Deva dan Selly telah membangun kisah cinta selama lima tahun, penuh harapan dan janji masa depan. Namun semua berubah saat Deva menghadapi kenyataan pahit: ibunya menjodohkannya dengan Nindy, putri dari sahabat ibunya.
Demi membahagiakan keluarganya dan demi mempertahankan hubungannya secara diam-diam Deva menjalani dua kehidupan: bersama Nindy, dan kekasih Selly di balik bayang-bayang malam.
Tapi seberapa lama rahasia bisa bertahan?
Ketika cinta, pengkhianatan, dan rasa bersalah bertabrakan, Deva harus memilih: menghancurkan satu hati... atau kehilangan segalanya.
Di dunia di mana cinta tak selalu datang pada waktu yang tepat, siapakah yang akhirnya akan Deva genggam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vitra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satu Nama, Dua Kisah
Pagi itu, Nindy berangkat ke kantor dengan perasaan bahagia. Langit biru dan cerah seolah menggambarkan isi hatinya. Ia menyalakan radio di mobil dan mulai menikmati perjalanan menuju kantor. Sesekali, matanya melirik cincin yang melingkar manis di jari manisnya. Senyumnya mengembang, membayangkan masa depan yang kini terasa lebih pasti.
Sesampainya di kantor, Nindy menyapa rekan-rekan kerjanya dengan wajah berseri. Hari ini, ia tampak lebih ekspresif daripada biasanya. Aura bahagia memancar dari dirinya.
Ara, yang menyadari perubahan itu, langsung menggoda, “Ada kabar baik, nih, kayaknya.”
Nindy tersenyum, lalu menghampiri Ara dan meletakkan tangannya di meja sahabatnya itu. Cincin cantik di jari manisnya langsung menarik perhatian.
“Kamu dilamar?” tanya Ara dengan suara agak keras.
Beberapa rekan kerja menoleh ke arah mereka. Nindy tersenyum canggung, lalu cepat-cepat berbisik ke telinga Ara, “Jangan keras-keras bilangnya.”
Ara refleks menutup mulutnya. “Maaf, aku kelepasan. Tapi aku benar-benar terkejut kamu akhirnya dilamar Deva,” ucapnya dengan nada senang.
“Nanti siang pas istirahat, aku ceritakan semuanya,” kata Nindy sambil membalikkan badan dan kembali ke mejanya.
Saat jam makan siang tiba, kantor mulai sepi. Rekan-rekan mereka keluar untuk makan di luar. Hanya Nindy dan Ara yang tetap tinggal di ruangan, menikmati bekal masing-masing.
Ara memulai percakapan. “Kapan Deva melamarmu? Baru kemarin kamu cerita mau ketemu dia, tahu-tahu udah pakai cincin.”
“Malam Minggu kemarin, Ra. Malam itu jadi malam terindah seumur hidupku. Sampai sekarang pun rasanya masih hangat di hati,” jawab Nindy dengan mata berbinar.
“Aku ikut senang, Nin. Akhirnya Deva kasih kepastian juga. Orang tuamu sudah tahu?”
“Jelas. Besoknya langsung aku cerita ke Ayah dan Bunda. Mereka sangat senang. Ayah bahkan langsung ingin merencanakan acara lamaran resmi dengan ibunya Deva,” jawab Nindy antusias.
Ara tersenyum lebar. Ia tahu betul perjuangan cinta sahabatnya itu.
“Kalau kamu nikah besok, aku pasti nangis, Nin. Selain orang tuamu, aku juga boleh kan ikut nangis di pelaminan karena terharu?” ucap Ara sambil tertawa kecil.
“Doakan saja semuanya lancar, Ra. Dan tentu saja kamu boleh nangis. Kamu tahu sendiri kan, betapa panjangnya perjalanan cinta aku dulu.”
Mereka tertawa kecil bersama. Namun, tawa itu terhenti saat suara pintu kantor terbuka. Keduanya spontan menoleh. Seorang wanita elegan memasuki ruangan, langkahnya tenang dan anggun.
Ara memberi isyarat pada Nindy. “Nin, berdiri. Sapa,” bisiknya pelan.
Nindy pun berdiri, mengikuti Ara. Mereka berdua menyambut kedatangan wanita itu.
“Tak perlu repot-repot. Silakan lanjutkan makan siang kalian,” ucap wanita itu ramah. Ia lalu melangkah masuk ke ruangan Kevin.
Setelah pintu tertutup, Nindy berbisik pelan, “Itu tadi siapa, Ra?”
“Bu Martha. Istrinya Pak Kevin. Dia beberapa kali muncul di berita TV. Kamu nggak tahu?”
Nindy menggeleng. “Aku nggak tahu, Ra. Kamu tahu sendiri aku jarang banget nonton TV atau buka sosial media.”
Ara menatapnya dengan tatapan geli.
“Aku juga nggak pernah terlalu peduli urusan pribadi atasan. Fokusku ya kerja aja. Jadi, aku nggak tahu kalau itu istrinya Pak Kevin,” tambah Nindy sambil mengangkat bahu. Ia lalu berkata pelan, “Tapi... istrinya cantik ya, Ra. Ramah pula.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Rendi menerima pesan dari Anton. Di dalamnya tercantum identitas lengkap pemilik mobil dengan nomor plat yang selama ini mencurigakan. Sosok pria misterius itu akhirnya terungkap.
“Namanya Deva Baskara,” gumam Rendi, sambil menunjukkan pesan itu kepada Fani yang duduk di sebelahnya.
“Kita sudah punya namanya,” ucap Rendi serius. “Langkah selanjutnya, kita cari tahu Deva ini kerja di mana, dan apa hubungannya dengan Selly, si simpanan Kevin.”
Fani mengangguk. “Kalau soal itu sih gampang. Kita bisa mulai dari platform profesional,” katanya sambil membuka laptop.
Ia langsung mengetik nama Deva Baskara di kolom pencarian. Tak butuh waktu lama, profil Deva muncul. Fani mengklik dan membaca sekilas informasi di sana.
“Dia bekerja sebagai Business Development Manager di PT Gradasi Arta,” ujarnya sambil memperbesar tampilan layar.
“PT Gradasi Arta?” Rendi mengernyit. “Aku rasa pernah dengar nama itu. Perusahaan digital marketing, ya?”
Fani segera mengeceknya lewat mesin pencarian. “Iya, betul. Fokusnya di digital marketing dan branding. Kelihatannya cukup aktif menangani kampanye untuk beberapa brand besar.”
Rendi mengamati layar beberapa saat. “Kalau dari sini, kelihatannya Deva dan Kevin nggak punya koneksi langsung. Bidang mereka berbeda. Dan kalau bicara status sosial… jelas Kevin ada di level yang jauh di atas.”
Fani menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Mungkin saja hubungannya lewat Selly. Kita belum tahu sejauh apa keterlibatan Deva dengan dia.”
Rendi mengangguk. “Bu Martha bisa jadi kunci kalau kita ingin gali lebih jauh tentang Selly. Tapi sejauh ini, aku belum pernah menyebut nama Deva ke beliau.”
“Aku paham,” sahut Fani. “Tapi maksudku, kalau kita mulai telusuri lebih dalam soal Selly asal usulnya, pekerjaan sebelumnya mungkin bisa ketemu benang merah ke Deva. Bisa jadi mereka pernah kerja bareng, atau ada koneksi dari masa lalu.”
“Kalau begitu,” kata Rendi, “kita bisa coba hubungi teman Bu Martha, namanya Lisa. Dia pernah cerita ke aku soal Selly.”
Fani langsung menjentikkan jarinya. “Bagus! Kita punya sumber lain yang mungkin lebih tahu soal latar belakang Selly.”
Ia melirik ke arah Rendi. “Tapi ngomong-ngomong, kenapa kamu baru sebut nama Lisa sekarang?”
Rendi nyengir, merasa sedikit bersalah. “Maaf, Fan. Kamu tahu sendiri, kemarin kita fokus banget ngulik identitas Deva.”
“Oke, dimaafkan. Tapi ada syaratnya. Nanti kamu traktir makan siang,” kata Fani sambil menyeringai.
Sudah jadi kebiasaan bagi Fani meminta traktiran dari Rendi. Mereka sudah cukup lama bekerja bersama di media yang sama, dan hubungan mereka pun cukup dekat.
Tiba-tiba Rendi menepuk pundak Fani, seolah baru teringat sesuatu.
“Fan, aku ingat. Lisa pernah bilang kalau Selly itu model. Sedangkan Deva kerja di digital marketing. Bisa jadi mereka kenal dari situ, kan?”
Sorot mata Fani langsung berbinar. “Iya juga! Itu masuk akal. Ayo, segera buat janji ketemu Bu Martha. Dan jangan lupa hubungi Lisa juga.”
Tanpa menunda, Rendi langsung mengambil ponselnya dan mulai mengetik pesan untuk Martha dan Lisa. Ia ingin secepat mungkin menyatukan
potongan-potongan teka-teki ini dan menemukan hubungan antara Deva dan Selly.
"Ren..." panggil Fani sambil menoleh ke arah Rendi.
"Iya, kenapa, Fan?" sahut Rendi, ikut menoleh dengan ekspresi penasaran.
"Kamu nggak lupa kan sama janjimu?"
Rendi mengernyit. "Janji yang mana, nih?"
"Janji mentraktir aku makan siang, dong! Hahaha," kata Fani sambil tertawa lepas.