Selama empat generasi keluarga Dion mengalami fenomena 'tading maetek' atau ditinggal mati oleh orang tua pada usia dini. Tapi seorang yatim juga sama seperti manusia lainnya, mereka jatuh cinta. Dion menaruh hati pada seorang gadis dari keluarga berada dan berusia lebih tua. Cintanya berbalas tapi perbedaan strata sosial dan ekonomi membuat hubungan mereka mendapat penolakan dari ibu sang gadis. Dengan sedikit yang ia miliki, Dion tak cuma menghadapi stigma tapi juga perubahan zaman yang menuntut adaptasi, determinasi dan tantangan moral.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25: ICU
Wina bersemangat menunggu jemputan Dion di depan kompleks rumahnya. Mereka berencana menghabiskan hari libur Sabtu pagi dengan latihan menyanyi bersama si kembar. Namun setelah satu jam ia tak juga melihat tanda-tanda kedatangan kekasihnya itu.
Wina pun kembali ke rumahnya karena mengira Dion pasti menelepon ke sana. Ia bertanya kepada Mbak Ria dan Mbak Sari kalau-kalau Dion menelepon, tapi mereka mengatakan bahwa telepon tidak berdering pagi itu.
“Mungkin motornya rusak mendadak,” batin Wina.
Sore harinya, Wina yang tak juga mendapatkan kabar mulai khawatir. Ia berharap Dion akan menelepon untuk memberi kabar. Hingga lewat tengah malam, Wina yang masih terjaga mencoba berpikir positif. “Mungkin ada temannya yang jatuh sakit mendadak,” pikirnya dalam hati.
Minggu pagi, Wina tak juga mendapat kabar. Ia memang tak mengharapkan Dion datang ke rumahnya karena selama ini kekasihnya itu tak pernah mengunjunginya pada hari Minggu.
Sepulang dari Misa Minggu, ia kembali menanyakan kepada Mbak Ria apakah Dion sudah menelepon tapi ia menjawab tidak.
Wina yang penasaran sempat berniat mengunjungi rumah Dion siang itu tapi ia mengurungkan niatnya. Ia lalu memutuskan akan menelepon ke kantor Dion pada sore harinya.
Tak sabar, Wina menelepon kantor Dion meskipun belum yakin apakah kekasihnya itu sudah tiba di sana atau belum. Tapi jawaban operator telepon membuat Wina kaget setengah mati.
“Lho, Mbak Wina tidak tahu? Dion ada di rumah sakit. Kritis dan belum sadarkan diri,” ungkap petugas sekuriti yang juga bertindak sebagai operator telepon.
Kata-kata itu membuat tubuh Wina lemas dan tangannya bergetar. “Kritis tak sadarkan diri? Apa Dion sakit?” tanya Wina heran karena pada pertemuan terakhir, Dion terlihat baik-baik saja.
“Iya Mbak, tapi bukan karena sakit. Ada upaya pembunuhan,” jelas pria itu.
Sambil berusaha menenangkan diri Wina menanyakan rumah sakit tempat Dion dirawat.
Wajah Wina pucat pasi. Tangannya gemetar ketika menutup telepon. Ia terdiam beberapa saat.
“Mbak Ria! Oppung!” Wina berteriak keras membuat seisi rumah kaget, termasuk Rosita yang saat itu berada di lantai dua menonton tayangan telenovela sore.
Mbak Ria dan Mbak Sari dengan setengah berlari mendekati Wina yang duduk di samping meja telepon dengan wajah pucat pasi.
“Iya Mbak?” Mbak Ria menyahuti panggilan itu.
“Mbak Ria temanin Wina ke rumah sakit yah, Dion sakit,” kata Wina.
“Ha? Sakit apa si Dion?” tanya Oppung yang sudah tiba di ruangan itu. Ia juga kaget ketika mendengar teriakan Wina.
“Kata orang di kantornya, Dion sedang sekarat. Seseorang coba membunuhnya,” jelas Wina membuat Oppung, Mbak Sari dan Mbak Ria kaget.
“Wina mau ke rumah sakit. Duh, bagaimana Dion Oppung? Kasihan dia! Siapa yang akan menolongnya? Ia tak punya keluarga,” keluh Wina dengan kalimat-kalimat pendek.
“Sudah jangan panik. Ayolah kita tengok siapa tahu dia perlu bantuan. Mudah-mudahan tidak apa-apa,” ujar Oppung lalu meminta Mbak Sari dan Mbak Ria bersiap. Mbak Sari yang menjadi asisten utama Oppung segera paham apa-apa yang perlu dipersiapkan bila Oppung keluar rumah.
“Gideon Manasseh,” sahut Wina menjawab pertanyaan petugas penerima tamu di rumah sakit.
“Pasien atas nama Gideon Manasseh sedang dirawat di ruang ICU. Beberapa jam lalu dia menjalani operasi kraniotomi, mengeluarkan gumpalan darah dari kepala. Mbak dan keluarga bisa menunggu di lobi depan ICU,” jelas petugas itu.
Keempatnya pun bergegas menuju lobi ICU. Di ruang tunggu itu, Wina mendapati beberapa orang sedang duduk menunggu, termasuk si kembar Oscar dan Tian.
“Di mana abang kalian?” tanya Wina kepada si kembar usai membalas sapaan mereka.
Oscar lalu menunjuk pintu sebuah ruangan di depan mereka.“Abang masih di dalam Kak. Masih belum sadar,” jawab Oscar lesu membuat lutut Wina terasa lemas.
Wina ditemani Oppung dan Mbak Ria kemudian mendatangi pintu itu. Ia tahu, pengunjung tidak diperbolehkan masuk. Wina coba melihat melalui kaca pintu tapi tak mendapati pemuda itu di sana karena semua tempat tidur disekat tirai biru.
Ketika seorang petugas keluar dari ruangan, Wina meminta keterangan apakah Dion berada di sana. Petugas wanita itu menganggukkan kepala dan segera mengerti mereka ingin melihat kondisi pasiennya.
“Saya akan singkap tirainya beberapa saat,” ujar petugas itu lalu kembali menutup dan mengunci kamar dari dalam. Ia lalu menggeser tirai yang melingkari sebuah tempat tidur terdekat ke pintu.
Melalui kaca pintu, Wina melihat Dion yang berbaring tak sadarkan diri dengan alat bantu pernapasan di mulutnya. Badannya juga ditempeli alat monitor tanda vital. Meskipun hampir seluruh kepala Dion tertutup perban, namun Wina masih bisa mengenali kekasihnya itu.
“Dion! Dion!” seru Wina sambil memegangi kaca pintu itu. Tak kuat menahan guncangan, Wina lalu terkulai jatuh, pingsan. Beruntung Mbak Ria yang berada di sampingnya segera menahan tubuh Wina hingga tak sampai jatuh ke lantai.
Setelah beberapa lama, Wina tersadar. Ia mendapati dirinya sedang dikerubungi beberapa orang, termasuk Oppung.
Perawat yang memegangi lengannya lalu memberi segelas air putih. “Sabar yah! Tenangkan dirimu.” Perawat paruh baya lalu sambil memasang tensimeter ke lengan Wina.
“Setelah ini, dokter ingin bertemu dengan keluarga pasien. Jadi Mbak harus tenang dan sabar,” perawat mengulangi kalimatnya.
Merasa tidak menemukan sesuatu yang mengkhawatirkan, perawat itu kemudian mengantarkan Wina dan Oppung ke ruang dokter yang menangani Dion.
Mereka kemudian dipersilahkan duduk oleh dokter itu. “Saya Dokter Thomas. Apa ibu dan mbak keluarganya Gideon Manasseh?” tanyanya sambil memeriksa berkas di depannya.
“Dion tak memiliki keluarga. Dia yatim piatu,” sahut Wina.
Dokter menatap Wina dan Oppung untuk sesaat lalu melanjutkan pertanyaannya, “Maaf, boleh tahu Mbak dan Ibu ini punya hubungan apa dengan pasien saya?”
“Saya pacarnya dan ini nenek saya,” jelas Wina.
“Oh. Pasien belum memiliki wali. Jadi saya akan anggap Mbak dan Ibu adalah keluarga pasien sampai ada perkembangan selanjutnya,” ujarnya lalu melepas kacamata baca dan meletakkan berkas di tangannya.
“Kenapa dengan Dion, Dok?” tanya Oppung.
“Pasien mendapat beberapa luka dan trauma di sekujur tubuhnya. Saya tidak bisa pastikan bagaimana ia mendapat luka-luka dan trauma itu. Setelah mendapat perawatan, dia tak juga sadarkan diri. Kami lalu melakukan CT Scan dan menemukan gumpalan darah di kepalanya. Dan kami melakukan operasi untuk mengeluarkan darah itu tadi pagi.”
“Dalam beberapa jam ini, kami melihat tanda-tanda vitalnya terus membaik. Kalau ini berlanjut, ia akan segera dipindahkan dari ICU dan kita harap akan segera sadar,” Dokter Thomas menjelaskan keadaan Dion.
“Bagaimana dengan biayanya dokter?” tanya Oppung.
“Ah mengenai biaya, ibu bicara saja dengan administrasi kami. Tapi menurut data pada saya, sebagian biaya sudah dibayar. Untuk detilnya, administrasi kami yang lebih mengetahui,” jelas Dr Thomas.
“Mungkin sebaiknya Ibu dan Mbak pergi ke administrasi. Lagipula ada pihak petugas yang mungkin ingin meminta keterangan dari orang dekat pasien,” tambah Dokter lalu mempersilahkan Wina dan Oppung meninggalkan ruangan itu.
Di ruang administrasi, Wina dan Oppung menemui seorang pria yang mengaku sebagai pimpinan di kantor Dion.
“Aku Syamsuddin. Aku pemimpin redaksi di tempat Dion bekerja,” katanya memperkenalkan diri pada Oppung dan Wina.
“Syukurlah Mbak dan Ibu ada di sini. Kami sudah membayar sebagian biaya perobatan tapi kami kesulitan memenuhinya apalagi ini akhir pekan. Kami rekan-rekan kerja Dion membayar secara berurunan,” terang Syamsuddin.
“Terima kasih Pak! Biarlah dari sini saya yang menangani biayanya,” kata Oppung.
Jam delapan malam itu, akhirnya Dion dipindahkan dari ruang ICU pertanda ia sudah melewati masa-masa kritis meskipun belum sadar dari pingsan.
Petugas yang menyelesaikan proses pemindahan itu lalu mempersilahkan Wina dan Oppung mendekatinya. Melihat kondisi Dion, Wina tak kuasa menahan kucuran air matanya. Tapi Oppung kemudian mengingatkannya untuk tetap mengendalikan diri.
Karena malam semakin larut, Wina kemudian meminta Oppung dan Mbak Sari pulang ke rumah. “Biarlah Wina dan Mbak Ria yang menunggui Dion. Oppung pulang lah beristirahat. Lagipula ada Oscar dan Tian di sini.”
“Kami pulang yah. Besok pagi kami akan datang lagi,” ujar Oppung sebelum meninggalkan ruangan itu bersama Mbak Sari.
Berhubung Minggu Paskah, kampus Wina dan sekolah Oscar-Tian memang diliburkan seminggu penuh seperti kebanyakan sekolah-sekolah yang berada di bawah yayasan pendidikan Kristen.
...***...
Sepanjang malam Wina menunggui Dion dengan duduk di samping ranjang kekasihnya itu. Ria sudah tampak tertidur di ranjang sebelahnya sementara Oscar dan Tian memilih tidur di lobi rumah sakit. Terdapat empat ranjang di kamar Dion dirawat. Dua diantaranya kosong sementara yang satu lagi dihuni seorang ibu yang dijagai oleh keluarganya.
Wina yang mulai diserang kantuk sejenak melirik ke arah jam di lengan kirinya. “Ternyata sudah hampir jam 4 pagi, pantas rasanya mengantuk sekali,” pikir Wina lalu meraih botol mineral yang ia letak di meja nakas samping ranjang Dion.
Wina baru saja hendak minum dari botol itu ketika menyadari kepala Dion bergerak dan mengeluarkan kata-kata tak jelas karena mulutnya dipasangi alat bantu pernapasan.
“Dion! Dion!” panggil Wina tapi pemuda itu masih mengerang dengan mata tertutup. Wina lalu bergegas memanggil petugas.
“Suster, Dion sudah bangun tapi matanya masih tertutup!” serunya pada perawat yang berjaga di pos. Dua petugas lalu mengikuti Wina memasuki kamar Dion.
Tak mendapati tanda-tanda bahaya di monitor, salah seorang perawat lalu berkata, “Ia mulai sadar. Aku akan panggilkan dokter.”
Dion masih mengerang beberapa kali ketika akhirnya mulai membuka mata. Butuh beberapa saat sebelum akhirnya ia benar-benar bisa melihat keadaan di sekitarnya.
Ia menatap Wina yang duduk di samping ranjang sedang menatapinya sendu. Melihat wajah kekasihnya dalam keadaan sembab, Dion menjadi heran. Ia semakin bingung ketika menyadari mereka berada di tempat yang tidak dia kenali.
Ia coba memeriksa sekeliling ruangan tapi rasa sakit di sekujur tubuh menghentikannya. Kepalanya juga mendadak pusing. Dion menutup mata sejenak dan berusaha bangkit tapi tangan perawat segera menahannya. Perawat itu kemudian melepas alat bantu pernapasan Dion memberi pemuda itu kesempatan berbicara.
“Wina, kita di mana?” tanyanya lirih dengan mata tertutup menahan rasa sakit.
“Di rumah sakit,” sahut Wina.
Melihat wajah lebam dan mata kanan Dion yang bengkak memerah, Wina kembali menangis.
“Iya kamu sedang sakit. Jadi istirahat dulu, tiduran saja. Minumlah dulu,” kata perawat itu menyodorkan air minum dengan bantuan sedotan. Dion yang merasa sangat haus menerima sodoran itu.
“Wina kenapa menangis?” tanya Dion yang kembali membuka matanya menatap kekasihnya.
“Dia nggak kenapa-kenapa, kamu yang kena apa-apa. Kamu lagi sakit. Dokter akan segera datang jadi cobalah tiduran lagi, nanti baru boleh cerita,” perawat coba menenangkan lalu kembali memasangkan alat bantu pernapasan pada Dion.
Perawat kemudian mempersilahkan Wina duduk lebih dekat. Ia menaikkan sandaran tempat tidur Dion itu agar keduanya bisa saling berpandangan. Ia bahkan membantu memiringkan kepala Dion agar memiliki sudut sempurna.
“Dokter sedang kemari, kalian boleh pandang-pandangan. Jangan mikir macam-macam dulu yah!” ujarnya.
“Kak, senyumlah! Beri dia semangat!” bisik perawat pada Wina. Mendengar anjuran itu, Wina pun buru-buru mengeringkan air matanya, memperbaiki rambut dan melempar senyum pada Dion. Wina masih tak mengerti apa yang terjadi pada kekasihnya.
Tak lama kemudian Dokter pun tiba. Wina segera menjauh dari ranjang memberi ruang pada dokter dan para petugas untuk bekerja memeriksa dan merawat Dion.
Setelah serangkaian tes dan pemeriksaan, Dokter kemudian meminta Wina agar tetap membiarkan Dion istirahat.
“Tim dokter akan datang pagi ini untuk memeriksa kelanjutannya. Sebaiknya Mbak istirahat juga,” saran Dokter sesaat sebelum meninggalkan ruangan itu.
Dion masih memandangi Wina yang duduk di sampingnya. Tak ada yang bisa ia lakukan meskipun sangat ingin berbicara pada gadisnya itu. Dion menggerak-gerakkan tangan kanannya berusaha meraih Wina. Mengerti isyarat itu, Wina lalu memberikan tangannya untuk digenggam oleh Dion.
Dion yang merasa damai melihat senyuman dan merasakan genggaman tangan Wina akhirnya menyerah pada rasa kantuk yang menyerang akibat pengaruh obat penahan rasa sakit.
Ia pun tertidur.