Hito diperlakukan secara tidak adil oleh keluarga istrinya. Segala hal buruk ia dapatkan, tetapi pria itu tetap setia demi cintanya.
Namun, seiring berjalannya waktu. Hito semakin tidak dianggap. Secara terang-terangan sang istri berselingkuh dengan pria lain.
Hito direndahkan, dan dianggap pria sampah yang hanya menumpang. Namun, mereka semua tidak menyadari jika Hito, adalah seorang penguasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miracle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Hangat
"Xava! Dari mana kamu mendapatkan makanan ini?" tanya Zaya.
"Bantu membereskan semua bahan makanan ini. Besok pagi kita buat sup tiram dan daging," jawab Xava.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku, dan lihat ini." Zaya memandang pakaian serta perhiasan yang adiknya kenakan. "Dari mana kamu mendapatkan semua barang itu?"
"Semua ini dari ayah angkat Hito. Dia yang memberikannya kepadaku."
Mata Zaya melebar, "Benarkah!"
Xava mengangguk, "Benar. Buat apa aku berbohong. Aku mau kembali ke kamar. Selamat malam."
"Hei, tunggu! Aku belum selesai bicara!" seru Zaya.
Saat Xava dan Hito masuk ke rumah dengan membawa barang pemberian Hutomo, Zaya memang melihat itu. Ia mengantikan tugas Hito yang ingin menyusun bahan makanan ke dalam lemari kulkas.
Xavera masuk ke dalam kamar, dan kebetulan Hito belum tidur karena memang ingin bicara kepada istrinya. Xavera menganti gaun dengan pakaian tidur, menghidupkan kipas angin, lalu menyusul Hito duduk di atas tempat tidur.
"Katakan padaku. Di mana kedua orang tuamu?" kata Xavera.
"Ibuku sudah tiada. Kan, aku pernah bilang dulu. Kalau ayahku, dia masih ada. Masih sehat dan bugar."
"Lalu, di mana dia? Kamu tidak ingin memperkenalkan diriku? Papa juga perlu bertemu dengan besannya. Rasanya kamu sangat misterius meski kita sudah mengenal satu sama lain," tutur Xava.
Sejak keduanya berteman, Hito memang banyak menceritakan masalah kehidupan rumah tangganya saja. Sementara kehidupan pribadi ataupun latar belakang dari pria itu, hanya sedikit yang Xavera tahu.
"Papaku pernah bilang, kalau aku mau pulang harus membawa istri dan anak," kata Hito, lalu menambahkan kalimatnya, "aku sudah punya istri, tetapi belum punya anak."
Xavera merona malu. Mereka berdua belum melakukan malam-malam yang memang seharusnya pasangan suami istri lakukan.
"Kenapa tuan Hutomo baik padamu? Apa dia memang begitu orangnya?" tanya Xava.
"Dia punya anak yang tidak mau menurut. Itu sebab dia menyayangiku diriku. Aku sangat beruntung, kan?"
Xava mengangguk, "Ya, kamu sangat beruntung. Oh, ya, Kamu harus segera mempertemukanku dengan orang tuamu."
"Tentu saja asal aku membawa anak dan istri. Kamu, kan, belum hamil."
Xava menundukkan kepala. "Kamu buat hamil saja."
Giliran wajah Hito yang memerah. Udara di dalam kamar tiba-tiba menjadi panas. Hito berdehem, lalu turun dari tempat tidur. Ia beranjak mengunci pintu kemudian menutup tirai jendela. Kipas angin diarahkan sedikit ke arah tempat tidur, tetapi tidak sampai ke arah yang tepat.
"Apa bisa kita mulai?" tanya Hito.
"Lampunya tidak dimatikan?"
"Kalau dimatikan, aku tidak bisa melihat bentukkannya," kata Hito.
Tidak dapat Xava menyembunyikan wajahnya yang merona itu. Ia sudah selesai kedatangan tamu, dan sudah saatnya menjalani kewajibannya.
"Kita bisa mulai sekarang," kata Xava.
Tanpa keraguan Hito membuka habis pakaiannya. Ia merangkak naik ke tempat tidur, dan duduk di hadapan sang istri. Xava memalingkan wajah saat matanya tanpa sengaja memandang bagian terlarang Hito.
"Angkat wajahmu, Xava. Pandanglah aku."
Xavera mengangkat wajah memandang Hito. Pria itu mendekat, memiringkan kepalanya kemudian menyentuh bibir lembut itu dengan bibirnya hingga keduanya jatuh secara bersamaan.
Tangan Hito masuk menyusup dari bawah. Menangkas gaun tidur satin hingga sampai mencapai buah ranum tanpa penghalang, dengan puncak yang sudah meninggi.
Xavera kaget karena Hito menangkup kemudian menekan-nekan lembut bagian itu. Bibir mereka masih belum melepas. Bahkan, indera perasa keduanya masih saling membelit.
Hito menjauhkan bibirnya. Xava sudah kehabisan napas. Bibir wanita itu basah dengan saliva yang bercampur menjadi satu.
"Bagian ini sangat pas di tanganku," kata Hito yang secara bergantian menekan, memutar bagian sensitif tersebut. Xava mengigit bibir untuk tidak mengeluarkan suara saat Hito memijit puncaknya yang meninggi.
"Keluarkan saja suaramu," kata Hito.
Xava dengan cepat mengeleng. "Nanti terdengar dari bawah."
"Tidak akan. Suara kipas angin sudah membuat bising," kata Hito dengan tangan melepas gaun tidur milik istrinya. Pria itu mengusap tubuh mulus nan putih milik sang istri. "Benar-benar cantik."
Hito melukis tubuh Xava dengan bibirnya. Tubuh putih itu, kini ternoda dengan warna pink di sekitar leher sampai ke perut. Dua bagian yang mengantung juga tidak luput dari jajahan bibir Hito.
"Aku buka, ya?" kata Hito.
Xava mengangguk, "Iya.
Perlahan Hito membuka dalaman katun bermotif garis hitam putih. Xava merapatkan kakinya. Terasa dingin tanpa penghalang yang melindungi.
"Kamu basah, Sayang."
"Lakukan saja," ucap Xavera yang memang sudah tidak tahan.
"Ini pertama untukku," kata Hito.
"Aku juga. Kamu pelan-pelan melakukannya."
"Akan aku usahakan. Aku belum pernah praktek, tetapi menonton film sudah." Hito melebarkan kaki Xava. Menekuk kedua kaki sang istri hingga ia berada di tengah. Hito usap lembah madu yang basah itu, dan mulai menancapkan bagian miliknya yang sudah berdiri tegak. "Sepertinya harus pakai tenaga."
"Memang harusnya begitu," kata Xavera.
"Kamu tahan sebentar rasa sakitnya."
Hito mendekap tubuh sang istri. Kedua tangan Xava melingkar di leher, dan kedua kakinya melingkar di pinggang suaminya. Kerja keras Hito membuahkan hasil. Ia tembus juga penghalang tipis itu. Hito mengecup bibir Xava untuk menghilangkan sedikit nyeri atas penerobosan benda tumpul miliknya.
"Aku akan gerak pelan-pelan," ucap Hito.
Xava mengigit bibir. Nyeri itu terasa sampai ia mengeluarkan air mata. Hito berhenti sejenak. Ia kecup kembali seluruh wajah Xava, dan saat istrinya diam, pria itu kembali bergerak.
Napas Hito tersengal. Ia jatuh di atas tubuh istrinya ketika mencapai pelepasan. Tubuhnya banjir keringat. Bahkan, kipas angin tidak dapat membuatnya merasa dingin.
Hito menghela napas panjang. Ia mengeser tubuhnya di sisi tempat tidur sebelahnya. Pengalaman pertama yang sangat memuaskan bagi Hito.
"Sayang, kamu jangan tidur dulu, ya? Kita main sekali lagi."
Xavera mengangguk, "Iya."
"Aku istirahat sebentar."
Xavera hendak menutupi tubuhnya dengan selimut, tetapi tangan Hito mencegahnya. "Biarkan saja terbuka. Aku mau jadi bayi."
"Jangan kuat-kuat. Kamu tidak lihat, ini merah semua."
Hito tidak mendengarkan perkataan Xavera. Ia melakukan apa yang pikirannya katakan. Seluruh tubuh Xavera dijajah oleh kekuatan daging lunak keras. Suara serak nan parau menjadi alunan lagu bagi sepasang suami istri yang kembali saling membalut. Keduanya menghela napas panjang secara bersamaan. Sekali lagi pelepasan telah dicapai.
"Apa tubuhmu lengket?" tanya Hito.
"Tentu saja," kata Xava.
"Mandi bersama?" tawar Hito.
"Kamar mandi ada di bawah, dan mana mungkin bisa mandi bersama."
Aku lupa kalau kami berada di rumah kecil ini. Sepertinya aku harus membuat acara bulan madu di hotel.
Hito memeluk Xava dengan erat. "Kamu yang sabar, ya. Besok saja mandi, ya. Lagian ini sudah terlalu malam. Nanti masuk angin."
Xava tergelak, "Iya, tetapi biarkan aku memakai pakaian tidur."
Bersambung.