Aini adalah seorang istri setia yang harus menerima kenyataan pahit: suaminya, Varo, berselingkuh dengan adik kandungnya sendiri, Cilla. Puncaknya, Aini memergoki Varo dan Cilla sedang menjalin hubungan terlarang di dalam rumahnya.
Rasa sakit Aini semakin dalam ketika ia menyadari bahwa perselingkuhan ini ternyata diketahui dan direstui oleh ibunya, Ibu Dewi.
Dikhianati oleh tiga orang terdekatnya sekaligus, Aini menolak hancur. Ia bertekad bangkit dan menyusun rencana balas dendam untuk menghancurkan mereka yang telah menghancurkan hidupnya.
Saksikan bagaimana Aini membalaskan dendamnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bollyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26: Terusir dari Desa dan Perang Dingin di Jakarta
Suasana di ruang tamu Ibu Dewi mendadak senyap, seolah oksigen di ruangan itu tersedot habis saat tubuh Cilla limbung. Matanya terbalik, dan dalam hitungan detik, ia ambruk ke lantai yang masih dingin. Tekanan dari hujatan netizen yang ia baca di ponselnya ribuan komentar yang menyebutnya "pelakor cilik" dan "perusak hubungan saudara" ditambah tatapan sinis para tetangga yang mengintip dari balik jendela, benar-benar meruntuhkan seluruh pertahanannya.
"CILLA! Bangun, Cil! Mas di sini!" teriak Varo panik. Ia langsung menyambar tubuh istrinya yang sudah tak sadarkan diri, mencoba menepuk-nepuk pipinya dengan tangan yang gemetar.
"Astaga, Gusti! Cilla! Varo, cepat bawa dia masuk ke kamar! Jangan dibiarkan di lantai begini, nanti dia makin drop!" Ibu Dewi berteriak histeris, wajahnya pucat pasi melihat anak kesayangannya pingsan di hari yang seharusnya menjadi hari bahagianya.
Varo segera membopong tubuh Cilla yang terkulai lemas ke dalam kamar pengantin. Aroma melati yang kemarin terasa begitu romantis dan penuh gairah, kini tercium seperti bau kematian bagi Varo. Di dalam benaknya, badai keraguan mulai berkecamuk hebat, lebih kencang dari kepanikannya melihat Cilla pingsan. Ucapan Aini tentang hasil laboratorium itu terus terngiang seperti kaset rusak yang diputar berulang-ulang di telinganya.
Kalau aku benar-benar mandul sesuai surat itu, lalu anak siapa yang ada di rahim Cilla? Apakah Cilla bermain di belakangku dengan laki-laki lain saat kami masih berselingkuh? Pertanyaan itu membuat dada Varo sesak, seolah ada batu besar yang menghimpit jantungnya.
"Varo! Kamu jangan melamun saja seperti orang bodoh! Cepat ambilkan minyak kayu putih atau apa saja! Lihat ini istrimu tidak bangun-bangun!" bentak Ibu Sarah yang ikut masuk ke kamar dengan wajah penuh kecemasan yang egois.
Varo tersentak, lalu dengan langkah lesu ia melakukan apa yang diperintahkan ibunya. Setelah beberapa saat, Cilla mulai siuman meski pandangannya masih kosong. Ia langsung terisak, tangisnya pecah memenuhi kamar kecil itu. Varo melangkah keluar kamar dengan bahu yang merosot, ia butuh udara segar, namun di luar ia justru disambut oleh perang mulut yang lebih panas antara ibunya dan Ibu Dewi.
"Bagaimana ini, Varo? Video pernikahan kalian sudah ditonton lebih dari sepuluh juta orang! Teman-teman Arisan Ibu di Jakarta sudah mulai meneror grup WhatsApp. Mereka bertanya, apa benar menantu baru Ibu itu hasil merebut dari kakaknya sendiri? Ibu mau taruh di mana muka Ibu?!" seru Ibu Sarah dengan nada menuntut, seolah ia adalah korban utama di sini.
"Varo juga bingung, Bu. Semuanya sudah telanjur viral. Aini benar-benar menghancurkan semuanya dalam satu malam," jawab Varo pendek, suaranya parau.
Ibu Sarah menunjuk-nunjuk wajah Ibu Dewi dengan telunjuk yang gemetar karena marah. "Ini semua salah didikan kamu, Dewi! Si Aini itu, dia sengaja mempermalukan keluarga kami! Harusnya kamu didik dia supaya punya hati, bukan jadi wanita pendendam yang menghancurkan karier suaminya sendiri! Sekarang nama keluarga Wijaya jadi bahan tertawaan se-Indonesia!"
Ibu Dewi yang juga sedang stres tidak tinggal diam.
"Jangan cuma menyalahkan anak saya, Sarah! Saya sudah membuang Aini, saya sudah tidak mengakuinya! Tapi lihat anakmu juga! Kalau Varo tidak ceroboh dan main belakang sampai ketahuan, tidak akan begini ceritanya! Saya ini yang paling rugi, rumah saya jadi tempat drama, tetangga satu kampung sudah mencibir saya sebagai ibu yang tidak becus!"
Tok! Tok! Tok!
Gedoran di pintu depan terdengar sangat kasar, seolah-olah massa di luar sana ingin merobohkan pintu kayu itu.
"Bu Dewi! Keluar! Bawa pelakor dan laki-laki mandul itu keluar dari desa kami! Jangan bawa sial ke sini!" teriak seorang warga dari luar.
Ibu Dewi membuka pintu dengan wajah judesnya, mencoba tetap terlihat berwibawa meski kakinya sebenarnya gemetar.
"Ada apa ini?! Kok pada ribut di rumah orang tanpa sopan santun?!"
Pak RT berdiri di depan kerumunan warga yang tampak sangat emosional.
"Begini Bu Dewi, saya mewakili seluruh warga desa. Kami sudah mengadakan rapat mendadak setelah melihat video yang viral itu. Kampung kami adalah kampung yang menjunjung norma agama. Kami tidak mau desa ini kena sial atau azab gara-gara ada pezina dan pelakor yang tinggal di sini. Nama desa kita jadi jelek, orang-orang luar menyebut desa kita gudang perselingkuhan!"
"Iya! Usir saja mereka! Malu-maluin! Kita nggak mau anak-anak kita meniru kelakuan Cilla yang rebut suami kakaknya!" teriak Ibu Ratna dari barisan belakang, disambut sorakan setuju dari warga lain.
Varo muncul di belakang Ibu Dewi, mencoba membela diri.
"Pak RT, tolong mengerti. Kami baru saja menikah secara sah di mata agama. Kenapa kami diperlakukan seperti kriminal?"
"Nah, ini dia aktor utamanya! Laki-laki mandul yang tega khianati istri sah demi adiknya!" seru Ibu Ika sambil mengarahkan ponselnya, merekam wajah Varo secara close-up.
"Dengar ya, Pak RT sudah memutuskan. Kalian harus pergi hari ini juga! Sebelum warga hilang kesabaran dan melakukan hal-hal yang lebih ekstrem. Kami tidak sudi melihat muka kalian berkeliaran di sini!"
Pak RT menghela napas panjang, menatap Varo dengan tatapan kasihan sekaligus tegas.
"Nak Varo, situasinya sudah sangat gawat. Massa sudah tidak bisa dibendung. Demi keamanan kalian sendiri dan ketenangan warga, lebih baik kalian kembali ke Jakarta sekarang juga. Jangan menunggu sampai matahari terbenam."
Varo tertunduk dalam, wajahnya merah padam karena malu yang luar biasa. Rasa frustrasinya memuncak hingga ke ubun-ubun. Ia dipermalukan secara medis, dihancurkan secara sosial, dan kini diusir dari tanah kelahirannya sendiri seperti sampah.
"Baik, Pak RT. Kami akan segera berkemas."
"Cih! Saya juga tidak sudi lama-lama di kampung udik yang orang-orangnya suka ikut campur begini! Mending hidup di Jakarta yang modern daripada di sini ketemu orang-orang nggak punya tata krama!" sahut Ibu Sarah sombong, mencoba menutupi rasa malu yang selangit dengan keangkuhan yang terlihat sangat dipaksakan.
Di Dalam Mobil Menuju Jakarta...
Perjalanan selama beberapa jam itu terasa seperti perjalanan menuju neraka. Suasana di dalam mobil sangat mencekam. Cilla yang baru sadar sepenuhnya terus menangis tersedu-sedu di kursi belakang, memegangi perutnya yang mulai terasa kram karena stres. Ibu Sarah duduk di samping Varo dengan wajah cemberut, terus-menerus mengomel tentang "reputasi berliannya" yang kini hancur menjadi debu.
"Mas... nanti aku tinggal satu atap ya sama Mbak Aini di Jakarta? Apa nggak ada tempat lain?" tanya Cilla dengan suara parau dan penuh ketakutan.
"Terus kamu mau tinggal di mana, Cilla? Di emperan toko? Di hotel yang semalam lima juta? Memangnya kamu punya uang?!" sahut Ibu Sarah ketus tanpa menoleh.
"Rumah di Jakarta itu milik Varo, hasil keringat Varo selama ini. Jadi terserah Varo mau bawa siapa saja ke sana! Aini itu cuma numpang, harusnya dia yang sadar diri!"
Cilla hanya diam, menahan isak tangisnya. Ia merasa menjadi beban, namun di sisi lain ia mulai memutar otak bagaimana cara mengusir Aini dari rumah itu agar ia bisa menjadi ratu tunggal.
Varo mencengkeram kemudi mobilnya begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih dan gemetar. Pikirannya tidak fokus pada jalan raya yang padat. Ia teringat kembali setiap kata dalam lembaran hasil laboratorium yang dilempar Aini. Kalimat "Azoospermia" atau kemandulan total itu terus menghantui.
Apa benar aku mandul? Tapi selama ini aku merasa sehat. Kalau Aini benar, berarti janin yang dikandung Cilla ini anak siapa? Apa Cilla tidur dengan teman kampusnya? Atau mantan pacarnya? Varo melirik Cilla dari spion tengah. Rasa frustrasi dan dilema mulai memakan kewarasannya. Ia ingin percaya bahwa itu anaknya, tapi ia tahu Aini adalah tipe wanita yang paling teliti; Aini tidak mungkin berani berbohong soal dokumen medis di depan banyak orang.
"Mas, kenapa kamu diam saja dari tadi? Kamu masih memikirkan wanita mandul itu?" tanya Cilla curiga, suaranya meninggi.
"Nggak, Mas cuma pusing! Bisa tidak kamu diam dulu?!" bentak Varo tiba-tiba, yang membuat Cilla tersentak dan kembali menangis. Hati Varo sedang berperang antara sisa-sisa cinta untuk Aini dan keraguan yang menghancurkan untuk Cilla.
Di Jakarta, Kediaman Aini...
Aini baru saja selesai menata bahan makanan di kulkas dengan sangat rapi. Ia merasa jauh lebih ringan setelah meledakkan bom kebenaran di desa. Ia tahu, mulai hari ini, hidupnya tidak akan sama lagi.
"Oke, daging sapi ini untuk makan siang nanti. Aku harus menjaga kesehatan untuk menghadapi perang di pengadilan nanti," gumam Aini. Ia sudah bertekad tidak akan membiarkan satu butir nasi pun dari hasil uangnya dimakan oleh para pengkhianat itu.
Ting! Sebuah notifikasi dari Siska masuk.
Siska: "Ai, video lo tembus 12 juta views dalam 12 jam! Tagar #SuamiMandulSelingkuh jadi trending nomor satu di Twitter. Se-Indonesia lagi nyari siapa sosok Varo itu. Lo udah siap mental buat ke pengadilan besok pagi? Gue udah dapet jadwalnya."
Aini tersenyum dingin.
"Siap 100%, Sis. Besok jemput gue di rumah makan jam 8 pagi tajam. Gue harus berangkat sebelum mereka bangun atau sebelum mereka mulai berulah di rumah ini."
Baru saja Aini ingin merebahkan tubuhnya untuk tidur siang, gedoran pintu yang sangat kasar mengejutkannya. Suaranya seperti ingin merobohkan pintu depan.
Tok! Tok! Tok! BRAKK!
"AINI! BUKA PINTUNYA! JANGAN PURA-PURA TULI!" suara melengking Ibu Sarah menggelegar dari balik pintu.
Aini menarik napas panjang, memasang wajah mengantuk yang sengaja dibuat-buat, lalu membuka pintu.
"Eh, Ibu... sudah pulang? Katanya mau pesta besar di desa sampai minggu depan? Kok sudah balik lagi ke Jakarta? Kangen sama saya ya?" sindir Aini sambil menguap lebar tepat di depan wajah Ibu Sarah yang merah padam.
"Terserah kami mau pulang kapan! Ini rumah anak saya!" Ibu Sarah mendorong bahu Aini dengan kasar hingga Aini terhuyung ke samping. Ibu Sarah masuk dengan langkah angkuh, diikuti Varo yang membopong koper-koper besar dengan wajah yang sangat kuyu.
"Sayang..." panggil Varo pelan saat berpapasan dengan Aini di ruang tamu. Tatapannya sayu, ada kerinduan yang aneh bercampur rasa bersalah yang amat sangat.
"Iuuuh... tolong ya, Mas. Jangan panggil saya dengan kata itu lagi. Rasanya telinga saya kotor dan saya ingin muntah seketika," ucap Aini dengan ekspresi jijik yang sangat nyata, tanpa keraguan sedikit pun.
"Kok kamu jadi berubah kasar begini, Sayang? Aku ini masih suamimu yang sah secara hukum," Varo terkejut melihat perubahan Aini. Aini yang dulu selalu menyambutnya dengan senyum dan air hangat, kini menatapnya seperti menatap seonggok sampah medis.
"Stop, Mas! Simpan kata 'sayang' itu untuk istri barumu yang mungkin sedang mengandung anak laki-laki lain di luar sana," ucap Aini tajam, menghujam tepat ke jantung keraguan terbesar Varo.
Varo mematung di tempatnya. Ucapan Aini barusan seperti menyiram bensin ke api kecurigaan yang sedang membara di hatinya. Ia ingin membela Cilla, tapi lidahnya kelu.
"Mbak, tolong bawakan koper aku ke kamar dong. Aku pusing banget, tadi aku pingsan di desa gara-gara Mbak permaluin kami," celetuk Cilla yang muncul dengan wajah pucat, mencoba berakting sebagai korban untuk memancing simpati.
Aini tertawa sinis, suaranya terdengar meremehkan.
"Kamu... masih punya nyali buat menyuruh saya di rumah saya sendiri? Dengar ya Cilla, kamu punya tangan dan kaki kan? Bawa sendiri kopermu! Atau suruh suami mandulmu itu untuk jadi kuli panggulmu! Jangan harap aku akan menyentuh barang-barangmu!"
"Mbak, kok kamu jadi jahat sekali? Aku ini adikmu!" tanya Cilla dengan mata berkaca-kaca.
"Adik yang tidur dengan kakak iparnya sendiri tidak pantas disebut adik! Mulai sekarang, jangan pernah berlagak seperti nyonya di sini! Aku tidak akan lagi menjadi pembantu gratisan kalian!"
PLAK! Bukan tamparan halus, tapi Aini memberikan bogeman mentah tepat ke arah rahang Varo saat laki-laki itu mencoba meraih paksa lengan Aini.
"SUDAH SAYA KATAKAN, JANGAN SENTUH SAYA DENGAN TANGAN KOTORMU!" teriak Aini kencang. Varo tersungkur ke lantai, memegangi sudut bibirnya yang langsung robek dan mengeluarkan darah segar.
Malam harinya, Aini sengaja tidak memasak menu apa pun untuk makan malam keluarga. Ia hanya menyeduh satu cup mie instan untuk dirinya sendiri di dapur. Aroma gurih mie itu memenuhi ruangan saat Ibu Sarah keluar dari kamar dengan perut keroncongan.
"Kamu tidak masak, Aini? Kita semua belum makan dari siang!" tegur Ibu Sarah dengan nada tinggi.
"Tidak. Cari saja makanan sendiri," jawab Aini singkat sambil asyik menyeruput kuah mienya.
"Tapi kamu makan enak begitu! Masakin buat Ibu juga! Ibu ini mertuamu!"
"Mienya cuma sisa satu dan ini punya saya. Ibu kan punya menantu kesayangan yang jauh lebih muda dan 'subur', suruh dia masak. Mulai sekarang, saya lepas tangan soal urusan perut dan cucian kalian. Silakan urus hidup kalian masing-masing!" Aini bangkit, mencuci mangkuknya sendiri, dan meninggalkan mereka semua yang berdiri mematung di dapur dengan wajah lapar dan emosi yang meluap.
Varo menatap Cilla dengan tatapan menuntut yang dingin.
"Cilla, kamu masak sana. Ibu dan Bapak sudah lapar."
"Apa? Mas... aku kan nggak bisa masak yang aneh-aneh! Selama ini kan Mbak Aini yang urus semuanya! Lagipula aku lagi hamil, Mas, aku mual kalau kena asap dapur!" tolak Cilla manja, mencoba menggunakan alasan kehamilannya.
"Kamu sudah jadi istri, Cilla! Kamu harus belajar melayani suami! Jangan cuma bisa selingkuh dan bikin malu keluarga saya!" bentak Ibu Sarah yang mulai kehilangan kesabaran melihat kelakuan menantu barunya yang tidak bisa apa-apa.
"Sudah! Diam semuanya! Mas pesan makanan online saja lewat aplikasi," ucap Varo lelah. Ia menyadari bahwa hidup serumah dengan Aini yang baru saja berubah menjadi "macan" adalah neraka dunia yang sesungguhnya. Ia frustrasi karena kariernya di ujung tanduk, ia dilema karena janin Cilla yang ia ragukan, dan ia hancur karena Aini benar-benar telah mematikan rasa cintanya.
BERSAMBUNG...