Novel ini hasil collab antara Siti H dan Mom Young penulis novel 'Santet Pitung Dino'.
Sumber: Mbah Tainah, Desa Tiga Sari, kecamatan Jatenegara. Tegal-Jawa Tengah.
Diangkat dari sebuah kisah nyata. Kejadian ini terjadi sekitar tahun 1968 silam, dimana seorang pemuda miskin harus terjebak oleh sesosok makhluk ghaib Ratu Ular bernama Nyi Arum Lopa.
Tanpa sengaja, ia bertemu dengan Nyi Arum Lopa dibawah pohon Gintung yang tumbuh tinggi menjulang dan berusia ratusan tahun.
Dibawah pohon Gintung itu juga terdapat sumber mata air yang membentuk sebuah telaga kecil dengan airnya yang sangat jernih.
Karena persekutuannya itu, membuat pemuda bernama Saryat mendapatkan wajah tampan dan tidak pernah tua, serta harta yang melimpah. ia memulai usahanya dengan menyewakan gamelan saat setiap ada hajatan, dan harus dikembalikan sebelum pukul 12 malam..
Ada apa dengan gamelan tersebut, dan bagaimana kisa Saryat dengan sang Ratu Ular Nyi Arum Lopa?
ikuti novel ini selan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dinikahkan Paksa
Suketi tersenyum licik. Sedangkan Suta melakukan hal yang sama.
""Ayo, kamu nikahi si Suketi sekarang juga, dan jangan banyak alasan. Kamu fikir karena sudah kaya, kamu dapat berbuat sesukamu?" Suta terus memaksa, dan hal itu didukung oleh keempat pria lainnya.
Saryat dipaksa turun dari motor. Lalu dibawa masuk ke rumah Suketi, dan mereka menjemput sesepuh desa, untuk menikahkan Saryat dengan paksa.
Pemuda itu dicekal, dan juga intimidasi. Kelima warga yang terhasut, menekan Saryat agar tidak lari dari tanggung jawabnya.
Setelah cukup lama, akhirnya mereka berhasil membawa Mbah Kasno yang dianggap sebagai sepuh desa, dan menikahkan keduanya.
Jika saat ini Suketi bersorak riang, maka sebaliknya, bagi Saryat ini adalah duka, sebab ia bermimpi hanya menikah satu kali saja, dan itu dengan Sarimah.
Akan tetapi, ia telah dijebak, dan hal ini membuat Saryat harus dengan berat hati menerima pernikahan tanpa cinta tersebut.
Lemahnya ajaran Islam pada masa itu, membuat mereka menyalahi aturan. Dimana seharusnya Suketi mengalami masa iddah setelah perceraian selama tiga bulan, sebelum nantinya ia menikah lagi.
Akan tetapi, ambisi Suta membuat hal itu mengalahkan segalanya.
Setelah berhasil menikahkan Saryat dan juga Suketi, kelimanya melenggang pergi, Suta tampak bersiul dengan riang, sedangkan Saryat masih menyimpan kekesalan.
"Maaf, kamu mungkin sekarang istriku, tetapi jangan harap saya akan memberikan sesuatu yang kamu inginkan. Jika kamu hanya menginginkan uang, aku bisa memberikannya, tetapi tidak untuk cinta dan tubuhku!" ucap Saryat menegaskan.
Ia merogoh saku celananya, dan mengambil uang dalam lembaran yang cukup banyak, dan ia meletakkannya diatas tikar pandan berduri yang sudah usang, bahkan sudah berlubang disana-sini.
"Ini uang, dan pergunakanlah untuk keperluan hidupmu, tetapi jangan pernah menghubungiku, karena sesungguhnya aku tak pernah memiliki perasaan apapun padamu!" Saryat menegaskan ucapannya. Lalu beranjak dari tempatnya.
Akan tetapi, Suketi tidak tidak terima dengan apa yang diperbuat oleh Saryat. Ia bukan hanya inginkan harta pemuda itu, tetapi juga sudah tergila-gila dengan ketampanannya.
Dimana setiap kali memandang Saryat, hasratnya bergolak, dan tak dapat dicegah.
"Aku bukan hanya membutuhkan uangmu! Tetapi aku ingin mendapatkan kepuasan darimu. Setidaknya kau coba saja sekali, dan kau akan tau rasanya seperti apa," Suketi tak ingin melepaskan pria itu begitu saja.
Sungguh tipu daya wanita itu sangat luar biasa, dan ia sangat berambisi untuk mendapatkan Saryat.
Ia bahkan tak perduli saat kedua anaknya merengek karena merasa lapar.
"Maaf, aku tak bisa." Saryat beranjak bangkit. Tetapi bukan Suketi namanya jika tak dapat apa yang diinginkannya.
Ia menarik Saryat dengan cepat, lalu dengan segala ambisinya, ia berhasil meluluh lantakkan pertahanan pria tersebut.
Saryat yang berjuang mempertahankan prinsipnya harus goyah ditangan Suketi.
"Ayo, Sayang. Kau tidak akan pernah melupakannya," Suketi terus mengayuh biduk gairahnya, dan diiringi tangisan oleh kedua anaknya yang merasa lapar.
Saryat mengejang, saat ia mencapai puncak kenikmatannya, dan saat menyadari jika kedua anak Suketi menangis, ia bergegas mengenakan pakaiannya kembali.
Ia kembali merogoh saku celananya, dan memberikan sebuah kalung emas kepada wanita tersebut.
"Ini imbalam untukmu, dan lupakan semuanya," ucap Saryat, lalu pergi meninggalkan rumah reot yang mana dindingnya sudah tampak rapuh.
Setelah kepergian Saryat, Suketi tersenyum menatap tumpukan uang yang ada dihadapannya, ia sudah dinikahkan oleh warga, maka ia tidak akan begitu saja melepaskan pria kaya tersebut.
Jangan kau kira aku akan menyerah begitu saja." gumamnya dengan lirih, lalu menggendong anak bungsunya, dan menuntun si sulung berjalan kaki meninggalkan rumahnya.
Wanita itu menyusuri tebing bukit. Ia akan pulang ke rumah si Mbok-nya yang ada dibalik tebing.
Setelah jauh berjalan, ia tiba disebuah rumah yang memiliki dinding sama seperti warga lainnya, berupa anyaman bilah bambu.
Didepannya terdapat bunga jarum yang berwarna merah sebagai pagarnya.
Langkahnya semakin dipercepat, dan ia masuk ke rumah dengan terburu-buru. "Kulonuwun," ucapanya dengan cepat, lalu masuk ke rumah tanpa menunggu sahutan dari si Mbok yang saat ini entah dimana.
Suara tangisan kedua anaknya yang kelaparan semakin mengecil.
Ia menuju dapur, dan tampak bara api masih menyala, dan sepertinya si Mbok dibelakang dapir.
Terlihat singkong bakar diatas bara. Suketi mengambil kayu, lalu mengeluarkan singkong tersebut ke lantai tanah, dan mebelahnya menjadi dua.
Perlahan ia mengambil isinya, dan menghembuskan asapnya agar dingin, kemudian disuapkan kepada kedua anaknya secara bergantian.
Tak berselang lama, tampak wanita paruh baya yang sedang membawa ember dengan piring bersih yang baru dicuci.
Ia berdiri mematung menatap tamunya. Dimana mereka makan dengan lahapnya.
"Suketi?" panggil wanita tersebut dan menatapnya dengan miris.
"Ya, Mbok. Maaf, suketi ambil singkong bakarnya." ia masih sibuk menyuapi kedua anaknya dengan singkong bakar tersebut.
"Owalah, Suk, anakmu kok iso sampe kairen ngono, toh? (anakmu kenapa bisa sampai kelaparan?)"
Si Mbok membawa piring yang baru selesai dicucinya kerak piring yang terbuat dari bambu.
Setelah selesai menyusun piring yang berbahan kaleng, ia membuka sebuah kukusan yang terbuat dari anyaman bambu dan beralaskan kukusan alumunium.
Ia menyendokkan sego tiwul yang ditaburi kelapa parut dan gula pasir bercampur garam.
"Iki dipangan sego tiwul e, yo ojo di kek i singkong bakar, engko kembung weteng anakmu (Ini dimakan nasi tiwulnya. Jangan diberi singkong bakar anakmu, nanti masuk angin.)" ujar wanita bernama Sunti tersebut.
Dua bocah itu tampak berbinar matanya, dan menyambut makanan pemberian dari eyang mereka.
Setelah kenyang dengan makannya, keduanya mengantuk dan tertidur.
"Mbok. Aku titip Tika dan Tini, ya. Aku mau kerja ke kota," ucap Suketi pada si Mboknya.
"Yo kok kamu tega ninggalin bocah masih cilik seperti itu?" Sunti mencoba menasehati.
"Disini susah mencari kerja, Mbok. Aku ingin membuat mereka hidup layak," Suketi mencoba meyakinkan Sunti agar memberinya ijin.
"Si Mbok kok yo ra iso rela kowe iku arep lungo (Ibu merasa tidak bisa untuk rela kalau kamu pergi)."
Suketi tak ingin berlama. Ia mengambil kesempatan dari anaknya yang tidur agar tidak drama saat ia tinggalkan.
"Maafkan Suketi, Mbok. Ini terpaksa." wanita itu memberikan uang kepada si Mbok dalam jumlah yang cukup banyak, dan pergi begitu saja
Si Mbok terdiam menatap kepergian puterinya yang ia anggap begitu tega meninggalkan anaknya yang masih membutuhkan kasih sayangnya.
Mereka sudah menderita karena ditinggal ayahnya yang merantau dan tak pernah kembali lalu kini ditinggalkan oleh sang ibu dengan alasan yang sama.
Lalu kemanakah mereka akan mengemis kasih sayang tersebut? Eyang mereka sudah berusia lima puluh tahunan. Akankah dapat membersamai mereka hingga nantinya dapat hidup mandiri.
itu pedati bisa berubah jd ulaarrrr..