Semua orang melihat Claire Hayes sebagai wanita yang mengandung anak mendiang Benjamin Silvan. Namun, di balik mata hijaunya yang menyimpan kesedihan, tersembunyi obsesi bertahun-tahun pada sang adik, Aaron. Pernikahan terpaksa ini adalah bagian dari rencana rumitnya. Tapi, rahasia terbesar Claire bukanlah cintanya yang terlarang, melainkan kebenaran tentang ayah dari bayi yang dikandungnya—sebuah bom waktu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leel K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Tidur Bersama
"Mau kubantu mandi?"
Pertanyaan Aaron, yang terucap begitu saja setelah godaan kecilnya, masih bergaung di telinga Claire bahkan setelah Aaron bangkit dan melangkah keluar dari kamar. Jantungnya berdebar, wajahnya memerah padam. Apakah ia salah dengar? Apakah Aaron benar-benar menawarkan bantuan itu? Rasa malu bercampur dengan harapan yang meluap-luap. Ia menggigit bibirnya, masih meringkuk di tempat tidur, berusaha menenangkan debaran yang menggila.
Tak lama kemudian, sebuah ketukan pelan terdengar di pintu. Claire terkesiap. "Ya?"
Pintu terbuka perlahan, menampakkan Aaron yang berdiri di sana. Matanya menatap Claire dengan tatapan tenang yang sulit diartikan. Tanpa berkata apa-apa, Aaron masuk, lalu melangkah menuju kamar mandi pribadi Claire. Tak lama kemudian, suara air mengalir terdengar.
Claire merasa perutnya melilit, bukan karena sakit, melainkan karena gejolak emosi. Dia benar-benar akan melakukannya?!
Ia bangkit perlahan, berjalan menuju kamar mandi. Aroma sabun aromaterapi dan kelembapan langsung menyambutnya. Aaron sudah di sana, punggungnya menghadap Claire, memastikan suhu air di bathtub nyaman. Handuk bersih sudah terlipat rapi di gantungan.
Aaron berbalik, menatap Claire. "Sudah selesai. Aku akan tunggu di luar jika kau butuh sesuatu," katanya, suaranya datar, seolah ia hanya melakukan tugas.
Senyum di wajah Claire memudar. Ia merasakan gelembung kecewa muncul di dadanya. Jadi, "bantu mandi" hanya sebatas ini? Ia mengharapkan sentuhan, keintiman yang lebih. Wajahnya pasti menunjukkan kekecewaan yang kentara, karena Aaron menoleh.
Aaron menatap raut wajah Claire yang sendu, melihat bibirnya yang sedikit mengerucut. Ia menghela napas, sebuah senyum tipis, hampir tak terlihat, muncul di bibirnya. Astaga. Wanita ini.
Aaron tahu apa yang diharapkan Claire. Konflik dalam dirinya kembali bergejolak. Ia seharusnya menjaga jarak, menjaga batas. Tapi, melihat ekspresi kecewa itu... Aaron menyerah.
Ia melangkah kembali ke dalam kamar mandi, menutup pintu perlahan. "Baiklah," katanya, suaranya lebih lembut. "Apa yang kau butuhkan?"
Mata Claire melebar. Sebuah harapan baru menyala di matanya. "Aku... aku tidak bisa melepas gaunku dengan perut sebesar ini," bisiknya, suaranya malu-malu, namun ada secercah kebahagiaan.
Aaron mendekat, tangannya bergerak ke belakang gaun Claire, dengan hati-hati melepaskan resletingnya. Sentuhan jari-jari Aaron di punggungnya membuat Claire merinding. Gaun itu meluncur jatuh ke lantai. Aaron dengan sengaja memalingkan pandangannya ke arah lain. Kemana saja, asal bukan pada tubuh polos itu.
Aaron membantunya melangkah ke bathtub, memastikan ia tidak terpeleset. "Perlahan," bisik Aaron, tangannya masih di lengan Claire, menopangnya.
Claire duduk di dalam air. Air hangat memeluk tubuhnya, meredakan ketegangan ototnya. Ia menatap kearah Aaron. "Terima kasih," bisiknya lagi, matanya berbinar.
Aaron tidak menjawab. Ia hanya mengangguk, lalu tangannya meraih spons dan sabun. Claire terhenyak. Aaron tidak hanya memastikan kamar mandi nyaman, ia benar-benar akan membantunya.
Dengan gerakan canggung namun lembut, Aaron mulai membersihkan punggung Claire. Jari-jarinya terasa hangat di kulit Claire, dan setiap sentuhannya membuat Claire merinding. Claire memejamkan mata, membiarkan sensasi itu meresap. Perasaan malu bercampur dengan kebahagiaan yang meluap. Aaron membasuh lehernya, bahunya, punggungnya, semua dilakukan dengan kehati-hatian yang luar biasa.
"Apa kau kedinginan?" tanya Aaron, suaranya rendah.
Claire menggeleng. "Tidak. Ini... ini sangat nyaman."
Setelah Aaron selesai, ia membantu Claire berdiri dan membungkusnya dengan handuk lembut yang hangat. Ia mengeringkan punggung Claire dengan gerakan perlahan, seolah Claire adalah patung porselen. Kemudian menuntutnya kedalam walk-in closet
"Aku akan mengambilkan pakaianmu," kata Aaron.
Claire hanya bisa mengangguk, masih terbuai oleh kehangatan dan keintiman yang baru saja mereka bagi. Tak lama kemudian, Aaron kembali dengan pakaian bersih untuknya, sebuah gaun katun longgar yang nyaman. Ia membantu Claire mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia mengambil handuk kecil lain dan mulai mengeringkan rambut Claire yang basah.
Claire duduk di kursi kecil, punggungnya menghadap Aaron. Sensasi lembut handuk di rambutnya terasa menyenangkan. Ia merasakan napas hangat Aaron di tengkuknya.
"Apa yang ingin kau makan malam ini?" tanya Aaron, suaranya lembut, memecah keheningan.
Claire berpikir sejenak. "Uhm... apa saja. Aku tidak terlalu rewel soal makanan." Ia merasa pipinya memanas.
"Tidak rewel," Aaron mengulang, ada nada geli dalam suaranya. "Kau punya daftar panjang makanan yang kau inginkan beberapa hari lalu."
Claire terkekeh pelan, malu. "Itu... itu beda. Aku hanya... uhm... apa saja yang kau suka."
Keheningan kembali menyelimuti mereka, hanya suara gesekan handuk di rambut Claire yang terdengar. Claire merasakan jari-jari Aaron menelusuri tengkuknya yang putih, seolah Aaron sedang memeriksa apakah rambutnya sudah kering sempurna. Kemudian, ibu jari Aaron secara impulsif mengusap lembut tengkuknya. Sentuhan itu sangat ringan, namun cukup untuk membuat Claire sedikit tersentak. Seluruh tubuhnya mengirimkan sinyal ke otak, dan detak jantungnya berpacu. Tenggorokannya terasa tercekat.
Claire merasakan tengkuk dan daun telinganya sedikit memerah. Ia yakin Aaron melihatnya. Dari sudut matanya, ia bisa melihat pantulan senyum tipis di bibir Aaron di cermin depannya. Sebuah senyum gemas, yang begitu menawan, membuat Claire semakin malu sekaligus bahagia.
Aaron melanjutkan mengeringkan rambutnya, namun ibu jarinya tidak lagi mengusap tengkuknya. Kehangatan sentuhan itu masih terasa, membekas. Claire mencoba menenangkan napasnya. Keberanian yang datang secara impulsif seperti saat mencium pipi Aaron, tiba-tiba menyeruak lagi.
"Aaron..." panggil Claire pelan, suaranya sedikit gagap.
"Hmm?"
Claire menggigit bibir bawahnya. Ia harus mengatakannya. Ini demi bayi, demi kehangatan yang ia dambakan. "Bolehkah... bolehkah kita tidur bersama malam ini?"
Ia langsung merutuki dirinya sendiri. Bodoh! Kau mengatakannya terlalu cepat!
"Maksudku... bayinya. Bayi ini, dia sering menendang di malam hari. Aku... aku kadang kesulitan tidur. Mungkin jika kau ada di sana..." Claire berusaha mencari alasan yang masuk akal, meskipun ia tahu itu hanya dalih. Ia hanya ingin merasakan Aaron di dekatnya sepanjang malam, merasakan kehangatan yang sudah lama ia rindukan.
Hening sejenak. Claire menunggu jawaban Aaron, jantungnya berdebar kencang. Ia mengantisipasi penolakan, atau setidaknya keraguan.
"Baiklah," jawab Aaron, suaranya tenang, tanpa ragu sedikit pun. Sebuah jawaban yang cepat dan tidak terduga. Aaron telah selesai mengeringkan rambutnya, meletakkan handuk. Ia kini berdiri di belakang Claire, tangannya di bahu wanita itu. "Tapi kau harus berjanji akan tidur."
Claire memutar tubuhnya, menatap Aaron, matanya berbinar tak percaya. "Benarkah?"
"Ya." Aaron mengangguk. Sebuah senyum tipis muncul lagi di bibirnya. "Kenapa kau terkejut?"
Claire menggeleng, "Kau sudah bilang iya, kau tidak menariknya kembali!" ujarnya semangat, senyumnya mereka lebar.
Dia benar-benar manis hari ini. Pikir Claire, perutnya terasa hangat.
***
Malam itu, Aaron mematikan lampu di kamarnya. Cahaya bulan menembus tirai, menerangi sebagian kecil ruangan. Claire sudah berbaring di sisi lain tempat tidur king size itu, sedikit jauh dari Aaron. Ia masih merasa canggung, namun kebahagiaan yang ia rasakan jauh melebihi kecanggungan itu.
Aaron berbaring telentang, menatap langit-langit gelap. Pikirannya melayang. Kehadiran Claire, sentuhan-sentuhan kecilnya, bahkan tangisannya yang tak terduga, kini terasa anehnya… tidak mengganggu. Sebaliknya, ada rasa nyaman yang mulai merayap. Ia ingat betapa hampa penthouse ini dulu. Sunyi, dingin, hanya suara-suara robotik dari sistem keamanan yang sesekali terdengar.
Kini, ada suara napas Claire yang teratur, sesekali gerakan kecil dari perutnya, bahkan dengkuran samar Claire saat ia terlelap. Aaron tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah sejauh ini. Ia selalu melihat Claire sebagai beban, sebagai kewajiban yang harus ia jalani. Namun, dibalik semua itu, ada sesuatu yang lain.
Ia menoleh, menatap Claire yang sudah terlelap di sampingnya. Wajahnya yang damai, rambutnya yang lembut tergerai di bantal. Perutnya yang membesar. Ini semua adalah bagian dari dirinya sekarang. Ia tidak lagi merasa terpaksa. Tidak ada lagi rasa enggan yang kuat.
Hidup seperti ini... tidak begitu buruk.
Pikiran itu mengejutkan Aaron. Ia, Aaron Silvan, yang terbiasa hidup dengan keteraturan sempurna, kini mendapati dirinya menikmati kekacauan kecil yang dibawa Claire ke dalam hidupnya. Tanggung jawab ini, yang dulu terasa membelenggu, kini mulai terasa seperti ikatan yang tak ingin ia lepaskan. Ia telah berubah, dan Claire adalah katalisnya. Senyum tipis terukir di bibirnya. Ia menyelipkan anak rambut yang jatuh di wajah Claire di belakang kupingnya, kemudian detik berikutnya ia meletakan kecupan ringan di keningnya.
Bahkan meskipun aku tahu kau dan bayi ini bukan milikku, akan ku jaga kalian dengan segenap hatiku.