Tiba-tiba saja nenek menyuruhku menikah dengan pria kurang mapan. Aku adalah seorang wanita yang memiliki karier mapan!! Apa yang harus aku lakukan? Kenapa nenek memilih laki-laki dibawah standarku? Apa sebenarnya tujuan nenek?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ErKa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 25 - Tamu Datang
Rizal merasa hubungannya selangkah lebih maju. Meskipun
istrinya itu belum bisa menerimanya seratus persen, tapi setidaknya masih ada
kesempatan baginya untuk mendekati istrinya dengan persetujuan.
Hari itu Rizal langsung menghubungi nenek, menanyakan segala
hal yang disukai dan tidak disukai Tia. Dia berusaha mengingat segala saran
yang diberikan nenek dan mencoba untuk mengatur strategi.
Sore itu Rizal kembali menunggu istrinya di depan kantor. Dia
sengaja berangkat lebih awal karena takut kecolongan. Jam lima lebih sedikit,
dia melihat istrinya keluar dari gedung kantornya. Dengan semangat empat lima Rizal
mendekati istrinya.
“Kok tumben pulangnya on time Dek?” Tia tidak menjawab.
Wajahnya terlihat pucat, keringat dingin mulai bermunculan di wajah cantiknya.
“Ada apa Dek? Kok wajahmu pucat?? Sakit kah??” Rizal
menjulurkan tangannya, memegang kening Tia yang berkeringat dingin.
“Keningmu dingin banget Dek, ada apa Dek?? Mananya yang
sakit??” Rizal bertanya dengan sangat khawatir.
“Gak apa-apa Mas…” Tia menepis tangan suaminya, tapi Rizal
tetap memegang tangannya.
“Ada apa?? Bilang ke Mas.” Rizal tetap memaksa, memandang
wajah Tia dengan serius. Akhirnya dengan malu-malu dan menahan sakit Tia
menjawab juga.
“Biasa Mas, tamu bulanan…” Tia memalingkan wajahnya. Serasa
tidak punya muka ketika mengatakan hal itu pada Rizal.
“Hah?? Tamu?? Tamu apa Dek?? Tamu bulanan?? Hah??” Seperti
orang bodoh Rizal kebingungan, baru setelah beberapa saat dia baru mengerti
bahwa istrinya itu sedang menstruasi. Dia seorang anak yatim piatu, tidak
pernah dekat dengan wanita secara intens jadi dia sama sekali tidak tahu harus
bersikap seperti apa menghadapi istrinya yang sedang datang bulan ini.
“Ayo pulang Mas…” Tia merengek lemah. Sepertinya benar-benar
kesakitan. Jarang sekali Rizal mendengar nada suaranya yang lemah seperti
sekarang ini.
“Sakit banget ya Dek?” Rizal bertanya prihatin yang dijawab
anggukan kepala lemah. Setelah membantu istrinya naik ke atas motor dengan
aman, Rizal melajukan motornya pelan-pelan. Dia berharap guncangan motor yang
pelan agak meminimalkan rasa sakit pada istrinya. Ketika meihat apotek, Rizal
memutuskan untuk mampir dan membeli obat untuk istrinya.
“Dek, tiap bulan selalu sakit seperti ini?” Tia hanya
mengangguk lemah.
“Biasanya Adek minum apa? Biar Mas belikan obatnya…” Tia
menggelengkan kepalanya, pertanda menolak untuk dibelikan obat.
“Biasanya kalo sakit gini Adek ngapain biar sakitnya
berkurang?” Rizal bertanya dengan nada yang lebih khawatir.
“Pulang aja Mas, pengen segera tiduran dikasur…” Tia mulai
menarik-narik baju Rizal.
“Bentar ya sayang, Mas belikan obat pereda sakit dulu. Bentar
ya…” tanpa persetujuan Tia, Rizal masuk ke apotek secepat kilat. Dia tidak tega
meninggalkan istrinya terlalu lama. Tidak sampai lima menit, dia pun kembali.
“Ayo sayang, Kita pulang.” Rizal memapah istrinya dengan
lembut, membantunya naik ke atas motor. Tia hanya terdiam, menuruti semua
perlakuan Rizal padanya. Dia sudah tidak peduli Rizal memanggilnya apa. Rasa
sakit pada perutnya lebih memerlukan perhatian daripada sekedar mengkoreksi
panggilan sayang yang diucapkan Rizal.
Sesampainya diirumah, Rizal segera memapah istrinya ke kamar.
Setelah bertanya ini-itu namun tidak dijawab oleh istrinya, akhirnya dia
menelpon nenek untuk bertanya segala hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi
rasa sakit ketika menstruasi.
Dengan sigap Rizal segera melaksanakan saran-saran dari
nenek. Pertama-tama dia merebus air hangat, setelah dirasa panasnya cukup, dia
memasukkan air itu ke dalam botol kaca. Dengan tergesa-gesa dia berlari ke
kamar istrinya.
“Dek, kata nenek perutnya dikompres pake air hangat ya biar
sakitnya berkurang.” Dengan lembut Rizal menyentuh bahu Tia, yang terlihat
menekuk badannya untuk mengekpresikan kesakitannya. Tia meluruskan tubuhnya,
berbalik dan mulai terlentang. Rizal sangat canggung dan bingung. Sebenarnya
dia tidak keberatan bila harus mengompres perut istrinya secara langsung. Toh
wanita ini adalah wanita yang sangat dicintainya, jadi apapun akan dilakukannya
untuk mengurangi rasa sakitnya.
“Minta tolong Mas…” Suara Tia terdengar lirih. Sepertinya dia
sudah tidak memilik rasa malu lagi. Rasa sakit sudah mengikis rasa malu dan
harga dirinya yang tinggi. Mendengar lirihan suara Tia, dengan cepat Rizal
mengambil botol air panas dan menempatkan di perut istrinya.
“Aduh… terlalu panas Mas…” Tia menjerit kecil. Dengan rasa
bersalah Rizal menjauhkan botol itu dari tubuhnya, kemudian dia mulai
membungkus botol itu dengan kain. Setelah di rasa panasnya mulai berkurang,
kembali dia meletekkan botol itu di atas perut istrinya dengan pelan dan
lembut.
“Sebelah sini Mas…” Tia memegang tangan Rizal yang sedang
memegang botol air panas. Dipegang seperti itu membuat Rizal gugup. Andai saja
istrinya itu tidak sedang dalam kesakitan, mungkin dia sudah menerkam wanita
imut itu. Tapi Rizal berusaha menghalau nafsunya yang menggebu-gebu. Dia
mengingatkan dirinya sendiri, bahwa istrinya itu sedang sakit jadi sangat tidak
pantas bila dia harus berpikiran kotor.
“Ya… disebalah itu Mas… Ya…lumayan Mas…” Tia berkata dengan
lirih. Keringat dingin masih bermunculan di keningnya, tapi setidaknya bibirnya
tidak sepucat pada saat awal dia menjemputnya.
“Sayang, bentar ya..Mas ambilin obat dulu. Sekalian Mas
tinggal ke warung dulu ya… Bentar aja..” Rizal beranjak dari kasur, mencium
kening istrinya itu sebelum pergi ke warung. Sesuai dengan janjinya, dia tidak
membutuhkan waktu lama untuk ke warung. Setelah memberi obat pereda sakit untuk
diminum istrinya, Rizal kembali menyibukkan dirinya di dapur. Entah apa yang
dilakukannya.
Sepuluh menit kemudian, Rizal kembali ke kamar sembari
membawa minuman ditangannya.
“Sayang, diminum dulu ya. Tadi nenek nyaranin Mas buat bikin
ini.” Sebenarnya Tia sudah tidak peduli dengan apa yang dibawa Rizal. Entah itu
racun atau obat, asalkan itu bisa membuatnya tidak merasakan sakit akan
diminumnya.
Dengan dibantu Rizal, Tia duduk di tepi ranjang dan
meminumnya. Ternyata suaminya itu sedang membuat jamu kunyit asam. Rasa hangat
mengaliri tubuhnya. Setelah hampir menghabiskan lebih dari separuh gelas, Tia
memutuskan untuk berbaring lagi.
Dengan telaten Rizal memegang botol air panas kembali,
menggulir-gulirkannya di perut istrinya. Lambat laun Tia mulai tertidur,
pertanda rasa sakit mulai berkurang dari tubuhnya.
Tengah malam Tia terbangun oleh hembusan napas hangat dan dengkuran
halus disampingnya. Dengan pelan-pelan dia membuka matanya, dan seperti
dugaannya, laki-laki itu tidur disampingnya. SUAMINYA!!
***
Dear READERS kesayangan
Tolong jempol, hati dan komennya ya…
Karena setiap jempol, hati dan komen yang readers berikan menambah
semangat Kami dalam menulis.
Terima Kasih sudah membaca karya saya ;-)