Ralf dan berkata, "Ada apa dengan wajahmu? Kamu seperti orang yang sembelit," ejeknya.
Perasaan emosional yang dirasakan oleh Ralf sejenak langsung hilang bagai debu ketika mendengar lelucon dari Nielz. "Biarkan saja, tolong!" gerutunya dengan kesal.
Nielz hanya terkekeh geli dengan respon Ralf. Ia mengacak-acak rambut biru Ralf dan berkata, "Ayo kembali."
Ralf menepis pelan tangan Nielz dan merapihkan rambutnya kembali. Tapi, ia tetap mengikuti Nielz dengan patuh walau dengan wajah yang sedikit di tekuk.
Sesampainya di penginapan yang mereka singgahi di kota tersebut. Nielz membeli makanan untuk mereka berdua menggunakan uang yang baru saja ia dapatkan.
"Hey, hey! Kenapa banyak sekali!?"
Pesanan Nielz tidak henti-hentinya datang, membuat meja mereka penuh dengan hidangan yang mengepul hangat.
"Kamu harus makan banyak agar cepat tumbuh," ucapnya dengan enteng. Ia menyodorkan banyak sekali daging ke atas piring Ralf dan menyuruhnya untuk makan.
Makanan sebanyak ini baru pertama kali Ralf liat di hidupnya. Ia juga tidak menyangka akan bisa memakan makanan mewah seperti daging.
Dengan perasaan berdebar, Ralf menyuapkan satu daging ke dalam mulutnya. Ketika daging itu masuk ke dalam mulut Ralf, sensasi pecah dengan beragam kaya rasa membuat Ralf terkejut.
Daging itu begitu lembut dan sangat mudah dikunyah. Dagingnya yang terasa asin dan manis menambah cita rasa yang asing di mulut Ralf.
Nielz tidak sedetik pun melewatkan ekspresi Ralf yang terus berubah-ubah setiap daging yang masuk ke dalam mulutnya.
"Kamu terlihat menyukainya~" Nielz terlihat senang melihat Ralf yang lahap memakan semua daging yang ia letakkan di atas piringnya.
Setelah makan selesai, waktunya untuk tidur. Dalam satu kamar terdapat dua kasur yang dipakai masing-masing dari mereka. Malam itu, Ralf tidur dengan perut yang kenyang dan ia bermimpi indah. Sedangkan Nielz masih berada di lantai satu kedai itu.
Ia menatap sepucuk surat bertuliskan dari Lisa. Surat itu datang saat mereka sedang melakukan pekerjaan diluar, dan itu dititipkan oleh penjaga kedai.
Nielz membaca satu persatu kalimat di kertas itu. Isinya tidak begitu menarik. Hanya sesuatu tentang kerinduan akan sosok kekasihnya. Tapi, Nielz hanya tersenyum geli.
"Aku penasaran wajah Lisa saat menulis surat ini," ucapnya dengan pelan sambil terus membaca hingga huruf terakhir.
"Pangeran menemui mereka?"
Surat itu memang hanya berisi tentang kerinduannya akan sosok kekasihnya. Namun, surat itu ditulis seperti itu dengan sengaja agar orang tidak bisa menangkap maksudnya. Jika diperhatikan lebih dalam, ada sebuah huruf yang tersusun secara diagonal, dan huruf itu membentuk kata 'Pangeran datang'.
Nielz akhirnya menulis sebuah surat singkat tanpa menuliskan siapa pengirimnya lalu menyimpannya di dalam laci.
Saat pagi tiba, Nielz langsung menyuruh Ralf untuk mengantarkan surat ini ke pos pengiriman di kita ini.
"Surat apa ini? Apa kamu menerima tugas lagi?" tanya Ralf dengan penasaran.
"Tidak. Itu surat untuk organisasi. Kirimkan saja ke alamat itu." Nielz menggoyang-goyangkan tangannya seperti postur mengusir lalu, ia kembali tertidur di atas kasurnya.
Dia memperlakukanku seperti pembantunya...
Tapi, walaupun Ralf berpikir seperti itu ia tetap melakukan tugasnya. Ia pergi ke pos pengiriman yang berada di kota Garlion.
Saat sampai di tempat pengiriman, bangunannya begitu besar dan tinggi. Ralf saja tidak menyangka ada orang yang bisa membangun bangunan setinggi itu.
Ia masuk dan mendapati banyak sekali orang berlalu lalang dengan beberapa surat di troli. Ralf berjalan ke arah resepsionis dan menyerahkan surat yang ia bawa.
"Bisakah kamu mengirimkan surat ini ke kota Drugen, tepatnya di alamat xxx," jelas Ralf.
Petugas itu hanya mengangguk mengerti dan memasukkannya ke dalam sebuah kotak khusus. "Surat akan sampai pada penerimanya dalam waktu satu hari. Apa anda ingin saya beritahu jika ada balasannya?" tanya petugas itu dengan sopan.
"Tidak. Tidak perlu."
Tanpa menulis nama pengirimnya, dan alamat yang dituju. Ralf mendapat gambaran bahwa surat itu tidak akan mendapat balasan lagi setelah ini.
"Tunggu, tapi bagaimana surat itu tiba dalam waktu satu hari? Dari kota ini ke kota Drugen memakan waktu 2 hari perjalanan, bukan?"
Petugas itu menyadari rasa penasaran dari Ralf dan terkekeh geli. "Kami menggunakan sihir pengantaran yang terhubung di setiap pos pengiriman di seluruh kekaisaran. Apakah kamu baru melihatnya?" tanyanya.
Ralf mengangguk kecil. Selama ini ia tidak pernah mengirim surat atau sejenisnya, dan hal ini adalah pertama kalinya ia mengetahui ada alat seperti itu.
"Tapi... Bukankah penyihir dianggap sesat?"
"Benar. Tapi, itu hanya berlaku untuk para penyihir yang tidak teridentifikasi oleh pihak kekaisaran. Semua penyihir yang teridentifikasi akan mendapatkan surat perizinan dan sihirnya digunakan hanya untuk kekaisaran saja," jelas petugas itu dengan sabar. Itu adalah informasi baru yang Ralf dapatkan setelah berkelana bersama Nielz beberapa hari ini.
"Terimakasih, paman. Kalau begitu aku pamit dulu." Ralf membungkukkan badannya lalu pergi dari sana.
Sesampainya di kedai penginapan, ia mendapati Nielz tengah menyantap sarapannya dengan ekspresi tenang.
Ralf mendatanginya dan duduk di seberang meja makan. "Aku sudah mengirim surat itu. Tapi serius, apa kamu menerima pekerjaan lagi? Apa kita akan terus berkelana seperti ini?"
Nielz melirik ke arah Ralf sambil mengunyah makanannya. Ia menelan makanannya dan berkata, "Apa kamu tidak suka berkelana seperti ini?"
"Bukan itu maksudku!" Ralf mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. Alasan ia mengikuti Nielz karena ia mengatakan akan membantunya balas dendam. Tapi, selama ini Ralf tidak merasa Nielz membahas hal itu lagi setelah hari itu.
"Maksudku, bukankah kamu mau membantuku membalas dendam akan kematian temanku??"
"...."
"...."
"Oh, benar!"
Benar? Jangan bilang dia lupa!?
"Santailah. Aku tidak bermaksud membohongimu. Besok kita akan kembali ke kota Drugen," ucapnya. "Sepertinya balas dendam mu bisa dimulai saat itu," lanjutnya dengan senyum miringnya.
...★----------------★...
Sedangkan di keesokkan harinya surat yang dikirimkan oleh Nielz tiba di cafe Pa Diviem.
Lisa sebagai penerima surat membukanya dan tangannya bergetar.
Surat itu bertuliskan, "Baiklah sayang, saat aku pulang kuharap kamu sudah siap dengan baju yang telah ku belikan di kamar,"
Alis Lisa berkedut antara kesal dan malu. Ia langsung merobek surat itu dan membakarnya saat itu juga.
To Be Continued: