Dia adalah Firlizy, gadis cantik yang berprofesi sebagai artis. Gadis itu terkenal sangat baik, memiliki sifat kalem dan juga wajah polos. Tapi siapa sangka di balik wajah polosnya dia menyimpan sebuah rahasia yang mampu mengubah kepribadiannya.
Sayangnya ketidak beruntungan ada di pihak Liz, manajer yang ia percaya menipunya hingga ia berutang pada rentenir sebesar 15 M, Itulah yang semua orang percaya, tapi siapa sangka ternyata itu semua adalah rencana Liz, untuk menikahi CEO hebat pada masa itu, Devan Arkasa, namanya bergema di seluruh penjuru negri. Dan Devan, adalah target utama balas dendam Liz. Hingga Liz mencoba menjebak Devan, apakah berhasil?
"Aku Firlizy, Putrinya Deyna, tujuan ku adalah, menghancurkan mu Tara, melalui Putra angkat kesayangan mu, Devan Arkasa, si CEO sombong itu. Aku pastikan kalian menderita. Devan Arkasa, aku akan membuat mu jatuh cinta padaku, bukan hanya dengan hati juga dengan jiwa, agar nanti bukan hanya hatimu yang hancur, jiwa mu juga akan tergoncang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rini IR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suara Hati Liz
...***...
Malam ini Liz dan Devan makan di meja makan. Atas permintaan Liz yang aneh, dia meminta sate dan bakso. Entahlah, apa yang merasuki gadis ini, yang jelas dia bukan ngidam.
Mereka hanya berdua, itu harusnya kalau tidak ada Vin. Sayangnya Vin itu bagai bayangan Devan, dimana aja ada. Menurut Liz, dia harus memainkan beberapa trik lagi agar Devan jatuh hati padanya, sayangnya Vin itu penghalang.
Liz makan dengan lahap, sayangnya itu membuat wajahnya kotor. Ada bumbu kacang di sudut bibirnya. Liz sadar akan hal itu. Dia menatap Devan dengan senyuman. "Suami ku, liat ada bumbu kacang." Adu Liz dengan suara manjanya. Dia menunjuk sudut bibir yang kotor.
Devan hanya menatap Liz datar. "Apa aku pelayan mu yang akan mengusap itu? Kau pikir aku peduli?"
Liz menatap ke bawah. "Yah~ kirain udah ada rasa walau sedikit. Ternyata engga ya, huh." Liz membiarkan bumbu kacang itu begitu saja, bahkan saat mereka sudah selesai makan, soalnya Liz lupa masih ada. Kalau dia tau, dia pasti sudah membersihkannya.
-
-
-
Pintu kamar itu tertutup, Liz baru saja ingin ke kamar mandi, namun tangannya di tarik oleh Devan. Devan langsung memakan sisa bumbu kacang di sudut bibir itu.
Deg!
Jantung Liz kali ini benar-benar berdegub begitu kencang. Dia bahkan berpikir jantung nya hampir keluar dari mulutnya. Mata Liz membelalak kaget, Devan hanya tersenyum menatap reaksi itu. "Ada apa? Bukannya kau tadi yang merengek minta di bersihkan? Sekarang aku sudah membersihkannya loh, bilang terima ka--"
Liz langsung mendorong Devan. Dia berlari ke kamar mandi.
Plakkk!!
Liz menampar kedua pipinya dengan tangannya sendiri. Ia menatap dirinya di cermin. Liz menarik napasnya panjang.
Tenang Liz, kau harus tenang, melihat situasi dan reaksi Devan, sepertinya dia mulai sedikit ada rasa pada mu. Tingkatkan, pengorbanan sedikit tidak masalah. Mungkin setelah ini dia akan lebih sering mencium ku. Tidak, itu tidak masalah asal akhir nya setimpal.
Benar, pengorbanan ini, semua ciuman ini, itu hanyalah pengorbanan untuk balas dendam. Hanya pengorbanan tanpa ada unsur perasaan pribadi. Hanya ada kebencian untuk keluarga Arkasa dan Tara. Hanya kebencian, tidak ada yang lain. Ingatlah Liz... Ingat semua cerita yang Bibi Yuli katakan pada mu... Ingat...
...POV LIZ...
Aku lagi-lagi mengingatnya, saat itu aku berusia lima tahun, aku selalu bertanya soal ayah ku pada mama, dan Mama Deyna selalu bilang. "Papa mu adalah orang yang sangat baik, dia seorang dokter yang hebat, wajahnya juga sangat tampan." Mama Deyna selalu menceritakannya sembari menunjukkan foto Papa. Mama juga selalu tersenyum cantik, wajahnya berseri bahagia, jika dia sudah membicarakan soal Papa.
Aku selalu mendengar cerita kehebatan Papa dari Mama. Aku juga selalu menatap foto Papa sebelum aku tidur sejak saat itu. Aku bahkan tidak akan bisa tidur jika belum melihat wajah papa, begitu juga mama yang sangat mencintainya.
Namun saat aku berusia 7 tahun. Aku menyadari fakta kelam yang selama in tidak aku mengerti. Itu semua karena teman-teman di sekolah ku, yang menanyakan, dimana papa ku? Dimana?
Malam itu saat aku tidur bersama mama, aku bertanya padanya. Fakta itu "Ma..., dimana Papa? Bukankah Mama dan Papa saling mencintai? Kenapa dia tidak pernah datang ke sini? Tidak, bukan, bahkan kenapa dia tidak tinggal bersama kita? Bukankah kalian suami istri? Kita keluarga kan? Harusnya keluarga itu tinggal bersama kan, Ma?" Tanya ku beruntun. Tanpa sadar aku menanyakan banyak sekali pertanyaan itu.
Waktu itu aku tidak mengerti, tapi kalau di ingat-ingat lagi wajah Mama langsung sendu, eskpresinya aneh, bibirnya bergetar seolah ingin menahan tangis. Namun dia membelai rambut ku lembut, dia memegang pipi ku, menatap mata ku yakin, dan berkata. "Tenang saja, Papa sedang sibuk, dia akan datang nantinya. Liz tenang aja yaa."
"Kalau gitu Kapan Papa datang?"
"Nanti."
"Kalau gitu Liz ingin ngomong sama Papa. Liz ga pernah ngomong sama Papa, biar Liz yang bujuk Papa, Papa itu kan akan menuruti semua permintaan anak perempuannya, makanya Liz--"
Belum selesai aku berbicara, namun air mata mama sudah keluar banyak sekali. Aku jadi takut, juga sedih, aku sempat berfikir apa ini salah ku yang terlalu banyak permintaan?
Aku mengusap air mata Mama. "Liz akan nungguin Papa, sampe papa pulang, mama juga nungguin Papa kan? Kita tungguin Papa sama-sama, Mama jangan nangis, Papa kan sebentar lagi pulang."
Mama tersenyum bahagia, dia mencium kening ku, tapi sekarang aku tau wanita itu sedang menampilkan senyuman palsu, dia meyakinkan dirinya sendiri dengan mimpi yang tak kan mungkin terjadi, juga membagikan mimpi itu pada putrinya yang polos.
Sebentar ya? Bahkan sampai aku usia 9 tahun, Papa tidak pernah datang. Hingga kami kekurangan uang dan di usir dari kontrakan. Aku tak kan melupakan hari itu, hari hujan deras dan kami harus tidur di depan ruko orang, bahkan sempat beberapa kali di usir. Cih padahal cuma numpang meneduh. Penghinaan yang masih hangat di kepala ku itu, darah ku mendidih jika mengingat itu semua.
Bahkan, aku yang 10 tahun saat itu sudah mulai benci pada sosok Papa, halusinasi ku!
"Ma! Dimana Papa! Mama bilang dia akan datang kan? Kemana?! Jangankan datang, mengirim kabar pun tidak kan?"
Plakk
Untuk pertama kalinya, hujan deras itu saksi mama menampar ku, karena papa sialan itu.
"Papa mu sibuk, jangan di bicarakan. Mama tidak ingin kau berbicara buruk tentangnya."
Cih, jika di ingat-ingat, mama itu orang polos yang terjebak terlalu dalam dengan yang namanya cinta.
Akhirnya keberuntungan di pihak Kami, teman mama semasa kuliah, Tante Yuli datang dan membawa kami ke rumahnya, maksudnya adalah panti asuhan. Dia mengelola panti asuhan itu. Di panti asuhan itu lah, aku mulai bertemu dan berteman dengan Anna, hingga berbagai kesulitan kami lalui bersama, dan menjadi sahabat yang saling menguatkan.
Sejak malam itu, usia ku 10 tahun, aku tidak pernah lagi bertanya soal Papa. Lihat, bahkan sampai saat ini, usia ku 14 tahun, dia bahkan tidak datang di ulang tahun ku.
Pada saat itu, malam sepi yang sunyi, aku duduk sendirian di taman. Malam itu juga Tante Yuli datang, dan dia menceritakan semua kebenarannya pada aku yang 10 tahun. Kebenaran bagaimana sikap Tara yang sesungguhnya pada Mama.
"Kau tau, alasan kenapa Papa mu tidak pernah menemui mu? Dan ibu mu? Itu karna dia mencintai Lathifa Kanneira, dia cinta mati pada istrinya Arfenik Arkasa itu."
...***...