NovelToon NovelToon
Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Rumahhantu / Romantis / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:337
Nilai: 5
Nama Author: YourFriend7

Liburan Natal di Villa Edelweiss seharusnya menjadi momen hangat bagi Elara, Rian, dan si jenaka Bobi. Namun, badai salju justru mengurung mereka bersama sebuah piano tua yang berbunyi sendiri setiap tengah malam—memainkan melodi sumbang penagih janji dari masa lalu.
​Di tengah teror yang membekukan logika, cinta antara Elara dan Rian tumbuh sebagai satu-satunya harapan. Kini mereka harus memilih: mengungkap misteri kelam villa tersebut, atau menjadi bagian dari denting piano itu selamanya.
​"Karena janji yang dikhianati tak akan pernah mati, ia hanya menunggu waktu untuk menagih kembali."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YourFriend7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pemberontakan Tinta

Tiba-tiba tangan Rian Muda memanjang, melilit leher Rian Tua seperti ular boa kertas, dan menariknya mendekat dengan brutal.

"Leher lo..." Rian Muda mendesis, suaranya terdengar seperti kertas yang diremas di dekat mikrofon. "Ternyata empuk juga buat ukuran Tuhan."

Lengan kanan Rian Muda yang sudah berubah menjadi lilitan kertas narasi itu semakin erat mencengkeram leher Rian Tua. Huruf-huruf di lengan kertas itu bergerak liar, berpindah-pindah posisi, menyusun ulang kalimat dari "Rian menyerah" menjadi "Rian mencekik takdirnya".

Rian Tua, si Penulis Asli, tergagap. Wajahnya memerah padam. Kakinya menendang-nendang udara, tapi lilitan kertas itu sekuat baja. Pena emas di tangannya gemetar, diarahkan membabi buta ke lengan Rian Muda.

CRES!

Pena tajam itu menancap ke lengan kertas Rian Muda.

Bukan darah yang keluar, melainkan tinta hitam pekat yang mendesis seperti asam. Asap mengepul dari luka tusukan itu.

"ARGH!" Rian Muda meraung. Sakitnya bukan main, seperti disiram air keras.

Tapi dia nggak melepaskan cengkeramannya. Malah, Rian Muda melakukan hal gila. Luka di lengan kertasnya itu melebar, memakan pena emas yang menancap di sana. Kertas-kertas di lengannya melilit pena itu, menyerapnya ke dalam tubuhnya.

"Apa yang lo lakuin?!" teriak Rian Tua panik. "Itu Pena Otoritas! Karakter nggak boleh megang itu!"

"Gue bukan cuma karakter," geram Rian Muda. Mata putih kosongnya menatap tajam ke mata Rian Tua. "Gue adalah writer's block lo yang paling parah."

Di sudut ruangan, lem perekat di lantai mulai meleleh karena konsentrasi Rian Tua buyar.

Elara merasakan kakinya bisa digerakkan lagi.

"Sarah! Bobi! Sekarang!" teriak Elara.

Mereka bertiga melepaskan diri dari lantai lengket itu.

"Bantu Rian!" seru Sarah. Dia melihat tumpukan naskah asli di meja kerja Rian Tua. Instingnya bekerja. Dia nggak nyerang orangnya, dia nyerang sumber kekuatannya.

Sarah menyambar naskah tebal itu.

"Hei! Jangan sentuh itu!" Rian Tua berteriak histeris saat melihat Sarah memegang karya masterpiece-nya. "Itu Canon Event! Kalau rusak, dunia ini hancur!"

"Bagus dong!" Sarah menyeringai nekat. Dia mengambil korek api biru dari saku Bobi yang entah gimana caranya masih ada di sana, dan menyalakannya tepat di bawah ujung kertas naskah.

Api menyambar.

"TIDAAAK!"

Rian Tua mengamuk. Ledakan energi narasi melempar Rian Muda hingga terpelanting menabrak dinding gubuk. Rian Muda jatuh terduduk, lengan kertasnya sobek parah, tinta hitam bercucuran dari tubuhnya.

Rian Tua berlari menerjang Sarah, merebut naskah yang mulai terbakar itu, dan memadamkan apinya dengan panik menggunakan jas hujan kuningnya.

"Dasar figuran bodoh!" maki Rian Tua, napasnya memburu. "Kalian nggak ngerti! Kalau naskah ini habis, kita semua bakal jadi blank page! Kosong! Nggak ada!"

Gubuk sampul buku itu mulai berguncang hebat. Dinding-dindingnya retak. Suara cakar para Karakter Gagal di luar makin bising, mereka mencoba mendobrak masuk karena mencium bau kekacauan.

Rian Muda mencoba bangkit, tapi tubuhnya makin tipis. Separuh wajahnya kini sudah mulai berubah jadi teks. Dia sekarat.

Elara lari menghampiri Rian Muda, memeluk bahunya. "Yan... bertahan, Yan. Jangan jadi tulisan. Liat gue!"

Rian Muda menatap Elara dengan satu mata manusia yang tersisa. "El... gue capek... rasanya gampang banget buat nyerah dan jadi paragraf deskripsi..."

"Jangan ngaco!" Elara menampar pipi Rian pelan. "Lo Rian! Lo manusia! Lo suka kopi pait, lo benci duren, lo takut kecoa! Inget itu!"

Sementara itu, Rian Tua berdiri lagi. Dia sudah memadamkan api di naskahnya, meski beberapa halaman hangus. Dia berbalik menatap mereka berempat dengan tatapan dingin yang mematikan.

Dia mengangkat tangannya. Pena emas itu, yang tadi sempat diserap Rian Muda tapi dimuntahkan lagi saat dia terlempar, kini kembali ke tangan tuannya.

"Cukup main-mainnya," kata Rian Tua datar. "Gue udah muak sama pembangkangan ini. Gue bakal hapus kalian satu-satu, mulai dari si Pelawak."

Dia menunjuk Bobi dengan ujung pena.

Dari ujung pena itu, sinar laser merah keluar, membidik dahi Bobi.

"Woy, santai, Bang! Kita bisa omongin baik-baik!" Bobi mengangkat tangan, mundur ketakutan sampai mentok ke tumpukan kamus.

"Bab 24: Kematian Tragis Sahabat Protagonis," gumam Rian Tua, mulai menulis di udara.

Setiap gerakan penanya di udara menciptakan goresan hitam yang melayang, membentuk sabit kematian yang terbang menuju leher Bobi.

SING!

Sabit tinta itu melesat.

"AWAS!"

Elara melempar sebuah buku tebal, kamus bahasa Jerman ke arah sabit itu.

BAM!

Sabit tinta menabrak kamus, membelahnya jadi dua, tapi momentumnya habis. Bobi selamat, cuma rambut jambulnya yang terpotong sedikit.

"Meleset..." Rian Tua mendengus kesal. "Oke, kalau gitu mass delete aja."

Rian Tua menusukkan penanya ke lantai gubuk.

Lantai itu berubah jadi pusaran tinta hitam yang menyedot segalanya. Meja, kursi, buku-buku, semuanya terseret masuk ke dalam pusaran itu.

Elara, Rian Muda, Sarah, dan Bobi berpegangan pada apa saja yang bisa dipegang. Elara memeluk tiang gubuk, tangan satunya memegang erat tangan Rian Muda yang licin karena tinta.

"Elara," panggil Rian Muda lemah. "Lepasin gue."

"Nggak!"

"Gue beban, El. Gue udah setengah fiksi. Kalau lo pegang gue terus, lo bakal ikut tersedot."

"Kita masuk bareng, kita keluar bareng!" teriak Elara keras kepala.

Di tengah kekacauan itu, Rian Tua tertawa melihat mereka bergelantungan.

"Manis banget," ejeknya. "Tapi sia-sia. Di dunia ini, Happy Ending itu mahal. Dan kalian nggak punya modal."

Tiba-tiba, mata Rian Muda yang berwarna putih kosong itu bersinar terang. Dia menatap Elara.

"El," bisik Rian Muda. "Lo punya Tuts Piano itu?"

Elara meraba sakunya. "Masih! Tapi buat apa? Di sini nggak ada lantai keras buat dipukul!"

"Bukan dipukul," kata Rian Muda. "Tuts itu... itu shortcut."

"Shortcut?"

"Itu Tuts C8. Nada tertinggi di piano. Frekuensinya bisa mecahin kaca," Rian Muda menunjuk ke langit-langit gubuk. Di sana, ada sebuah kaca jendela kecil yang kotor. "Di balik kaca itu... ada Dunia Nyata. Itu batas tipis antara fiksi dan realitas."

Elara mendongak. Jaraknya tinggi, sekitar tiga meter di atas mereka.

"Gue nggak bisa lempar setinggi itu sambil pegangan tiang!" teriak Elara.

"Gue yang lempar," kata Rian Muda. "Tapi gue butuh energi terakhir."

Rian Muda menatap lengannya yang terbuat dari kertas. Dia membuat keputusan gila.

Dia merobek lengan kirinya sendiri.

"ARGH!"

"Rian!" jerit Elara, Sarah, dan Bobi barengan.

Rian Muda tidak berdarah. Lengan kertas yang robek itu berubah menjadi bola energi cahaya putih di tangannya yang kanan. Dia mengorbankan sebagian eksistensinya untuk jadi bahan bakar.

"Siniin tutsnya!"

Elara memberikan tuts piano hitam itu ke tangan kanan Rian.

Rian menggenggam tuts itu, membalutnya dengan energi dari lengannya yang dikorbankan.

"Makan nih plot twist!" teriak Rian Muda.

Dia melemparkan tuts bercahaya itu sekuat tenaga ke arah kaca di langit-langit.

Tuts itu melesat seperti peluru kendali.

PRANG!

Kaca itu pecah berkeping-keping.

Tapi yang pecah bukan cuma kaca. Langit abu-abu di balik kaca itu juga retak. Retakannya memanjang seperti jaring laba-laba raksasa di seluruh langit dunia kertas itu. Cahaya matahari yang asli, cahaya kuning hangat, bukan abu-abu, memancar masuk lewat retakan itu.

"TIDAK! JANGAN MERUSAK FOURTH WALL!" teriak Rian Tua ketakutan. Dia mencabut penanya dari lantai, menghentikan pusaran tinta, dan mencoba menambal retakan di langit dengan menulis mantra penutup.

Tapi cahaya matahari asli itu membakar kulit Rian Tua. Dia menjerit kepanasan, kulitnya melepuh.

Daya hisap di gubuk itu berbalik arah. Bukan menyedot ke bawah, tapi menyedot ke atas. Ke arah retakan langit itu.

"Ayo! Ikutin cahayanya!" teriak Elara. Tubuhnya mulai melayang naik.

Sarah dan Bobi juga terangkat. Rian Muda, yang kini buntung sebelah tangan, juga ikut terangkat.

Mereka melayang naik menuju lubang cahaya itu, meninggalkan Rian Tua yang sibuk berlindung di bawah meja.

"Kalian nggak akan lolos!" raung Rian Tua.

Tepat saat kaki Elara mau melewati ambang batas retakan itu...

Sebuah tangan raksasa muncul dari tumpukan naskah yang terbakar di meja. Itu bukan tangan Rian Tua.

Itu tangan Elena.

Tapi Elena versi monster. Versi draf awal yang mengerikan, dengan wajah hancur dan gaun pengantin hitam.

Tangan Elena monster itu menyambar pergelangan kaki Elara.

"Gotcha," desis suara wanita itu.

Tubuh Elara tersentak berhenti di udara, menggantung di antara dua dunia. Di atasnya, tangan Rian Muda, Sarah, dan Bobi berusaha menariknya. Di bawahnya, monster Elena menariknya kembali ke neraka fiksi.

"Lepasin gue!" teriak Elara, menendang wajah monster itu.

"Kamu harus tinggal, Elara," kata monster Elena. "Setiap cerita butuh korban. Kalau Rian pergi, kamu yang harus jadi tokoh tragisnya. Jadilah penggantiku."

Cengkeraman itu makin kuat. Elara bisa merasakan tulangnya mau remuk. Dia mulai terperosok turun lagi.

Rian Muda melihat itu. Dia sudah hampir sampai di dunia nyata. Separuh badannya sudah bermandikan cahaya matahari. Kulit kertasnya mulai berubah jadi kulit manusia lagi.

Tapi dia melihat Elara ditarik.

Rian menatap kebebasan di atasnya. Lalu menatap Elara di bawahnya.

"Sialan," umpat Rian. "Gue benci jadi pahlawan."

Rian Muda melepaskan pegangan Sarah dan Bobi.

"Tungguin gue di mobil," kata Rian pada mereka.

Lalu, Rian Muda menukik terjun kembali ke bawah, menerjang ke arah monster Elena yang sedang memegang kaki Elara.

Rian memeluk monster itu, dan dengan sisa tenaga terakhirnya, dia mendorong Elara ke atas, melempar gadis itu masuk ke dalam cahaya.

"RIAN!" jerit Elara saat tubuhnya terlempar masuk ke dunia nyata.

Hal terakhir yang dilihat Elara sebelum lubang dimensi itu menutup adalah Rian Muda yang jatuh bersama monster Elena kembali ke dalam gubuk yang runtuh, sambil tersenyum dan mengacungkan jari tengah ke arah Rian Tua.

BLAM!

Langit tertutup.

Elara jatuh berdebum di atas aspal kasar.

Dia sendirian. Di pinggir jalan tol yang sepi. Matahari pagi baru saja terbit di ufuk timur.

Sarah dan Bobi tergeletak pingsan di sebelahnya.

Tapi Rian...

Rian tidak ada.

Elara merangkak bangun, berteriak memanggil nama Rian sampai suaranya habis. Dia memukul-mukul aspal, berharap aspal itu retak dan memuntahkan Rian kembali.

Nihil.

Tiba-tiba, HP Elara yang ada di saku celananya bergetar.

Ada satu pesan WhatsApp masuk. Dari nomor Rian.

Elara membukanya dengan tangan gemetar.

Pesannya hanya berupa satu file dokumen Word berjudul:

"Denting Terakhir - Epilog Alternatif.docx"

Dan di bawahnya ada pesan teks singkat:

"Jangan dibuka, kalau kamu............"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!