"aku...aku hamil Rayan !!" teriak frustasi seorang gadis
" bagaimana bisa laa" kaget pemuda di depannya.
Laluna putri 19 tahun gadis desa yatim piatu yang tinggal bersama neneknya sejak kecil.
Rayyan Aditya 22 tahun mahasiswa semester akhir anak orang berada asal kota.
Alvino Mahendra 30 tahun CEO perusahaan besar AM grup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rizkysonia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 26
.
.
.
Pagi itu udara terasa lebih segar dari biasanya. Langit cerah, dan embun masih menempel di dedaunan halaman rumah. Luna berdiri di depan cermin, membenarkan penampilan nya dengan tangan sedikit gemetar. Hari ini bukan sekadar kontrol kehamilan biasa, tapi untuk pertama kalinya, ia akan diantar oleh Bu Meri.
Biasanya, hanya bi Ida yang sudah seperti ibunya sendiri, yang menemaninya. Tapi kali ini, Bu Meri sendiri yang menawarkan,
“Udah, biar mama aja yang anter. Sekalian mama pengin liat cucu mama di dalam perut kamu itu.”
Nada suaranya masih terdengar jutek, seperti biasanya. Luna sempat terdiam waktu mendengarnya, tapi hanya tersenyum kecil sambil mengangguk pelan.
Dering ponsel mengalihkan perhatian Laluna, ternyata Novi yang menghubungi nya.
Luna ~ " hallo kak "
Novi~ " Luna lagi ngapain"
Luna~ " ini lagi siap-siap mau periksa Beby"
Novi ~ wah kebetulan tadinya aku mau ajak jalan, berhubung kamu mau keluar boleh aku ikut ya ?"
Luna ~ "boleh kak kebetulan aku sama mama"
Novi~ "tunggu aku kesana sekarang ya.. "
"Untung lah ada kak Novi aku jadi gak terlalu canggung sama mama" gumam luna
---
Di dalam mobil, suasana agak canggung di awal. Hanya terdengar suara radio pelan dan sesekali Novi yang mencoba mencairkan suasana.
“Udah berapa bulan, Lun?” tanya Novi sambil menoleh.
“Masuk tujuh bulan, Kak,” jawab Luna pelan.
“Wah, cepet banget ya. Perut kamu juga makin kelihatan,” timpalnya ceria.
Bu Meri ikut menatap kedua menantunya, dari kursi belakang.
“Jaga makan ya, jangan kebanyakan pedas. mama dulu waktu hamil juga gitu, langsung naik,” ujarnya dengan senyum samar.
Luna menatap Bu Meri sekilas, hatinya hangat tapi juga bingung, belum terbiasa diperlakukan sebaik itu.
“Iya, ma… Luna usahain,” jawabnya lembut.
" jangan cuma di usahain tapi di paksain" ucap nya tegas
" iya mah.." jawab Luna pasrah
" kamu tuh beruntung tau gak sih lun, aku tuh udah mau lima tahun belum juga dikasih, sudah semua cara kami usahakan tapi belum juga dikaruniai anak" Novi bicara dengan nada pelan
" yang sabar ya kak, nanti juga kalau udah saat nya pasti akan di kasih" ucap Luna menguatkan
" maafkan mama ya nov, mama selama ini selalu nuntut kamu, tanpa mau tau perasaan kamu" kata Bu Meri merasa bersalah
" sudahlah mah, gak usah minta maaf aku tau kok kalau mama sayang sama aku" ucap Novi sambil fokus nyetir.
ia senang akhirnya bisa kembali akrab dengan mertua nya itu, karena akhir-akhir ini hubungan mereka aga renggang.
---
Sesampainya di rumah sakit, Bu Meri bahkan turun duluan, menuntun Luna pelan menuju ruang periksa.
“Hati-hati ya, lantainya licin,” katanya sambil menggandeng tangan Luna.
Sentuhan itu sederhana, tapi membuat dada Luna sesak oleh rasa haru yang sulit dijelaskan.
" kamu memang beruntung lun" dari belakang Novi menyeka sudut mata nya.
Saat dokter memeriksa, Bu Meri tampak paling antusias. Ia menatap layar USG dengan mata berbinar.
“Subhanallah… itu tangan ya dok? Gerak-gerak!” katanya dengan tawa kecil.
Novi menutup mulut menahan tangis, ia selalu berharap bisa melihat buah hati yang tak kunjung datang.
Ia menggenggam tangan Luna dan berbisik "doakan aku ya lun agar bisa segera seperti kamu"
sementara Luna hanya bisa menatap ke layar, meneteskan air mata pelan.
“Iya, Bu… itu tangan kecilnya,” ucap dokter sambil tersenyum.
Untuk pertama kalinya, Luna merasakan kebahagiaan sederhana — bukan hanya karena melihat janinnya, tapi karena ada keluarga yang turut menyambut kehadiran sang buah hati dengan tulus.
---
Dalam perjalanan pulang, suasana terasa jauh lebih ringan. Bu Meri bahkan sempat berpesan,
“Mulai sekarang, kalau mau kontrol, bilang aja ke mama. Jangan sungkan.”
" kalau aku ada waktu jangan lupa hubungi juga ya, aku mau ikut lagi" Novi ikut menimpali
Luna menatap wajah wanita itu lewat kaca spion, tersenyum penuh syukur.
“Terima kasih, ma.. Terimakasih kak… Luna senang banget hari ini,” katanya lirih.
Bu Meri hanya mengangguk, tapi senyum di wajahnya menjelaskan lebih dari kata-kata.
Dan dalam hati Luna, ada doa kecil yang terucap pelan.
“Mungkin inilah awal dari hati yang mulai benar-benar menerima.”
Dalam perjalanan pulang, suasana di dalam mobil terasa jauh lebih santai daripada waktu berangkat. Bu Meri duduk di belakang sambil sesekali menatap kedua menantunya silih berganti, sementara Novi dan Luna duduk di depan, masih asik membicarakan hasil kontrol tadi.
“Lucu banget ya, pas dokter bilang dia lagi ngulet, kayak beneran manja,” kata Novi sambil tertawa kecil.
Luna ikut tersenyum, “Iya, Kak… tadi juga deg-degan waktu lihat kepalanya jelas gitu di layar. Rasanya nggak percaya udah sebesar itu.”
Bu Meri menimpali, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.
“Ya iyalah, udah masuk tujuh bulan. Pantas aja perutnya makin bulat. Cucu oma sehat, Alhamdulillah.”
Nada bangga di suara Bu Meri membuat Luna menunduk, pipinya memanas. Ia tak pernah menyangka, bisa mendengar kalimat sehangat itu dari wanita yang dulu begitu dingin padanya.
---
Mobil berhenti di depan toko kue kecil. Bu Meri menoleh ke jendela.
“Eh, sekalian mampir beli kue ya. Cucu Ibu harus dirayain nih, tadi kata dokter tumbuhnya bagus,” ujarnya sambil tersenyum.
“Setuju banget, ma!” sahut Novi cepat, “Aku juga mau es cincau, panas banget dari tadi.”
Luna terkekeh pelan, ikut turun dari mobil. Di dalam toko, Bu Meri sibuk memilih kue sambil sesekali menanyakan selera Luna.
“Kamu suka bolu pandan nggak, Lun?”
“Suka, Bu.”
“Ya udah, beli dua kotak ya, biar nanti ada buat nyemil sore.”
" kamu juga nov, ayo mau yang mana, kali ini mama yang bayarin"
" wahh makasih banyak ma"
Luna hampir tak percaya mendengar nada perhatian itu. Dalam hatinya muncul rasa hangat yang belum pernah ia rasakan selama ini,seperti mulai benar-benar menjadi bagian dari keluarga.
---
Sesampainya di rumah, mereka bertiga tertawa kecil karena Novi hampir menjatuhkan kotak kue.
“Untung mama sigap,” kata Novi sambil nyengir.
“Makanya, pegang yang bener,” sahut Bu Meri, tapi kali ini dengan nada bercanda.
Luna melihat mereka berdua, lalu tersenyum.
“Seru juga ya kontrolnya kali ini, beda dari biasanya,” ucapnya jujur.
“Ya iyalah, kalau sama mama dan Kak Novi harus seru!” balas Novi, menggandeng bahu Luna.
“Besok-besok biar mama aja yang anter lagi,” timpal Bu Meri,
Bi Ida melihat interaksi mereka tersenyum, ia bersyukur akhirnya Luna bisa di terima oleh keluarga majikannya.
Luna tertawa kecil, matanya sedikit berkaca.
“Terima kasih ya, ma… Luna senang banget hari ini.”
Bu Meri menatapnya sekilas, tersenyum hangat.
“mama juga, Nak. Kamu jaga diri baik-baik ya, biar nanti waktu Rayyan pulang, cucunya makin sehat.”
Ucapan itu menutup hari mereka dengan suasana penuh kehangatan. Untuk pertama kalinya, rumah itu terasa benar-benar seperti rumah, bukan tempat singgah, tapi tempat hati mulai diterima.
.
.
.
.
Terimakasih untuk semua yang selalu nungguin cerita tentang Laluna...
Jangan lupa tetap dukung author dengan cara like dan komen dan vote nya ya...
Love
You
😍