Reni adalah pemuda pekerja keras yang merantau ke kota, dia mengalami insiden pencopetan, saat dia mengejar pencopetan, dia tertabrak truk. Saat dia membuka mata ia melihat dua orang asing dan dia menyadari, dia Terlahir Kembali Menjadi Seorang Perempuan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lidelse, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal Kehancuran
Lyra berdiri di tengah lapangan yang berdebu. Di depannya, Aen Pendragon terlihat kelelahan dan frustrasi. Tubuhnya yang ditempa militer masih sulit untuk menguasai sihir mobilitas.
"Lagi, Tuan Pendragon,"
perintah Lyra, nadanya tegas tetapi sabar.
"Ingat, Temporal Leap mikro adalah memanipulasi ruang-waktu di sekitar dirimu, bukan kekuatan otot. Jangan mendorong—lipatlah jarak!"
Aen mencoba lagi. Dia merapal Mana, rambut putihnya berkibar. Dia berhasil menciptakan distorsi kecil di depannya, tetapi alih-alih melipat jarak, dia hanya bergerak cepat sejauh satu meter dengan suara keras dan mengejutkan. Jauh dari keanggunan Silent Step Lyra.
"Sial!"
desis Aen, dia mengusap keringat di dahinya.
"Aku sudah terbiasa dengan Mana Angin untuk dorongan. Mana yang tenang untuk melipat ruang ini terasa asing. Ini teknik yang lebih cocok untuk Archmage daripada pendekar pedang militer."
Lyra menghela napas. Dia melompat ke sisi Aen dengan Temporal Leap yang hampir tidak terlihat, membuat Aen terkejut.
"Itulah kenapa ini akan menjadi keunggulan militermu, Aen,"
kata Lyra.
"Ini memungkinkanmu menyerang atau menghilang dari medan perang tanpa terdeteksi oleh radar Mana biasa. Latihan hari ini cukup."
Mereka berdua berjalan menuju tepi lapangan, di mana mereka bisa duduk di bangku batu untuk beristirahat.
"Kau berhak mendapatkan bayaranmu, Nona Astrea,"
kata Aen, sambil mengatur napasnya.
"Kau telah memberikan dasar yang solid. Aku tahu ini akan membutuhkan waktu, tetapi kau sudah membuktikan bahwa teknik ini bisa dikuasai."
Lyra menyesuaikan jubah putihnya dan menatap Aen.
"Aku senang mendengarnya. Kau tahu kontrak kita, informasi militer, sebagai ganti pelajaran sihir Ruang-Waktu."
Lyra memajukan tubuhnya sedikit.
"Aku tidak terlalu tertarik pada rumor di barak. Aku ingin informasi strategis, Aen. Sesuatu yang menunjukkan bagaimana Kerajaan Elemendorf, khususnya faksi militer, mempertahankan tanah mereka di masa lalu. Beri aku contoh, sesuatu yang menunjukkan nilai tanah bagi faksi militer Pendragon."
Aen terdiam sejenak. Dia menatap Lyra, lalu mengalihkan pandangannya ke lambang Akademi. Dia melihat Lyra bukan sebagai gadis bangsawan, tetapi sebagai komandan militer yang berambisi.
Aen akhirnya mengangguk.
"Baiklah. Informasi strategis. Ada satu kisah yang menjadi fondasi militer Elemendorf. Itu menjelaskan mengapa Distrik Sona, distrik hiburan yang sekarang kau kenal, begitu penting bagi kami. Itu adalah kisah Pertempuran Sona."
Aen mulai bercerita, suaranya kembali ke nada seorang perwira yang menyampaikan sejarah
"Ini terjadi sekitar delapan abad yang lalu, Lyra. Saat itu, Elemendorf belum menjadi kerajaan yang terpusat seperti sekarang. Kami berperang terus-menerus melawan kekaisaran luar—terutama dari Olympus di timur."
"Puncak konfrontasi terjadi di wilayah yang sekarang kita sebut Distrik Sona, saat itu hanya pos pertahanan yang sangat vital. Pasukan Olympus, yang dipimpin oleh Archmage Angin yang kejam, melancarkan serangan besar-besaran. Mereka ingin merebut Sona karena letak geografisnya. Sona adalah pintu gerbang alami menuju Middle Grail, di mana Heaven Grail berada."
Lyra mendengarkan dengan seksama, menyadari kaitan historis dengan struktur Ibu Kota saat ini.
"Pasukan Sona, yang terdiri dari faksi bangsawan kuno dan militer, dipimpin oleh seorang leluhur dari House Elemendorf dan seorang panglima Pendragon. Mereka kalah jumlah, Lyra. Mereka tidak memiliki Mana Angin sebanyak musuh, dan mereka terdesak hingga ke tepi tebing. Mereka bisa saja mundur ke Middle Grail dan mempertahankan Ibu Kota, tetapi mereka tahu, jika Sona jatuh, moral dan perlindungan Heaven Grail akan hancur."
Aen mengepalkan tinjunya.
"Pertempuran itu berlangsung selama tiga hari tanpa henti. Darah menodai tanah, Mana tumpah ke udara. Pada akhirnya, dengan serangan bunuh diri Mana Darah dari salah satu bangsawan, mereka berhasil memecah garis pertahanan Olympus."
"Mereka tidak memenangkan pertempuran itu dengan sihir yang lebih kuat. Mereka memenangkannya dengan tekad. Mereka mempertahankan setiap inci Distrik Sona, bahkan ketika mereka tahu mereka akan mati di sana. Pada akhirnya, Olympus mundur, meninggalkan Sona yang hancur, tetapi tetap di bawah kendali Elemendorf."
Aen menatap Lyra, matanya yang tajam memancarkan semangat militer.
"Pertempuran Sona mengajarkan faksi militer kami satu hal. Tanah adalah jiwa Kerajaan. Distrik Sona mungkin sekarang adalah tempat hiburan, Lyra, tetapi bagi kami, itu adalah tanah suci yang direbut kembali dengan darah dan pengorbanan. Itu adalah pengorbanan yang tidak boleh kami lupakan, dan itu adalah dasar dari aliansi militer sejati. Kami akan membela tanah ini, apa pun harganya."
Lyra mengangguk perlahan. Informasi itu sangat berharga. Itu memberikan konteks politik dan historis yang dalam.
"Terima kasih, Aen,"
kata Lyra, suaranya menghormati sejarah itu.
"Pertempuran Sona... Itu menunjukkan bahwa nilai tanah bagi faksi militer tidak dapat ditawar. Aku akan mengingat itu. Pelajaran Temporal Leap berikutnya adalah besok."
Aen tersenyum puas, merasa dia telah memberikan nilai yang pantas untuk teknik Archmage Lyra.
Kantin Akademi Elorick adalah pemandangan yang kacau—ratusan murid berinteraksi, bergosip, dan beradu Mana Angin untuk mengambil nampan makanan. Lyra, mengenakan jas formalnya yang rapi, dengan cepat mengabaikan lantai dasar yang gaduh. Dia tahu Gilga akan mencari tempat yang tenang.
Lyra menemukan Gilga di lantai atas kantin, di sudut yang paling terpencil. Gilga duduk di meja bundar kecil, memanfaatkan Mana Darahnya untuk menciptakan zona keheningan parsial. Di depannya terhampar buku tebal yang diselimuti rune kuno, bertema "Anatomi Mana Monster." Dia membaca, sepenuhnya tenggelam dalam penelitiannya untuk misi Gulungan Jiwa.
Lyra berjalan mendekat.
Saat Lyra berdiri di samping meja, Gilga merasakan kedatangannya, bukan dengan suara, tetapi dengan pergeseran halus pada Mana Ruang-Waktu Lyra yang kini ia kenali secara naluriah. Gilga mendongak.
Mata merah Gilga bertemu dengan mata hijau Lyra. Ekspresinya netral, dingin, dan... sedikit terluka.
"Gilga,"
sapa Lyra, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.
"Lyra,"
balas Gilga singkat, tidak ada senyum, tidak ada panggilan "Elara" yang dulu ia gunakan dalam keintiman mereka. Dia kembali menatap bukunya, membiarkan Lyra mengambil inisiatif dalam mengatasi kecanggungan yang menggantung di udara.
Lyra duduk di seberang Gilga. Dia menyadari, penolakan mendadak yang ia lakukan di koridor beberapa hari lalu telah melukai harga diri Gilga lebih dalam daripada yang ia kira.
"Aku... aku minta maaf,"
Lyra memulai, suaranya parau. Dia melepaskan topeng Archmage-nya untuk sesaat.
"Untuk hari itu. Di koridor."
Gilga menutup bukunya, menatap Lyra dengan tatapan serius.
"Lyra, aku tidak butuh Archmage yang sempurna. Aku tidak peduli dengan takdir dan takhta. Kau tahu itu. Aku hanya ingin kau memercayaiku. Aku hanya ingin menjadi bentengmu."
Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi, amarahnya sudah mereda, tetapi rasa sakitnya masih jelas.
"Saat kau mendorongku pergi, Lyra. Itu terasa seperti... kau mendorong bentengmu menjauh. Dan kau lari."
Lyra merasakan seluruh pertahanannya runtuh di hadapan kejujuran Gilga. Dia tahu Gilga pantas mendapatkan yang lebih baik daripada perlakuan dinginnya.
"Aku tahu,"
bisik Lyra, matanya berkaca-kaca.
"Aku lari karena aku takut. Aku takut pada konsekuensi emosional. Ada... sesuatu yang menggangguku, Gilga. Sesuatu yang memeringatkanku bahwa perasaanku padamu akan menjadi kelemahanku. Itu menakutkan, Gilga. Itu menakutkan karena..."
Lyra berhenti. Ini adalah pertama kalinya dia akan mengucapkan pengakuan ini.
"...Karena perasaanku itu nyata. Aku benar-benar menyukaimu, Gilga. Dan aku tidak tahu bagaimana Archmage sempurna yang seharusnya menjadi Sage bisa memiliki kelemahan selembut ini."
Gilga menatap Lyra. Ekspresi dingin di matanya perlahan mencair. Dia melihat Lyra yang asli, bukan Lyra yang disuntik memori Reni, bukan Lyra yang sempurna.
Gilga mengulurkan tangan, meraih tangan Lyra yang gemetar di atas meja.
"Kau boleh menyukaiku, Lyra,"
kata Gilga, suaranya dipenuhi janji yang lembut.
"Dan kau boleh merasa takut. Aku tidak peduli dengan kelemahan itu. Jika itu adalah kelemahanmu, biarkan aku, bentengmu, yang menahannya. Aku akan menjadi penyaring yang menyaring semua racun dan ketakutan itu."
Gilga memegang tangan Lyra dengan erat, dan senyum yang tulus, yang hanya Lyra yang tahu, muncul di bibirnya.
"Aku memaafkanmu, Lyra. Maafkan aku juga karena bersikap dingin. Aku hanya... terlalu mencintaimu, dan itu menyakitkan ketika kau menolakku."
Lyra tersentak pada kata-kata "terlalu mencintaimu" dan kehangatan yang mengalir dari genggaman Gilga. Dengan pengakuan Gilga yang mendalam, semua keraguannya hilang.
Lyra berdiri. Dia memajukan tubuhnya ke arah Gilga, Mana Ruang-Waktunya sepenuhnya tenang dan hangat.
"Aku harus pergi. Ada urusan. Tapi..."
Lyra mencondongkan tubuhnya, dan dengan gerakan yang cepat dan penuh kasih sayang, dia mencium pipi Gilga. Ciuman itu singkat, lembut, dan mengejutkan.
Gilga terpaku, matanya merahnya melebar karena kaget, sentuhan bibir Lyra di pipinya terasa panas.
Lyra menarik diri, matanya kini dipenuhi dengan tekad dan sedikit kenakalan.
"Itu adalah janji bahwa kelemahanmu adalah kelemahanku, dan kelemahanku adalah kekuatanmu,"
bisik Lyra.
"Sekarang fokus pada bukumu, Archmage Darah. Aku harus memastikan aliansiku dengan Pendragon berjalan lancar. Sampai nanti, Gilga."
Lyra berbalik dan pergi, meninggalkan Gilga yang duduk terdiam di pojok kantin. Gilga menyentuh pipinya yang masih terasa hangat. Senyum lebar, bodoh, dan bahagia muncul di wajahnya.
Lyra berjalan menyusuri koridor. Pipi Lyra yang saat itu disentuh Gilga terasa hangat, dan sentuhan itu mengirimkan gelombang kehangatan ke dalam jiwanya. Konflik internal yang telah menghantuinya selama ini, kini mereda.
Aku... menciumnya. Di pipi. Dia terkejut, dan aku... menyukainya.
Sial. Apa ini? Sebagian dari diriku ingin lari dan berteriak, ‘Aku bukan perempuan! Aku tidak tahu cara melakukan ini!’—itu adalah Reni. Tapi sebagian besar dari diriku, jiwa Lyra, merasa... benar. Sangat benar. Dan itu membuatku ingin menciumnya lagi.
Aku benci harus mengakuinya, tapi memori konyol Reni tentang majalah dewasa itu... memberiku sedikit petunjuk. Majalah itu penuh dengan hal-hal menjengkelkan tentang 'cara menjadi kekasih sempurna' atau 'memenangkan hati pasangan impianmu'. Selama ini aku menganggapnya sampah, tapi sekarang, entah kenapa, rasa percaya diriku sedikit meningkat.
Baiklah, Lyra. Keputusan sudah diambil. Jiwa ini milik Lyra, dan Lyra menyukai Gilga. Aku mungkin masih memiliki sikap dan pemikiran seorang laki-laki di dalam, tetapi aku akan berusaha. Aku akan menjadi Lyra Elara Von Astrea yang sempurna, yang kuat, yang tak terkalahkan. Dan... aku akan menjadi kesayangan Gilga.
Tekad itu membuat langkah Lyra menjadi lebih ringan, dan Mana Ruang-Waktunya yang tadinya bergolak, kini kembali tenang dan fokus.
Ke esokan harinya
Malam telah menyelimuti Akademi Elorick. Murid-murid diizinkan berada di luar asrama hingga pukul sebelas malam, memanfaatkan waktu untuk belajar atau berlatih.
Lyra dan Aen kembali bertemu di lapangan latihan terpencil. Lyra memilih pakaian yang lebih praktis untuk melatih mobilitas, baju berlengan pendek yang hanya mencapai bahu, memperlihatkan garis bahu Lyra yang ramping. Aen mengenakan baju putih lembut yang kontras dengan postur militernya yang tegas.
"Konsentrasi, Tuan Pendragon,"
kata Lyra.
"Kali ini, biarkan tubuhmu mengikuti lipatan ruang. Jangan paksakan Mana. Biarkan Mana hanya menjadi kunci."
Aen mengangguk, Mana-nya kini lebih tenang. Dia telah menghabiskan waktu berjam-jam mempelajari teori Temporal Leap yang diberikan Lyra. Aen menutup mata, memvisualisasikan jarak di depannya, bukan sebagai sebuah garis, melainkan sebagai sebuah lembaran yang dapat ditekuk.
Dia merapal Mana. Kali ini, tidak ada dorongan, tidak ada ledakan suara.
Flicker.
Aen menghilang. Dia muncul kembali tiga meter dari posisi semula, perpindahannya hampir sesenyap Lyra. Itu adalah langkah Temporal Leap pertamanya yang berhasil.
Aen terhuyung, segera mencengkeram lututnya, wajahnya pucat. Dia terengah-engah, seperti baru saja menyelesaikan lari maraton tanpa oksigen.
Lyra segera menghampirinya, wajahnya serius.
"Itu berhasil. Posturmu sempurna. Tapi kau butuh istirahat."
"Apa... apa ini?"
Aen bertanya di antara napas yang tersengal-sengal.
"Aku... tidak bisa bernapas..."
Lyra menjelaskan dengan tenang.
"Itu adalah efek samping langkah kuantum. Saat kau melipat jarak dan memindahkan dirimu secara instan, kau menciptakan vakum udara terlokalisasi di sekitar dirimu selama beberapa detik. Itu menciptakan ruang hampa, Aen. Jika kau menguasainya dengan skala besar, kau bisa melumpuhkan musuhmu hanya dengan membuat mereka sesak napas saat kau bergerak."
Aen, meskipun sesak napas, menyunggingkan senyum kemenangan.
"Potensi militer yang luar biasa. Aku mulai mengerti mengapa kau sangat menghargai teknik ini."
Setelah beberapa saat, Aen kembali pulih. Mereka duduk di tepi lapangan, menikmati angin malam.
"Kau berutang cerita padaku, Aen,"
ujar Lyra, menatap langit malam Sincorta.
"Pertempuran Sona. Kau baru membahas tentang pengorbanan di tanahnya. Sekarang, beri tahu aku apa konsekuensi strategisnya, dan mengapa itu membentuk disiplin Pendragon."
Aen mengangguk. Dia merapikan bajunya, nada suaranya kembali menjadi narasi militer.
"Kau benar, Nona Astrea. Pertempuran Sona bukan hanya tentang darah, tapi juga tentang doktrin. Musuh kita dari Olympus, Archmage Angin, kalah karena mereka terlalu mengandalkan kekuatan mentah dan Mana yang boros."
"Archmage Angin itu bisa meratakan setengah dari Sona dengan satu mantra, tetapi setelah tiga hari, cadangan Mana mereka hampir habis. Di sisi lain, leluhur Pendragon di sana, seorang pendekar pedang yang bahkan tidak bisa merapal sihir tingkat Adept, terus bertarung. Dia menggunakan keahlian fisik murni, pengetahuan medan, dan stamina yang tak terbatas."
Aen memukul lututnya dengan kepalan tangan yang tertutup.
"Itulah yang memenangkan pertempuran, Lyra. Bukan sihir besar, tetapi disiplin fisik dan efisiensi Mana."
"Sejak saat itu,"
lanjut Aen,
"Faksi Militer Elemendorf mengukir prinsip ini dalam darah mereka. Disiplin adalah bentuk Mana tertinggi. Kami melihat sihir tingkat Archmage sebagai pisau yang sangat tajam, tetapi jika gagangnya rapuh, pisau itu akan melukai penggunanya. Faksi Pendragon percaya bahwa untuk menjadi Archmage yang hebat, kau harus menguasai fisikmu dan memiliki kendali Mana yang setenang dan sesedikit mungkin."
Aen menatap Lyra, matanya penuh makna.
"Itu sebabnya aku bersedia menyembunyikan levelku di kelas umum, Nona Astrea. Dan itu sebabnya aku rela susah payah menguasai Temporal Leap-mu. Teknikmu adalah manifestasi sempurna dari doktrin kami, kekuatan maksimal dengan jejak Mana minimal. Aku ingin menjadikan teknikmu fondasi baru bagi disiplin militer Elemendorf. Dan itulah harga yang harus kubayar untuk aliansi kita."
Lyra tersenyum kecil, kali ini adalah senyum strategis.
"Doktrin yang menarik. Itu menjelaskan mengapa Archmage Darah seperti Gilga harus memiliki tubuh yang kuat. Baiklah, Tuan Pendragon. Aku mengerti nilai dari informasi ini. Besok, aku ingin kau melatih Temporal Leap ini dengan menyalurkan sedikit Mana Angin untuk membantu dorongan. Jangan biarkan disiplinmu menjadi batasan. Selamat malam."
Aen mengangguk, merasa dia telah menanamkan benih doktrin militernya ke dalam calon Sage Elemendorf itu. Aliansi mereka semakin solid, dibangun di atas pertukaran sihir Ruang-Waktu Lyra dan filosofi militer Pendragon.
Gilga bergerak cepat melintasi Distrik Sona di wilayah Fall Olympus. Tempat yang kini dikenal sebagai distrik hiburan itu terasa suram di bawah cahaya rembulan. Ia mengenakan jubah gelap, Mana Darahnya tersembunyi dengan sempurna di bawah kendali bertahun-tahun. Misinya, menemukan gudang rahasia Count Valerius.
Saat ia berbelok di sudut gang yang gelap, pandangannya terhenti pada seekor kucing oren yang tergeletak tak bernyawa. Darahnya mengalir di batu-batu jalanan.
Gilga mengepalkan tangannya. Entah kenapa, pemandangan darah tak berdaya itu memicu gelombang kemarahan yang tiba-tiba, sebuah respons naluriah dari Archmage Darah. Darah yang seharusnya kuat, kini tumpah tanpa makna. Rasa kesal itu menambah urgensi dalam pencariannya.
Gilga terus berjalan hingga mencapai Distrik Akari di First Grail. Distrik komersial itu sepi di malam hari, hanya menyisakan bau rempah-rempah yang tajam dan cahaya redup dari rune-rune komersial kuno.
Gilga berhenti di depan sebuah gudang tua yang tampak ditinggalkan. Jaringan informan Rabiot-nya telah mengonfirmasi fluktuasi Mana yang sangat spesifik dan cepat menghilang dari tempat ini beberapa hari yang lalu—bekas jejak ritual Valerius.
Gilga mendorong pintu gudang. Di dalamnya, cahaya redup dari sebuah lampu Mana tua menerangi ruangan berdebu.
Di tengah gudang, berdiri seorang pria. Sosok yang sangat familiar. Count Valerius.
Valerius sedang memegang sebuah tabung kristal kecil, melihat isinya dengan senyum licik. Di kakinya, terhampar Gulungan Sihir Jiwa yang diserap darah Gilga.
Valerius mendongak, matanya yang tajam menyambut kedatangan Gilga.
"Aku tahu kau akan datang, Anjing Penjaga. Ikatan pada gulungan itu terlalu kuat untuk kau tolak."
Gilga tidak menyahut. Kebenciannya terhadap pria di depannya, pengkhianat yang telah menculik Lyra, mengancam keluarganya, melebihi semua disiplin yang ia pelajari. Dia melepaskan jubahnya.
SWOOSH!
Dengan raungan terpendam, Mana Darah Gilga meledak. Dia tidak menggunakan mantra. Dia menggunakan Mana Primal mentahnya untuk memanipulasi darahnya sendiri dan mengeluarkannya melalui pori-pori. Dalam sekejap, Mana Darah itu mengeras dan membentuk lusinan senjata tajam tipis yang memanjang dari kedua lengannya.
Gilga menerjang, bergerak terlalu cepat untuk Archmage biasa.
"Mati!"
teriak Gilga, suaranya dipenuhi amarah.
Valerius, yang Archmage Air, bereaksi dengan tenang. Dia menyeringai arogansi.
CRACKLE!
Mana Air dingin Valerius meledak di sekelilingnya, membekukan udara. Di antara mereka, sebuah dinding kristal es tebal muncul seketika, menghalangi serangan mendadak Gilga.
Senjata-senjata darahnya menghantam es, memancarkan bunyi retakan yang mengerikan. Meskipun Valerius kuat, serangan Primal Gilga menghancurkan dinding es itu berkeping-keping.
"Kekuatan mentah yang mengerikan! Tidak heran kau Archmage Darah!"
Valerius melompat mundur, Mana-nya berputar. Udara di sekelilingnya berubah menjadi hujan kristal es tajam yang bergerak cepat, Proyektil Es.
Gilga melompat, tubuhnya yang ditempa benteng menghindari sebagian besar proyektil. Gilga memfokuskan Mana Darahnya, dan tanah di bawah Valerius tiba-tiba memerah. Gilga menarik semua kelembapan di udara, mengubahnya menjadi Darah Cepat yang mengeras dan menusuk dari tanah.
Valerius terbang ke udara, Archmage Air-nya memberinya kemampuan melayang cepat di udara.
"Archmage Darah hanya bisa bertarung di tanah!"
ejek Valerius dari atas.
WHOOSH!
Valerius mengayunkan tangannya. Udara gudang seketika dipenuhi embun beku. Valerius menciptakan pusaran air yang dibekukan secara instan. Badai Es Kristal di atas Gilga.
Gilga mendongak. Dia tahu dia tidak bisa menghindari serangan di gudang sekecil ini.
Gilga melepaskan kendali. Seluruh Mana Darahnya meledak dari tubuhnya dalam bentuk perisai merah tua yang berdenyut.
"Ambil ini!"
Dia menggunakan seluruh kekuatan Mana Darahnya untuk menciptakan Dinding Darah yang tebal, berharap bisa menahan serangan es Valerius yang datang dari semua arah.
CRASH!