yang Xian dan Zhong yao adalah 2 saudara beda ayah namun 1 ibu,.
kisah ini bermula dari bai hua yg transmigrasi ke tubuh Zhong yao dan mendapati ia masuk ke sebuah game, namun sialnya game telah berakhir, xiao yu pemeran utama wanita adalah ibunya dan adipati Xun adalah ayahnya,,.
ini mengesalkan ia pernah membaca sedikit bocoran di game love 2 dia adalah penjahat utama, ini tidak adil sama sekali
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aludra geza alliif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Giok hijau
Lu Yu berdiri pelan, lalu menyuruh Xiao Bao menyiapkan makanan tambahan. Udara di sekitar kediaman terasa lebih hangat dari biasanya, tapi hati Lu Yu justru terasa dingin ketika mendengar suara lirih percakapan dari arah taman persik.
Ia melangkah mendekat diam-diam. Suara itu—tenang, tajam, dengan aroma samar gojiberry yang familiar di udara. Seorang pria mengenakan topeng berdesain anggun berdiri membelakangi sinar matahari pagi. Jubah merahnya bergelombang lembut, dengan sulaman bunga persik dan pegunungan menghiasi kainnya. Gerakannya tenang, elegan, tapi penuh perhitungan.
Giok hijau tergantung di pinggangnya, sama persis dengan yang tadi pagi ia letakkan di atas meja. Lu Yu menegakkan tubuh. Napasnya tercekat.
Tang Zi Yu.
Nama yang cukup untuk menyalakan amarah dan insting bersaingnya. Jika Zhong Yao adalah sarjana peringkat dua di ujian kekaisaran, maka Tang Zi Yu adalah yang ketiga. Sedangkan dirinya—ia adalah nomor satu. Dan musuh sejati kadang terasa lebih menyebalkan daripada mantan kekasih.
“Jadi... kau benar-benar melupakanku, ya?” Suara Tang Zi Yu terdengar pahit. Lembut, namun menyimpan luka yang mendalam.
Zhong Yao tampak bingung. “Aku…?”
Seketika itu juga, Lu Yu melangkah cepat ke depan mereka. Tatapannya tajam menusuk ke balik topeng Tang Zi Yu.
“Dia kehilangan ingatannya setelah pertempuran di laut utara. Jadi kalau kau mencari kenangan lama, sayangnya kau bicara pada orang yang salah.”
Nada suaranya sopan, tapi dingin. Ia menarik lengan Zhong Yao dan menyeretnya masuk ke dalam rumah.
Namun Tang Zi Yu tidak tinggal diam. Ia melangkah pelan, tapi pasti, mengikuti mereka hingga ke ruang makan.
“Aku hanya ingin mengingatkannya,” katanya pelan, lalu duduk di seberang meja dengan santai. Ia mengambil mangkuk dan sumpit seolah tak terjadi apa pun.
Zhong Yao menatap bingung antara dua pria di hadapannya—satu dingin seperti es yang tenang, satu lagi membara seperti api tersembunyi. Ia mengambil sepotong daging kambing dan mulai mengunyah pelan, mencoba memahami situasi.
Namun ketegangan pecah ketika Lu Yu meletakkan sumpitnya dengan suara cukup keras.
“Aku tidak memasak untukmu,” katanya datar.
Tang Zi Yu mengangkat alis. “Ini rumah Zhong Yao, bukan rumahmu.”
Lu Yu langsung menoleh tajam. “Kau…”
“Cukup,” potong Zhong Yao tiba-tiba. Suaranya tenang, tapi tegas.
Mereka berdua menoleh padanya.
“Makanlah dengan tenang. Kita bukan anak-anak.”
Tang Zi Yu tersenyum samar. “Baiklah, aku makan hanya karena kau yang duduk di meja ini.”
Lu Yu membuang pandang, menahan amarah yang mulai mendidih, namun tetap diam.
Dalam hati, Zhong Yao masih mencoba menguraikan simpul rumit ini. "Jika Tang Zi Yu pelakunya… ini akan sama saja dengan bunuh diri. Lu Yu tidak akan membiarkannya lolos, dan hukumannya… aku tahu, Lu Yu bisa sangat kejam jika menyangkut keadilan."
Zhong Yao menatap giok di pinggang Tang Zi Yu yang bersinar samar di bawah cahaya lentera. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Jika pria itu benar-benar dalang di balik pembunuhan berantai yang terhubung dengan giok, maka segalanya bisa berubah mulai malam ini.
Dan meja makan ini bukan lagi sekadar tempat makan—melainkan medan perang yang tenang, dengan senyum dan sumpit sebagai senjatanya.Suasana meja makan itu seperti musim dingin yang tak pernah berlalu. Daging kambing bakar masih mengepul harum, tapi tak seorang pun tampak benar-benar menikmati hidangan. Xiao Bao yang tadinya ingin menyajikan sup ikan buru-buru mundur setelah melihat aura tegang di antara dua pria itu.
Tang Zi Yu menggenggam sumpitnya perlahan, lalu menatap Zhong Yao dengan lembut.
“Dulu, kau selalu memintaku memasak daging domba setiap kali kau sedih. Sekarang, kau memilih makan bersama orang ini.”
Lu Yu menegakkan punggungnya, tersenyum tipis tanpa menoleh. “Orang ini? Kalau aku bukan siapa-siapa, kenapa kau repot-repot datang membawa aroma gojiberry ke rumah yang bukan milikmu?”
Tang Zi Yu tak langsung membalas. Ia menatap Giok di pinggang Lu Yu sekilas—sadar, bahwa lawannya tidak bodoh.
“Aku datang karena seseorang berjanji padaku. Janji untuk kembali… setelah badai reda.”
Zhong Yao menunduk, pura-pura sibuk dengan daging di piringnya. Tapi hatinya menegang. Ia bisa merasakan gelombang emosi yang saling menabrak di sekelilingnya. Seolah ia adalah kucing liar yang tersesat di tengah pertarungan dua naga.
Lu Yu meletakkan cangkir araknya perlahan.
“Janji tanpa bukti hanyalah angin lewat, Tang Gongzi. Jangan berharap orang yang sudah kehilangan ingatan akan mengingat janji yang tak tertulis.”
Tang Zi Yu menatap Lu Yu tajam. “Kau sangat pandai bicara, seperti biasa. Tapi terlalu banyak bicara justru menyembunyikan rasa takut.”
Lu Yu mengangkat alis. “Takut?”
Tang Zi Yu tersenyum tipis, penuh arti. “Takut kehilangan seseorang… sebelum benar-benar memilikinya.”
Kata-kata itu menusuk. Lu Yu terdiam. Matanya menatap kosong pada lentera yang bergoyang lembut di tiupan angin. Sementara Zhong Yao meneguk tehnya cepat-cepat, seperti ingin melarikan diri dari dua pasang mata yang saling menikam di atas kepalanya.
Seketika itu juga, terdengar suara kicauan burung pagi dan desir angin lewat jendela terbuka. Tapi tak ada yang berbicara lagi. Hanya suara gesekan sumpit dengan mangkuk dan napas yang tertahan.
Tang Zi Yu bangkit perlahan, menatap Zhong Yao untuk terakhir kali malam itu.
“Aku akan datang lagi. Kali ini, untuk mengingatkanmu siapa kau sebenarnya.”
Ia lalu melangkah pergi dengan anggun, jubah merahnya berayun seirama dengan langkahnya. Aroma gojiberry masih tertinggal di udara—tajam, menusuk, dan mengganggu.
Lu Yu memejamkan mata sesaat, lalu membuka lagi perlahan.
“Jangan percayai kata-kata manis dia yang datang membawa kenangan. Biasanya mereka juga membawa luka.”
Zhong Yao hanya bisa menatap punggung Lu Yu yang tampak begitu tenang... namun punggung itulah yang tadi melindunginya dari panah nostalgia Tang Zi Yu.
Zhong yao berdiri si belakang lu yu dan meraih pinggangnya dengan absurd
" kenapa kau marah jika dia datang membawa kenangan?? apa kau tidak mau mengenal ku lebih jauh?? apa kau cemburu?? " tanya Zhong yao, luyu lebih rendah 15 cm darinya membuatnya bisa mencium rambut lu yu yg berbau teh, itu hanya teh namun kadang bisa membuat orang mabuk
lu yu terdiam, itu benar ia sedang tak ingin Zhong yao bersama orang lain benar benar tidak ingin terlalu banyak kejadian 1 minggu ini , membuatnya lelah, otaknya tak bisa berjalan dengan baik ia berbalik dan mengecup pipi Zhong yao pelan.
" apa kah kau akan membenciku?? "tanya lu yu dengan hati penuh rasa takut kehilangan
" tidak,,,!! "