Bening Anjani, baru saja lulus sekolah dan ingin melanjutkan kuliah di kota besar demi mewujudkan cita-citanya. Sayang, sang adik harus menjalani operasi besar yang menelan biaya sangat besar hingga ayah dan ibunya terpaksa menjual rumah juga satu-satunya sawah mereka. Bening tak jadi melanjutkan kuliah, sebagai baktinya kepada kedua orangtua, juga untuk meringankan beban keluarga, ia bertekad merantau ke Jakarta.
Di sana, ia yang belum berpengalaman akhirnya menjadi pembantu di kediaman keluarga kaya raya. Sang majikan memiliki putera yang sudah lima tahun menikah bernama Anggara Dewa. Sayang, lima tahun pernikahan itu belum menghasilkan keturunan karena istrinya yang adalah seorang model terkenal belum bisa memberikan Gara anak.
Sebuah kesepakatan kemudian mengantarkan Bening dan Gara dalam hubungan rumit setelah pasangan suami istri itu setuju untuk membeli rahim Bening, sang pembantu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lemari Kertas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Suka Kau
Bening keluar dari kamar dengan celana jeans panjang juga kaus berwarna putih. Rambutnya sudah setengah kering karena ia sempat mengeringkannya dengan kipas angin. Gara sendiri masih menunggu Bening di kursi ruang tamu. Ia merasa nyaman, rumahnya sudah bersih sekali.
Ia sempat ke dapur dan memang tidak ada makanan sama sekali di sana. Hanya ada beberapa mie instan yang tadi sudah dimasak satu oleh Bening. Gara menghubungi Revi, panggilannya diabaikan. Gara tahu, istrinya itu sedang sibuk syuting iklan. Gara menarik nafas panjang, pusing memikirkan Revi yang tidak mau menurut dengannya.
"Tuan Gara." Bening memanggil pelan, dengan sedikit menunduk dan jari jemari yang tampak bertaut. Gara melihat Bening sebentar, ia tersenyum kecil, dengan pakaian sederhana begitu, Bening semakin nampak seperti gadis belia yang baru menanjak dewasa.
"Ayo," ujar Gara sambil beranjak dari duduknya..
Bening mengekor, Gara menghentikan langkah lalu menoleh ke belakang. "Mengapa kau di belakang begitu?" tanya Gara sebal.
"Ehmmmm ... Kan memang begini semestinya, Tuan." Bening jadi bingung sendiri.
Gara berdecak lalu menatap Bening.
"Santai saja, aku bukan mama. Berjalanlah di sampingku," ujarnya lagi.
Bening jadi mengangkat wajahnya, dia tak enak. Namun, karena tidak mau membuat Gara marah, akhirnya Bening mulai melangkah bersisian dengan Gara.
Mereka kemudian naik ke dalam mobil, tadinya Bening mau duduk di belakang tetapi Gara segera mencegahnya dan memintanya untuk di depan.
"Kau kira aku sopir?" tanya Gara datar.
"Ehmmmm, saya tidak enak, Tuan. Nanti ..."
"Justru kalau kau di belakang begitu aku yang merasa aneh." Gara menyela.
Bening jadi bungkam sejenak. Jujur saja saat ini dia gugup bukan main. Lebih baik Bening berada dalam satu mobil dengan pak Diman saja.
"Kita ke mall saja, ada yang mau aku beli sekalian."
Bening tak membantah, dia hanya mengangguk, mengikuti semua instruksi yang Gara berikan. Memangnya apa lagi yang bisa dia lakukan selain menurut?
Mobil yang dikendarai Gara akhirnya sampai di sebuah mall besar. Gara dan Bening turun dari mobil. Lagi-lagi, Bening berjalan di belakang lelaki itu. Gara berkacak pinggang, menatap Bening yang tak mengerti juga. Dia segera menarik tangan Bening, membuat Bening jadi terkesiap.
"Biarkan saya berjalan sendiri, Tuan. Tolong lepaskan."
Gara melepaskan tangannya lalu ia dan Bening mulai berjalan bersisian. Mall sedang ramai-ramainya saat ini. Bening baru kali ini masuk ke dalam mall besar. Banyak gadis seusianya yang sedang hangout di dalam kafe-kafe. Ia juga melihat beberapa mahasiswa mahasiswi sedang membahas tugas kuliah mereka di salah satu meja.
"Kau mau kuliah?" tanya Gara tiba-tiba.
"Eh, tidak, Tuan." Bening segera menjawab cepat.
Kembali hening. Gara masuk ke sebuah tempat yang menjual peralatan mandi dan sebagainya. Ia juga membelikan untuk Bening sekalian. Lalu mereka menuju area fresh yang menjual segala macam bahan makanan.
Gara mengambil daging sapi potong, ayam, sayur dan bahan makanan lainnya. Dia juga membeli buah-buahan dan banyak lagi makanan lain. Gara juga yang mendorong troli belanjaan. Bening betulan hanya diminta memilih bahan makanan yang akan dibeli. Sekilas mereka mirip sekali seperti pasangan baru menikah.
Saat tengah sibuk memilih susu kotak besar, Bening dikejutkan oleh seseorang. Bening menatap lelaki di depannya terdiam. Dia ingat pertemuan terakhir mereka saat di trotoar ketika Bening kecewa dengan sorot merendahkan dari lelaki itu saat ia mengatakan dirinya akan menjadi pembantu.
"Bening?"
"Bang Dani." Bening menyahut dengan tenang. Kebetulan sekali mereka bisa bertemu di sana. Dulu, Bening pernah memandang lelaki itu dengan tatapan memuja, tapi semenjak kejadian di trotoar, Bening tidak lagi merasakan itu. Kini, hanya pandangan biasa, seperti kawan lama.
"Apa kabarmu, Ning?"
"Bening baik. Bagaimana dengan Abang?" Bening mencoba tetap tersenyum meski kecewa selalu membayangi kala ia ingat tatapan merendahkan kali terakhir mereka bertemu dulu.
"Baik juga, Ning. Kau masih bekerja?"
"Ya, masih menjadi pembantu." Bening menegaskan dengan senyum yang masih sama. Kali ini, Bening tak melihat tatapan merendahkan itu lagi, kecuali tatapan rindu dari lelaki satu desa dengannya itu.
"Bening."
Dani dan Bening sama-sama menoleh, Gara menatap keduanya dingin dan datar.
"Itu Pak Anggara Dewa?"
Bening merasa heran karena Dani mengenal tuan Gara. Namun, dia mengangguk saja.
"Dia majikanku. Abang mengenalnya?"
"Ya, siapa yang tidak kenal dia. Aku juga sedang magang di perusahaannya."
Bening mengatupkan bibirnya, merasa tak ada lagi yang mesti dia bicarakan. Gara menghampiri Bening lalu memberi isyarat untuk ikut dengannya.
"Bening pamit, Bang. Senang berjumpa dengan Abang lagi."
Dani menatap sendu Bening yang berlalu, dia tahu, tatapan Bening tak lagi sama. Dia sadar, Bening kecewa padanya. Dani hanya menatap kepergian Bening dengan bos magangnya itu dengan tatapan nanar.
"Siapa?" tanya Gara sambil mendorong troli.
"Teman saya satu desa, Tuan."
"Oh." Gara menjawab singkat.
"Aku suka kau."
"Eh?" Bening merasa salah dengar.
"Maksudku, aku suka kau di rumahku. Rumahku terawat dan bersih." Gara segera meralat ucapannya tanpa kentara kalau sekarang dia jadi gugup.
Bening tak menyahut, dia merasa ada yang aneh. Namun, Bening tak mau besar kepala. Dia mesti sadar diri, dia hanya pembantu yang beruntung bisa bekerja pada nyonya kemudian pada Gara. Tidak ada hal lain yang mesti membuatnya bangga.