NovelToon NovelToon
Love, On Pause

Love, On Pause

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Diam-Diam Cinta / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:385
Nilai: 5
Nama Author: Nisa Amara

Jovita Diana Juno dikhianati oleh kekasihnya sendiri, Adam Pranadipa tepat tiga bulan sebelum pernikahan mereka. Sementara itu, Devan Manendra lekas dijodohkan dengan seorang anak dari kerabat ibunya, namun ia menolaknya. Ketika sedang melakukan pertemuan keluarga, Devan melihat Jovita lalu menariknya. Ia mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan, dan sudah membicarakan untuk ke jenjang yang lebih serius. Jovita yang ingin membalas semua penghinaan juga ketidakadilan, akhirnya setuju untuk berhubungan dengan Devan. Tanpa perasaan, dan tanpa rencana Jovita mengajak Devan untuk menikah.

update setiap hari (kalo gak ada halangan)

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nisa Amara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

26

Jovita mengerjapkan mata. Langit di luar masih gelap, tapi suara kendaraan sudah mulai terdengar samar. Saat penglihatannya fokus, ia melihat Devan terlelap di sofa, tanpa selimut.

Tiba-tiba alarm ponselnya berbunyi. Jovita buru-buru meraih ponsel dari samping bantal. Begitu melihat jam, matanya langsung membesar dan melonjak bangun.

“Aish, aku hampir telat,” desisnya panik.

Ia bergerak cepat. berganti baju seadanya, menguncir rambut dengan tangan gemetar, lalu meraih tas. Namun sebelum keluar, langkahnya terhenti. Ia menoleh ke arah Devan lagi.

Jovita menghela napas, mengambil selimut dari kasur, lalu menutupkan selimut itu ke tubuh Devan, asal, tapi cukup membuatnya hangat. Setelah itu ia keluar dari kamar hotel tanpa suara. Tak lama kemudian, sebuah taksi membawanya pergi.

Dua jam kemudian, sinar matahari yang masuk lewat tirai membuat Devan mengerjapkan mata. Ia merasakan hangat di tubuhnya dan menatap selimut yang entah kapan ada di sana. Kamar pengantin mereka sepi.

“Jo?” panggilnya.

Devan memeriksa kamar, lalu ruang mandi, lalu seluruh area, kosong. Bahkan tas Jovita pun tidak ada. Ia mendengus, setengah tak percaya, lalu mencoba meneleponnya.

Tidak diangkat.

Ia baru menghela napas frustasi ketika sebuah pesan masuk.

-pulang duluan aja. Aku ke Jogja-

Devan mengerutkan kening. “Jogja?” ulangnya pelan. Ia mencoba mengingat, kapan terakhir kali kota itu disebut? Lalu tiba-tiba ia ingat tawaran Asri soal bulan madu.

Dan ia terkekeh pahit.

“Istriku pergi bulan madu tanpa suaminya?”

Jogjakarta. Asri pernah menawari mereka untuk berbulan madu di sana, tapi Devan menolaknya karena hanya mengambil cuti tiga hari. Pekerjaannya menunggu menumpuk. Ia pikir rencana itu batal begitu saja.

Ternyata tidak.

Jovita malah menyetujuinya… dan berangkat sendirian.

***

Jovita sudah tiba di kota itu, juga di resort tempat mereka seharusnya berbulan madu. Resort tersebut langsung menghadap ke laut, dari balkon saja suara ombak sudah terdengar jelas. Menjelang sore, langit berubah keorenan. Jovita berjalan santai di pesisir pantai.

“Jovita!”

Jovita berhenti sejenak. Ia menajamkan telinganya, suara itu familiar.

“Jo!”

Benar. Suara Devan. Jovita menoleh cepat ke belakang, lalu mengembuskan napas panjang.

“Kenapa dia nyusul? Udah dibilang pulang aja…” gumamnya kesal.

Devan akhirnya sampai di depannya dengan napas terengah, wajahnya masih memerah karena terburu-buru. Dari ekspresinya saja, jelas ia baru datang dan langsung mencari Jovita ke mana pun.

“Kenapa kamu gak bilang mau ke sini?” tanya Devan, kesal.

“Aku udah bilang. Kamu di sini karena aku kasih tau aku ke sini.” Jovita mengangkat alis, seolah jawaban itu paling logis di dunia.

“Maksudku… gimana bisa kamu pergi sendirian?” Nada Devan terdengar seperti memprotes, tapi tidak cukup tegas karena ia juga masih terengah.

Jovita mendecih, lalu berbalik, melangkah lagi menyusuri pantai. Devan berkedip, beberapa detik bingung, lalu akhirnya mengikuti di belakangnya.

“Kamu yang bilang gak mau ke sini. Tapi aku gak pernah bilang aku gak mau,” ucap Jovita santai, tanpa rasa bersalah sama sekali.

Devan tidak menemukan argumen untuk membantah. Ia hanya menghela napas panjang, menyerah untuk saat itu.

Akhirnya mereka berjalan berdampingan menikmati angin sore. Ombak memecah pelan di tepi pantai, burung camar sesekali melintas di udara.

Mereka lalu duduk di pasir lembut, menatap detik-detik matahari turun ke garis laut. Rambut Jovita tertiup angin, beberapa helai mengenai wajahnya. Devan mencuri pandang sesekali.

Dan baginya, matahari terbenam, laut lepas, langit yang membara, semuanya tidak seindah sosok wanita yang duduk beberapa centimeter dari lengannya.

“Devan,” panggil Jovita.

“Hm?” Devan menoleh sebentar, lalu kembali memandang matahari yang hampir tenggelam.

“Menurutmu… sejauh apa pernikahan ini bisa bertahan?” Suaranya tenang, tapi ada getaran kecil di ujungnya.

Devan langsung menoleh penuh. “Kenapa nanya begitu?” Ada nada getir, seperti seseorang yang takut kehilangan.

“Aku cuma penasaran.” Jovita menatap lurus ke cakrawala. “Kita menikah tiba-tiba. Tanpa perasaan. Apa… bisa bertahan lama?”

Devan menarik napas pelan. Pertanyaan itu seperti menyentuh tempat yang rawan di dadanya.

“Kamu pikir begitu?” tanyanya lirih.

Jovita menoleh perlahan. Tatapannya mencari, tapi tidak menemukan jawaban apa pun di mata Devan.

“Perasaan bisa berubah seiring waktu,” ucap Devan sambil menatap jauh ke depan, seolah bicara pada ombak. “Jadi kenapa harus khawatir?”

Ia berbalik pada Jovita. Ada sesuatu di sana, hangat, tapi tertahan. “Kalau kamu berpikir kita menikah tanpa perasaan, jangan khawatir.”

Jovita terpaku. Ada sesuatu dalam suara Devan. Ia menunggu lanjutan, tapi yang keluar hanyalah keheningan.

"Karena aku mencintaimu," kata Devan dalam hati.

Ekspresi Devan berubah samar, seakan berbicara banyak hal yang tidak ia ucapkan. Dan Jovita tidak bisa menerjemahkan satu pun.

Keheningan menyelimuti mereka. Ombak datang dan pergi. Burung camar terbang rendah.

Lalu...

Perut Jovita bersuara cukup keras. Keduanya otomatis menunduk, lalu menatap satu sama lain.

Devan menahan tawa, tapi sudut bibirnya naik. “Kamu belum makan?”

Jovita gelagapan. Memang benar, sejak pagi ia hanya makan roti seadanya di stasiun. Di kereta pun ia cuma makan mi instan lalu tertidur.

Devan berdiri, menepuk celana yang kena pasir. “Ayo cari makan.” Lalu ia mengulurkan tangan.

Jovita diam sejenak. Tapi akhirnya ia meraih tangan itu. Hangat. Entah kenapa, itu membuat dadanya sedikit berdebar.

Mereka berjalan berdampingan. Kadang Jovita melirik, diam-diam meneliti ekspresi Devan.

“Apa maksudnya tadi…?” gumamnya dalam hati. Apa dia… suka sama aku?

“Mau makan di sana?” suara Devan memotong lamunannya.

Jovita tersentak, lalu menoleh cepat mengikuti arah telunjuk Devan. Restoran seafood di pinggir pantai, lampunya mulai menyala.

“Hm,” jawabnya singkat.

Devan tersenyum puas dan mengangguk. Mereka kembali melangkah berdampingan, langkah mereka menyisakan jejak tipis di pasir.

Dan Jovita… masih terus memandang Devan dari sudut matanya. Diam-diam. Penuh tanya.

Jovita makan dengan lahap. Baru dua hari terakhir ia makan seadanya, jadi begitu makanan tersaji, dia seperti menemukan kehidupan baru. Devan memperhatikannya sambil pelan-pelan mengupas kulit udang.

“Pelan-pelan, aku gak bakal ngambil punyamu,” katanya sambil terkekeh.

“Aku merasa hidup lagi. Serius,” kata Jovita dramatis, matanya sampai terpejam.

Devan tersenyum geli. Ia meletakkan udang yang sudah dikupas ke piring Jovita, lalu kembali berbicara,

“Tentang Arum dan lainnya…”

Jovita langsung menatap, wajahnya dipenuhi harap cemas. Devan melanjutkan dengan nada tenang,

“Persidangannya dijadwalkan minggu depan.”

Jovita mengembuskan napas panjang, lega. “Aku perlu datang?”

Devan mengangguk sambil tetap mengupas udang. “Kamu udah aku daftarin sebagai saksi.”

Jovita mengangguk, dan kali ini senyumnya lebih lapang.

Setelah mereka selesai makan, mereka menunggu makanan penutup. Tak lama kemudian, pelayan datang membawa dessert mereka. Mata Jovita langsung berbinar. Ada puding lembut dengan krim putih menggunung di atasnya. Begitu pelayan pergi, ia langsung mengambil sendok dan menyantapnya tanpa pikir panjang.

Devan tersenyum lembut melihat reaksi itu, lalu mengambil bagian miliknya. Tatapannya tak lepas dari wajah Jovita.

“Gimana mereka buatnya? Teksturnya lembut banget,” gumam Jovita sambil nyaris meneliti puding itu seperti ilmuwan.

Devan tidak menjawab. Ia hanya menatapnya, lama, hangat, tanpa Jovita sadari.

Sampai akhirnya ia melihat ada sedikit krim menempel di sudut bibir Jovita. Dengan gerakan santai, tangannya terulur. Ibu jarinya menyentuh sudut bibir itu, mengusap krimnya. Jovita terkejut, tubuhnya menegang. Matanya langsung membesar, menatap Devan.

Lalu, tanpa mengalihkan pandangan, Devan menghisap ibu jarinya sendiri untuk membersihkan krim itu.

Jovita membuka mulutnya, terpana, bingung, terlalu kaget untuk bicara. Detak jantungnya nyaris terdengar sendiri.

“Kamu anak kecil?” komentar Devan santai sambil kembali makan. “Kenapa makan bisa berantakan banget?”

Jovita masih diam mematung, mencoba memproses kejadian barusan. Setelah beberapa detik, ia akhirnya kembali makan, tapi gerakannya kaku dan canggung.

Selesai menikmati makanan penutup, mereka sebenarnya berniat berjalan-jalan lagi. Tapi tiba-tiba hujan turun begitu derasnya. Jovita mematung, menatap tirai air itu dengan wajah tidak percaya. Devan baru saja kembali setelah membayar makanan mereka.

“Kenapa tiba-tiba banget?” gumamnya. Padahal sore tadi, langit cerah tanpa tanda-tanda buruk.

Jovita menghela napas, wajahnya melas. Sayang sekali, mereka hanya punya tiga hari dua malam di sini. Jalan-jalan malam adalah bagian dari rencana yang ia susun dengan semangat. Tapi sekarang… semua tampak gagal.

“Kita tunggu sebentar. Hujannya pasti berhenti,” ucap Devan dengan nada menenangkan.

Namun satu jam berlalu. Bukannya mereda, hujan justru makin deras. Angin berembus dingin, nyamuk mulai bermunculan. Jovita mulai bosan, matanya juga sudah berat.

Devan terdiam lama, berpikir. Lalu ia menoleh dengan senyum nakal yang langsung membuat Jovita curiga.

“Mau ngelakuin hal seru?” tanyanya.

Jovita menyipitkan mata, belum sempat menjawab, Devan langsung menggenggam tangannya dan menariknya berlari. Jovita terpekik pelan, kaget, tapi tak bisa melawan. Keduanya berlarian menembus hujan.

Mereka tiba di resort dalam keadaan basah kuyup. Devan mengibaskan rambutnya yang meneteskan air, begitu pula dengan Jovita.

“Kenapa menarikku?!” protes Jovita, menahan emosi.

“Hujannya makin deras. Kamu mau nunggu sampai kita tidur di resto?” balas Devan santai, membuat Jovita makin kesal.

Mereka masuk kamar. Devan segera menutup jendela yang ternyata masih terbuka. Air hujan sudah masuk, membuat lantai basah.

Ia menoleh pada Jovita yang mulai menggigil. “Kamu mandi duluan sana. Aku beresin dulu lantainya.”

Jovita tidak membantah. Dengan tubuh masih menggigil dan rambut meneteskan air, ia masuk ke kamar mandi, sementara Devan sibuk mengeringkan lantai yang basah.

Begitu Jovita keluar, ia sudah berganti baju baru. Rambutnya masih basah.

“Gak ada hairdryer di sini,” katanya sambil mengeringkan rambutnya.

“Perlu aku minta?” tanya Devan.

Jovita tertegun. Ia tidak bermaksud meminta apa pun, ia hanya berniat memberi tahu kalau mereka harus mengeringkan rambut pakai handuk.

“Gak perlu,” jawabnya cepat. Ia menatap baju Devan yang sudah lembab. “Mandi aja sana.”

Devan tersenyum hangat sebelum melangkah menuju kamar mandi. Saat melewati Jovita, tangannya terulur, mengusap kepala Jovita sekilas. Gerakan kecil itu membuat Jovita menoleh spontan.

“Ada apa dengannya?” gumamnya bingung.

Ketika Devan keluar, rambutnya basah dan ia terlihat lebih segar. Sementara itu, Jovita masih sibuk mengeringkan rambutnya yang panjang.

“Ah, tanganku pegal,” keluhnya lirih.

Tanpa berkata apapun, Devan mendekat dan mengambil handuk dari tangan Jovita. Gerakannya halus, namun tegas.

“Apa yang kamu lakukan?” tanya Jovita, bingung tapi tidak benar-benar menolak.

“Katanya pegal. Aku bantu keringkan,” jawab Devan santai.

Ia mulai mengeringkan rambut Jovita dari belakang, gerakannya perlahan dan berhati-hati. Jovita berdiri diam, canggung, tapi membiarkan Devan melanjutkan. Kamar mereka hening, hanya ada suara hujan yang memecah kesunyian.

Devan kemudian bergerak ke depan, mengeringkan rambut Jovita dari sisi lainnya. Handuk sesekali menutupi sebagian wajah Jovita, membuatnya harus menunduk sedikit. Devan menatapnya lama. Tatapannya kemudian turun ke bibirnya dan terhenti di sana.

Devan mendekat pelan, seolah takut membuat suara. Wajahnya semakin dekat, detik demi detik. Jarak mereka kini tinggal beberapa senti saja. Jovita dapat merasakan hembusan napas hangat Devan di wajahnya.

Waktu berjalan lambat. Suara hujan di luar perlahan menghilang.

To be continued

1
Nindi
Hmm jadi penasaran, itu foto siapa Devan
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Blueberry Solenne
🔥🔥🔥
Blueberry Solenne
next Thor!
Blueberry Solenne
Tulisannya rapi Thor, lanjut Thor! o iya aku juga baru join di NT udah up sampe 15 Bab mampir yuk kak, aku juga udah follow kamu ya😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!