NovelToon NovelToon
Dion (2)

Dion (2)

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Anak Yatim Piatu / Cinta Beda Dunia / Cinta Seiring Waktu / Kebangkitan pecundang / Hantu
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: K. Hariara

Kenyataan menghempaskan Dion ke jurang kekecewaan terdalam. Baru saja memutuskan untuk merangkak dan bertahan pada harapan hampa, ia justru dihadapkan pada kehadiran sosok wanita misterius yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya; mimpi dan realitas.

Akankah ia tetap berpegang pada pengharapan? Apakah kekecewaan akan mengubah persepsi dan membuatnya berlutut pada keangkuhan dunia? Seberapa jauh kenyataan akan mentransformasi Dion? Apakah cintanya yang agung akhirnya akan ternoda?

Apapun pilihannya, hidup pasti terus berjalan. Mengantarkan Dion pada kenyataan baru yang terselubung ketidakniscayaan; tentang dirinya dan keluarga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Harinya Dion

Setelah sambutan Walikota, acara kemudian dilanjutkan dengan kontes bakat menyanyi. Setiap perusahaan yang berpartisipasi dalam lomba maraton diperbolehkan mengirimkan satu kontestan. Karena jumlah peserta yang hampir mencapai 20, acara itu juga berlangsung sambil makan siang.

Dion makan bersama Felix, Wulan dan beberapa rekan kerjanya di deretan kursi. Sementara Amri dan Meyleen duduk di meja berbeda bersama keluarga Sutan, Tiara Carissa calon istri Kiki.

Kiki sendiri duduk bersama Walikota, beberapa pejabat pemerintah kota, Astrid dan Indra yang merupakan wakil Kiki di asosiasi profesi itu.

“Setelah ini giliranmu!” seru Felix pada Dion yang sedang menikmati nasi kotak sebagai makan siang.

“Giliran apa, Bang?” tanya Dion heran.

“Menyanyi,” jawab Felix.

“Ha? Bukannya kita diwakili Bang Candra?” tanya Dion sambil berusaha mencari sosok yang disebutkannya tadi.

“Candra sudah pulang. Anaknya tiba-tiba sakit, katanya harus dibawa berobat,” jelas Felix.

“Aih. Perutku jadi berputar karena khawatir. Rasanya ingin kabur saja,” keluh Dion membuat Wulan dan Felix tertawa terbahak-bahak.

“Awas kalau kabur. Pak Amri yang tunjuk Dion menggantikan Candra. Lagipula Aku sudah mendaftarkan namamu tadi menggantikan si Candra. Lagu pilihannya gampang kok, Saksi Gitar Tua,” tambah Felix.

Dion yang khawatir tak bisa mengelak karena tak ingin membuat malu perusahaannya. Ia menghembuskan napas panjang dan menutup kotak makanannya di atas meja karena selera makannya tiba-tiba hilang.

“Halah, gitu aja takut. Beberapa kali aku lihat kau menyanyi dengan bagus sekali. Apalagi waktu ada pacarmu si Wi…” kata-kata Felix terputus karena ia menyesal telah menyebutkan nama mantan pacar Dion.

“Maksud Abang si Wina? Iya, dia yang dulu mengajari aku menyanyi. Sekarang tak ada lagi. Habislah kita kali ini,” ujar Dion tak enak melihat Felix merasa bersalah.

“Udah santai aja Dion. Lagipula kontestan sebelum-sebelumnya tak ada yang terlalu bagus, kecuali yang kedua dan kalau tak salah yang kesebelas tadi. Paling tidak kita bisa juara tiga,” ujar Wulan.

“Juara berapa? Tiga? Ah, juara satu pun gampang. Wulan kan belum pernah melihat dia menyanyi. Lihat saja nanti,” celetuk Felix melanjutkan makannya.

Kata-kata itu membuat Wulan penasaran dan terus memandangi Dion yang masih tampak khawatir.

“Kontestan ke-19, yang terakhir, Dion Manasseh dari Harian Jurnal Sumatera dengan lagu Saksi Gitar Tua,” pemandu acara mengumumkan peserta kontes berikutnya.

Mendengar namanya disebut Dion pun melangkah gontai malas-malasan sambil menggaruk-garuk kepala membuat rambutnya awut-awutan.

Tindakan yang tanpa disadari justru membuat penampilannya semakin keren karena gaya rambut seperti itu mulai tren saat itu, the messy hairstyle, sangat cocok dengan profil tubuhnya yang jangkung dan bentuk wajah tirus dan memanjang ke belakang.

Para wanita yang segera mengenali Dion yang tadi pagi sempat menjadi perhatian utama, kembali histeris senang. Dion kini mengenakan kaus polo body-fit biru tua berlengan pendek menonjolkan postur tubuhnya yang jangkung dan berotot.

Di atas panggung, Dion yang mengetahui bahwa lagu “Saksi Gitar Tua” yang dipopulerkan oleh Achmad Albar bersama grup bandnya ‘Godbless’ di tahun 90-an sejatinya hanya menggunakan gitar akustik, segera menghampiri personel band pengiring yang memainkan instrumen gitar.

“Bang, boleh kasih aku kunci A?” tanya Dion yang menginginkan lagu itu diiringi dengan nada sedikit lebih tinggi dari biasanya, yakni nada dasar “G”. Pria itu menyanggupi permintaan Dion dengan menganggukkan kepala sambil memberikan tanda jempol.

Tak butuh waktu lama bagi Dion untuk memukau para penontonnya. Dalam satu bait saja, para penonton sudah terpesona mendengar suara Dion yang maskulin serak-serak basah, bertenaga, tegas dan konsisten.

Dion tampak sangat menguasai panggung meskipun dengan gaya sederhana. Memegangi mic di tangan kanan sementara tangan kirinya menepuk-nepuk paha mengikuti ketukan gitar.

Sesekali ia mengayunkan bahu dan kepalanya mengikuti alunan gitar sambil memberi tatapan lugu ke arah penonton, mirip tatapan seorang bocah cilik yang sedang serius menyanyi.

Hati Meyleen berdesir ketika Dion melemparkan pandangan ke arahnya. Bagi Meyleen, Dion tampak berbeda. Pemuda yang sedikit pemalu dan rendah hati itu kini tampak sangat berkarisma di atas panggung, bak seorang superstar yang mempunyai kemampuan menguasai panggung dan keadaan di sekitarnya.

“Siapa sebenarnya si Dion ini?” tanya Meylen dalam hati. Ia merasa Dion kian misterius. Tadi ia sempat khawatir ketika Dion tiba-tiba dipilih menggantikan Candra untuk mengikuti kontes menyanyi. Tapi kini ia justru merasa kecil di hadapan pemuda itu.

“Jangan-jangan aku sudah jatuh hati padanya,” pikir Meyleen melamun sambil memberi tatapan kagum pada Dion yang bernyanyi.

Para penonton semakin terpukau ketika Dion menyanyikan bagian reff lagu itu. Tak hanya mampu mencapai nada tinggi dengan suara serak-serak basahnya, Dion juga memiliki kontrol suara yang sangat konsisten dan penjiwaan terhadap syair lagu.

Di akhir nyanyian suasana hening sejenak dan tiba-tiba riuh oleh tepuk tangan. Para penonton kagum dengan penampilan Dion yang jelas berbeda dari para peserta sebelumnya.

Tak terkecuali Wulan. Ia bahkan sampai berdiri untuk memberi aplaus pada Dion. “Sulit dipercaya Dion bisa menyanyi sebaik itu,” puji Wulan berkomentar.

“Apa kubilang tadi? Apa Wulan sekarang percaya?” Felix menyahuti komentar Wulan.

“Sorry! Cuma segitu? Kenapa sudah selesai? Aku baru meminum kopiku dan melihat namamu di daftar peserta, tiba-tiba lagunya sudah habis,” ketus seorang wanita di meja terdepan yang bertindak sebagai ketua juri.

“Lagunya memang pendek, Bu,” timpal pria paruh baya di samping wanita tadi. Pria itu juga bertindak sebagai juri.

“Dion Manasseh. Lho, bukannya kamu yang tadi juga menang marathon?” tanya wanita itu ketika memeriksa nama peserta di daftar di tangannya.

Dion tahu juri wanita itu sangat bawel dan kerap memberi komentar pedas pada kontestan-kontestan sebelumnya.

“Iya Ibu. Itu saya,” jawab Dion.

“Sepertinya kamu harus memilih lagu lain deh. Atau kamu bisa turun sekarang, itu pilihanmu. Tapi aku tak bisa memberimu nilai karena tadi tidak sempat menyimak penampilanmu,” ujar sang juri wanita yang belakangan diketahui Dion bernama Wanda. Komentar itu disambut sorakan protes para penonton.

Sembari mendengarkan kata-kata juri itu, Dion sempat menatap ke arah Reinhard yang duduk di baris kedua. Ia melihat pria itu kembali memberinya tatapan sinis, entah untuk yang keberapakalinya hari itu.

“Baiklah Bu! Saya akan cari lagu lain,” Dion mengalah dan mendekati pemandu acara yang menyodorkan daftar lagu pilihan bagi Dion. Dion sebenarnya tahu bahwa sang juri berbohong karena tadi ia sempat melihatnya serius menyimak nyanyian.

Dion sempat tergoda untuk memilih lagu ‘Heaven’-nya Bryan Adams tapi malah memutuskan lagu ‘Ningrat’ milik Jamrud karena sedang memikirkan atau teringat akan sesuatu. Beberapa hari lalu ia menyanyikan lagu itu bersama Andi, Hendrik dan Surya ketika merayakan ulang tahun Tria.

Ia lalu menunjukkan lagu itu pada pemain instrumen keyboard. Pria itu menyanggupinya dengan mengangguk. “Bang, boleh pinjam kacamatanya? Biar mirip-mirip Krisyanto,” canda Dion. Pria itu tertawa sambil memberikan kacamata hitam yang tersemat di rambutnya.

Sambil mengenakan sport sunglasses itu, Dion menerima sodoran microphone dari pemandu acara dan meletakkannya pada tongkat stand. Mengetahui Dion akan kembali bernyanyi, para penonton pun bersorak gembira.

Dion yang kini sudah mengenakan kacamata hitam membuat para penggemar dadakan Dion kembali histeris.

Sebelum bernyanyi, terdengar petikan gitar elektrik melengking, seolah memberi Dion panduan nada.

“Macarin kamu nggak jauh beda dengan main ludruk.”

Dion memulai nyanyiannya dengan suara serak lantang membuat penonton bersorak. Meskipun berkarakter berbeda dengan penyanyi aslinya yang juga bersuara serak, suara Dion juga terdengar pas dengan lagu itu.

“Biar  ortumu seneng, paklek-mu seneng, uda -mu seneng, tulang-mu juga seneng.”

Nyanyian Dion membuat suara riuh heboh. Apalagi ketika Dion mengganti ‘budhe’ dengan ‘uda’, dan ‘mbah’ dengan ‘tulang’ yang merupakan panggilan paman dalam bahasa Tapanuli membuat orang-orang Batak tertawa terbahak-bahak.

Dion yang sengaja mengganti lirik itu, menyanyikannya sambil mengarahkan tatapan ke arah Reinhard, tulang-nya Wina. Tak ayal sindiran itu membuat wajah Reinhard memerah karena malu bercampur marah.

Meskipun tidak menirukan suara kerbau, Dion menyanyikan bait kedua dengan menutup salah satu hidungnya dan menjauhkan wajahnya dari micropohone, menirukan suara Krisyanto yang menyanyi menggunakan megaphone. Cara kreatif itu tak hanya membuat penonton kembali tertawa tapi juga kagum dan gembira.

Dion senang ketika para personel band membantunya untuk mengisi bagian lirik ‘yaya yaya hu hu’. Sambil tersenyum Dion memberikan jempolnya pada pemain musik di belakangnya sebagai bentuk apresiasi.

Setelah mengayunkan bahu dan kepalanya mengikuti alunan tabuhan drum, ia melanjutkan nyanyiannya. Ia terus saja mengganti ‘budhe’ dan ‘mbah’ dengan kata ‘uda’ dan ‘tulang’. Setiap kali menyanyikan lirik itu, matanya sengaja ia arahkan pada Reinhard.

Para penonton, terutama wanita tak bisa menahan diri untuk tidak ikut bergoyang atau mengayunkan bahu menirukan gerakan Dion dan mengikuti alunan musik.

“Dion… Dion… Kowe iki sopo? Wani-wanine macari ponakanku. Lha, piye to?”

Dion mengisi bagian monolog pada lagu itu dengan mengganti ‘Tole’ dengan namanya sendiri. Dion yang memang bisa berbahasa Jawa melakukannya dengan sangat baik. Bahkan lebih ‘medhok’ ketimbang Krisyanto, vokalis Jamrud, membuat penonton senang dan tertawa.

“Wis sekola'e ora tekan S1, gayane ndeso, kere ora duwe dhuwit. Dasar kecoak kampung!”

Dion mengisi monolog sambil menunjuk-nunjuk ke arah penonton, atau lebih tepatnya ke arah Reinhard dengan gaya badboy atau preman membuat penonton tertawa geli.

Sementara Reinhard semakin tak kuat menerima sindiran yang terus menerus ditujukan padanya. Kalimat ‘dasar kecoak kampung’ membuat jantungnya berdegup kencang karena kaget dan khawatir. Reinhard lalu berdiri dan meninggalkan tempat duduknya.

Di meja lain, Sutan tak henti-hentinya tertawa melihat Dion bernyanyi. “Harusnya jadi artis si Dion ini,” komentarnya singkat pada Amri dan istrinya.

“Ini lagu kisah nyata si Dion! Abang lihat orang yang berdiri itu, itu paman pacar Dion yang dulu,” ujar Amri serius sambil menunjuk ke arah Reinhard yang berdiri dan meninggalkan tempat itu.

“Kok Adinda tau?” tanya istri Sutan pada Amri.

“Aku baru tahu tadi, Kak. Pria itu meludah ketika berpapasan dengan Dion. Waktu aku tanya, si Dion bilang, pria itu tulang si Wina, mantan pacarnya,” jelas Amri membuat Sutan dan istrinya terheran-heran.

Meyleen yang juga duduk di meja yang sama coba menangkap isi perbincangan itu meskipun tak sepenuhnya paham, karena selain tak mengerti Bahasa Jawa, ia juga tak mengerti istilah Tapanuli yakni ‘uda’ dan ‘tulang’ yang dinyanyikan Dion.

Sementara di atas panggung, Dion merasa puas bisa mengusili Reinhard. Hatinya gembira melihat paman Wina itu tak kuat dan akhirnya meninggalkan tempatnya. Dion pun semakin bersemangat melanjutkan nyanyiannya dengan perasaan bebas.

Ia mengerahkan seluruh napas menyanyi hingga wajahnya tampak memerah. Tindakannya itu justru membuat para penonton wanita gemas.

Sampai akhir lagu, ia tetap menyanyi dengan konsisten dan penuh semangat. Ia menggabungkan suara dengan para personel band yang mengisi lirik ‘yaya yaya hu hu’ di akhir lagu.

“Dion! Dion! Dion!” teriak para wanita yang gembira memberi aplaus pada penampilan Dion. Teriakan itu dimaksudkan untuk memberi tekanan pada juri untuk jujur mengakui penampilan apik pemuda itu.

“Kalu bagini, su tau pemenangnya,” celetuk Wanda sang ketua juri dengan logat Indonesia Timur. “Iya deh, saya mengakui kamu berbeda kelas dari para kontestan sebelumnya.”

 “Oh ya, kamu ini orang Jawa yah?” tanya Wanda yang penasaran dengan logat medhok Dion mengisi monolog tadi.

“Ora, Bu! Aku dudu wong Jowo. Orang Indonesia, Bu!” sahut Dion dengan logat Jawa.

“Maklumlah, orang kan dinilai dari gaya bicaranya,” Wanda seperti ingin meminta maaf sambil memeriksa kertas di hadapannya.

“Se pung cara bicara biking beta yakin ale dar Ambon,” Dion kini menggunakan logat Melayu-Ambon menarik perhatian Wanda.

“Wah, skarang se bicara Ambon. Nyong Maluku kah? Berarti sama-sama orang timur, saya Minahasa,” sahut Wanda membuat beberapa penonton yang berasal dari timur Indonesia gembira.

“Wah, Kawanua kote’, pantas pe gaga’. Nyanda ibu, kita bukang nyong Ambon mar bukang Minahasa ley,” ujar Dion berganti aksen, kini menggunakan Melayu-Manado.

“Ee, berani gombal pa kita deng logat Manado! Kita ini so tanta. Serius, Dion asli mana?” tanya Wanda dengan nada serius.

“Asli sini kok. Sebe atau bapak Tapanuli, ajus atau ibu Melayu. Maaf ibu, bukang ta pe salah, toh? Kita nintau kalu so tanta, soalnya dapa lia nona-nona,” jawab Dion membuat para penonton tertawa riuh karena kata-kata gombal Dion.

Seorang perwira Polri yang duduk di barisan depan memberikan jempol pada Dion sambil tertawa keras. Sepertinya ia juga berasal dari Minahasa.

Sementara itu Sutan tertawa geli mendengar kalimat Dion tapi juga antusias mengetahui kalau ternyata Dion mempunyai darah Melayu. “Lho, Si Dion itu ternyata setengah Melayu,” katanya pada istrinya.

“Gombal! Pacar kamu yang mana? Ayo ada yang tahu siapa pacar si Dion ini?” tanya Wanda pada para penonton sambil berdiri.

Suasana menjadi riuh membingungkan karena sebagian orang menunjuk ke arah Meyleen yang duduk bersama Amri dan keluarga Sutan, sementara sebagian lagi menunjuk ke arah Astrid yang sedang duduk bersama Kiki dan Walikota di meja terpisah.

“Ha? Yang benar yang mana? Tak mungkin punya pacar dua orang,” ujar Wanda bingung.

“Itu lah yang membuat saya bingung, Ibu. Keduanya sama-sama cantik kan? Nah sekarang tambah bingung, soalnya Ibu juga cantik, pilihannya jadi tiga,” jawab Dion membuat semua orang tertawa terbahak-bahak. Wajah Wanda bersemu merah, entah karena malu atau karena pujian Dion.

“Kita so bole turun panggung ibu?” tanya Dion kemudian.

“Bole. Ngana ini pang gombal, kang?” sahut Wanda yang masih terbuai oleh pujian Dion.

“Mar… Ibu nya’ rindu deng tinu’?” tanya Dion menghentikan langkahnya yang tadi sempat hendak mengembalikan kacamata hitam kepada pemain keyboard. Pertanyaan itu kembali menarik perhatian Wanda dan menatap pada Dion menunggu pemuda itu melanjutkan kalimatnya.

“Kita tau tampa jual tinutuan sadap, lengkap deng nike, dabu-dabu roa. Brenebon ley ada,” tambah Dion membuat beberapa orang yang bersuku Minahasa berseru gembira, bukan hanya karena Dion menyebut makanan tradisional mereka, tapi juga senang karena tak menyangka akan mendengar pembicaraan berlogat Melayu-Manado di tengah Kota Medan.

“Wah! Kita baru tau ada tampa jual tinu di Medan. Mar kita nimau makang sandiri, musti batamang akang. Dion mo ajak tanta kencan kah?” tantang Wanda penasaran.

“Kan dorang nintau kalu so tanta. Masih seperti gadis yang baru tamat kuliah!” sahut Dion sambil mengembalikan microphone pada pemandu acara. Kata-kata Dion membuat para pria bersorak gembira.

“Pi jo katu, Ibu!” teriak perwira polisi yang sedari tadi tertawa geli karena dialog Dion dan Wanda. Teriakan itu juga ditimpali teriakan orang-orang Minahasa yang menyerukan agar Wanda berkencan dengan Dion.

“Kencan! Kencan! Kencan!” teriak mereka serempak yang kontan saja diikuti penonton lain meskipun tak sepenuhnya memahami isi pembicaraan Dion dan Wanda.

“Panitia, tolong minta nomor telepon pemuda itu. Saya akan ada kencan!” seru Wanda yang merasa terdesak membuat semua orang kembali tertawa.

“Tak menyangka kalau si Dion ini ternyata penggombal ulung,” Sutan berkomentar sambil tertawa pada Amri.

“Dia natural entertainer. Kontes yang tadi membosankan jadi meriah,” imbuh istri Sutan sambil bertepuk tangan ketika Dion menuruni pentas.

Seperti dugaan semua orang, Dion memenangkan kontes itu dan berhak atas trofi dan sejumlah tabungan.

“Untuk tahun berikut, kita harus membatasi partisipasi Dion. Kalau tidak dia akan memenangkan semuanya,” kata Kiki mengundang tawa para penonton ketika memberikan hadiah pada Dion.

Bagi rekan-rekan sekantornya, hari itu adalah harinya Dion. Tapi bagi Dion, hari itu adalah hari pelampiasan kekesalan pada Reinhard yang dianggapnya berkontribusi pada berakhirnya hubungannya dengan Wina.

Ketika menerima trofi, Dion sempat mencari-cari sosok Reinhard untuk kembali mengusili paman Wina itu, tapi tak menemukannya di deretan kursi.

Dion kemudian menghampiri meja Amri dan menyerahkan trofi yang ia terima itu kepada atasannya. “Trofi kedua kantor kita, Bang!”

Untuk beberapa saat, Dion bercengkerama bersama dengan Sutan dan istrinya yang menyelamati Dion.

Pemandangan itu kembali memunculkan bisik-bisik miring pada beberapa orang. “Lihat itu. Mau bukti apa lagi. Sutan hanya memanfaatkan lomba ini untuk mulai memperkenalkan keponakannya itu ke publik. Tak lama lagi, pemuda itu akan memimpin sebuah organisasi untuk kemudian terjun ke dunia politik,” bisik seorang pria paruh baya berpakaian pegawai negeri pada rekannya.

“Biarlah Bang. Walaupun aku sering berbeda pilihan dengannya, tapi aku hormat karena Sutan tak pernah terlibat skandal korupsi,” sahut temannya yang juga mulai meyakini bahwa Dion adalah keponakan Sutan. Apalagi tadi Dion mengaku memiliki ibu Melayu, suku yang sama dengan Sutan.

“Bah, untuk apa korupsi? Ia hanya perlu memanfaatkan pengaruh politiknya untuk mempermudah perluasan bisnis keluarga. Semuanya demi uang, Bung!” kata pria itu lagi masih setengah berbisik.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!