"Apa gunanya uang 100 Miliar jika tidak bisa membeli kebahagiaan? Oh, tunggu... ternyata bisa."
Rian hanyalah pemuda yatim piatu yang kenyang makan nasi garam kehidupan. Dihina, dipecat, dan ditipu sudah jadi makanan sehari-hari. Hingga suatu malam, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
[Sistem Kapitalis Bahagia Diaktifkan]
[Saldo Awal: Rp 100.000.000.000]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sukma Firmansyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25: Api, Air Mata, dan Pasukan Hitam
(POV Drs. Burhan - 15 Menit Setelah Viral)
Di dalam Mobil Dinas Innova.
Melaju kencang tak tentu arah.
Tangan Burhan gemetar hebat saat memegang setir. Keringat dingin membasahi seragam cokelatnya yang kini terasa mencekik leher. Stiker merah bertuliskan "DISEGEL" yang ditempel Rian tadi sudah ia sobek kasar dan ia buang ke jalanan, tapi rasanya tulisan itu sudah tercetak permanen di jidatnya.
Drrrt... Drrrt...
HP dinas di jok samping bergetar. Layarnya menyala menampilkan nama kontak: "PAK WALIKOTA".
Burhan menelan ludah. Ia tidak berani mengangkatnya.
Drrrt... Drrrt...
Panggilan mati. Berganti pesan WhatsApp masuk.
[PAK WALIKOTA]:
"Burhan, kau bodoh! Namamu trending nomor 1 nasional! KPK barusan telepon saya minta data LHKPN kamu. Mulai jam ini, kau saya non-aktifkan. Jangan ke kantor. Urus masalahmu sendiri. Jangan bawa-bawa nama Pemkot!"
"Bangsat!" teriak Burhan memukul setir. "Habis manis sepah dibuang! Giliran setoran lancar saya disayang, giliran viral saya dibuang!"
Belum sempat ia bernapas, HP pribadinya berbunyi. Kali ini dari "Yanti Istri Muda".
Burhan mengangkatnya dengan harapan mendapat sedikit penghiburan. "Halo, Dek? Mas lagi pusing..."
"Mas! Ini kenapa rekening BCA aku diblokir?! Aku lagi di kasir Gucci nih, malu Mas! Kartunya ditolak semua! Kamu korupsi ya Mas? Kamu nipu aku?!"
"Dek, dengerin Mas du—"
"Ah bodo amat! Kalau kamu miskin dan dipenjara, kita cerai! Jangan cari aku lagi!"
Tuuut. Sambungan terputus.
Burhan menepikan mobilnya di pinggir jalan tol. Ia memukul dashboard sekuat tenaga hingga tangannya sakit.
Ia ingat wajah Rian. Pemuda yang tersenyum santai sambil memegang kamera itu.
Burhan pikir dia sedang menginjak semut, ternyata dia menginjak ranjau darat.
Di tengah tangisannya, sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal (Indra - Rasa Nusantara).
[Unknown]:
"Pak Burhan, Tuan Bramantyo kecewa. Kesepakatan kita batal. Jangan coba-coba sebut nama kami kalau Bapak diperiksa polisi. Ingat, anak Bapak sekolah di mana."
Burhan menjatuhkan HP-nya. Hancur. Semuanya hancur dalam satu pagi.
(POV Bramantyo - Sang Naga)
Ruang Kerja Pribadi, Menteng.
Pukul 10.00 WIB.
Bramantyo mematikan TV yang masih menayangkan berita tentang "Pejabat Dinas Pamer Kemewahan Dibongkar Pemilik Warung".
Wajahnya datar. Tidak ada amarah, tidak ada kepanikan. Baginya, Burhan hanyalah tisu toilet. Kalau kotor, buang. Ambil yang baru.
Ia mengambil telepon satelit berwarna hitam dari laci meja kerjanya. Telepon ini tidak bisa dilacak, jalurnya dienkripsi militer.
"Halo," sapa Bramantyo pelan.
"Masuk, Tuan. Unit Hitam standby," suara di seberang sana terdengar seperti gesekan logam. Dingin dan tanpa emosi.
"Target: Pabrik Gunawan Mesindo, Pulo Gadung. Gudang B," perintah Bramantyo sambil memutar gelas wine di tangannya.
"Instruksi?"
"Bakar. Pastikan mesin rotary baru itu meleleh jadi besi rongsokan. Buat seolah-olah korsleting listrik dari panel utama. Jangan ada saksi mata."
"Bagaimana dengan penjaga?"
"Lumpuhkan. Kalau melawan... kamu tahu prosedurnya. Yang penting apinya harus besar."
"Dimengerti. Eksekusi dalam 60 menit."
Telepon ditutup.
Bramantyo menyesap wine-nya.
Ia menatap lukisan abstrak di dinding—gambar sebuah hutan yang terbakar.
"Rian... Rian... Kamu pikir kamu menang karena berhasil memviralkan satu pejabat korup?" gumam Bramantyo.
"Di dunia maya, kamu mungkin rajanya. Tapi di dunia nyata, aset fisik itu rapuh. Api tidak peduli berapa banyak followers yang kamu punya. Api akan tetap membakar."
(POV Rian)
Jalan Tol Dalam Kota.
Pukul 10.45 WIB.
Mobil Alphard itu melaju dengan kecepatan 140 km/jam, meliuk-liuk di antara truk kontainer. Pak Teguh menyetir dengan fokus tingkat dewa, wajahnya tegang tapi kendali tangannya stabil.
Di kursi belakang, Rian, Maya, dan Kenzo berpegangan pada handgrip. Di belakang mereka, Trio Marinir (Eko, Dwi, Tri) duduk berdesakan sambil mengecek peralatan mereka: tongkat pemukul taktis (baton stick) dan taser gun.
"Sistem, sisa waktu?" tanya Rian dalam hati.
[Estimasi Serangan: 15 Menit Lagi.]
[Estimasi Tiba: 12 Menit.]
"Tiga menit," gumam Rian. "Kita cuma punya selisih tiga menit sebelum mereka mulai bakar pabrik."
Kenzo yang memangku laptop berteriak, "Bos! Gue berhasil retas CCTV pabrik Pak Gunawan. Ada pergerakan!"
Kenzo memutar layar laptop ke arah Rian.
Di layar yang bersemut itu, terlihat sebuah mobil box jasa pengiriman paket berhenti di depan gerbang pabrik yang tertutup.
"Itu penyamaran," kata Eko (salah satu Marinir) tajam. "Liat cara berdirinya. Kurir paket nggak berdiri tegap istirahat parade gitu."
Benar saja. Dari belakang mobil box, turun empat orang berpakaian serba hitam, memakai masker wajah (balaclava). Mereka tidak membawa paket, tapi membawa jerigen besar.
"Bensin," desis Rian. "Pak Teguh, lebih cepat!"
"Siap, Bos! Pegangan!"
Pak Teguh menginjak gas dalam-dalam. Mesin Alphard meraung.
Pabrik Gunawan Mesindo.
Pukul 10.58 WIB.
Pak Gunawan sedang mengecek mesin vakum kesayangannya ketika ia mendengar suara gaduh di depan.
"Pak Satpam? Ada apa?" teriak Pak Gunawan.
Tidak ada jawaban.
Pak Gunawan mengintip lewat jendela kantor. Ia melihat pos satpam kosong. Satpam tuanya sudah tergeletak pingsan di aspal.
Empat orang berpakaian hitam sedang menyiramkan cairan dari jerigen ke pintu gudang utama—tempat mesin berada.
"JANGAN!" Pak Gunawan nekat berlari keluar membawa kunci inggris. "JANGAN BAKAR PABRIK SAYA!"
Salah satu anggota Unit Hitam menoleh. Dengan gerakan santai, ia menendang perut Pak Gunawan.
BUGH!
Pak Gunawan terpental, napasnya sesak. Kunci inggris terlepas.
Pria bermasker itu mendekat, mengeluarkan pemantik api (Zippo).
"Maaf, Pak Tua. Ini cuma bisnis," katanya dingin.
Ia menyalakan pemantik itu. Api kecil menari-nari, siap dilempar ke genangan bensin.
SCREEEEEECH!!!
Suara ban berdecit memekakkan telinga.
Sebuah Alphard hitam menabrak gerbang pabrik hingga penyok, lalu meluncur masuk dan melakukan drift kencang.
Bumper belakang mobil itu menghantam pria pemegang pemantik tepat sebelum ia melempar apinya.
BRAKK!
Pria itu terpental jauh, pemantiknya jatuh ke tanah basah dan mati.
Pintu geser Alphard terbuka.
"SERBU!" teriak Rian.
Trio Marinir (Eko, Dwi, Tri) melompat keluar seperti harimau lepas kandang. Mereka tidak membawa senjata tajam, tapi aura pembunuh mereka jauh lebih pekat daripada preman pasar manapun.
"Unit Hitam, huh?" Pak Teguh keluar dari kursi sopir sambil meregangkan leher. "Mari kita lihat apa warna darah kalian."
Pertempuran pecah.
4 Anggota Unit Hitam vs 4 Penjaga Setia Rian (Teguh + Trio Marinir).
Unit Hitam adalah profesional bayaran. Mereka mengeluarkan pisau lipat taktis (karambit). Gerakan mereka cepat, mengincar urat nadi.
Tapi Tim Rian adalah mantan prajurit yang terlatih untuk perang, bukan pembunuhan diam-diam.
Tri menangkis serangan pisau dengan tongkat baton-nya. TANG! Lalu ia membalas dengan hantaman ke lutut lawan. KREK!
Eko dan Dwi bekerja sama mengeroyok satu orang besar. Dwi mengunci leher, Eko menghajar ulu hati.
Pak Teguh menghadapi pemimpin Unit Hitam.
Mereka berdua saling tatap sejenak.
"Mantan militer?" tanya si Pemimpin Unit Hitam di balik maskernya.
"Purnawirawan," jawab Pak Teguh singkat.
Si Pemimpin menyerang dengan pisau ganda. Cepat sekali. Pak Teguh mundur selangkah, jas safarinya tergores. Darah menetes sedikit di lengannya.
"Pak Teguh!" teriak Rian yang sedang membantu memapah Pak Gunawan menjauh dari area bensin.
Pak Teguh tersenyum miring. "Cuma goresan, Bos."
Detik berikutnya, Pak Teguh tidak mundur lagi. Ia menerjang maju, menahan pergelangan tangan lawan, memutarnya dengan teknik Aikido, lalu membanting tubuh lawan ke atas kap mesin Alphard yang penyok.
BUMMM!
Kap mesin penyok ke dalam. Si Pemimpin Unit Hitam mengerang, pisaunya terlepas. Pak Teguh menempelkan Taser Gun ke leher pria itu.
BZZZTTTT!
Tubuh si pemimpin kejang-kejang, lalu pingsan.
Dalam waktu kurang dari lima menit, keempat anggota Unit Hitam sudah lumpuh. Terkapar di tanah, mengerang kesakitan.
Rian berdiri di tengah kekacauan itu. Napasnya tersengal. Bau bensin menyengat di mana-mana. Jika tadi mereka terlambat satu menit saja... semuanya akan jadi abu.
Rian berjalan mendekati Pemimpin Unit Hitam yang pingsan. Ia merogoh saku pria itu, mengambil HP-nya yang retak tapi masih menyala.
Di layar, ada pesan terakhir yang belum terkirim:
"Target terkunci. Memulai pembakaran."
Rian menatap pesan itu, lalu menatap langit Jakarta yang mendung.
"Bramantyo..." desis Rian.
Rian menekan tombol voice note di HP musuhnya itu, lalu bicara dengan nada rendah dan berbahaya.
"Paket Anda gagal sampai tujuan, Tuan Bramantyo. Kurirnya saya tahan. Dan mulai hari ini, jangan harap Bapak bisa tidur nyenyak. Karena saya akan datang."
Rian mengirim pesan suara itu.
[TING!]
[Misi Darurat Selesai: Firefighter Tycoon]
[Aset Utama Terselamatkan: 100%]
[Musuh Dilumpuhkan: Unit Hitam (Elite)]
[REWARD SPESIAL DITERIMA:]
Poin Dominasi: +2.000
Item Black Market: "Cetak Biru Drone Pertahanan (Sentry Mode)"
Akses Fitur Baru: INVESTASI SAHAM (Stock Market Manipulation)
Mata Rian berbinar melihat reward ketiga.
Stock Market Manipulation?
Rian menyeringai.
Bramantyo ingin membakar aset fisiknya?
Baiklah. Rian akan membakar aset keuangan Bramantyo.
"Kenzo," panggil Rian.
"Yoi, Bos?" Kenzo muncul dari dalam mobil, aman tanpa lecet.
"Siapkan laptop lo. Kita main saham. Gue mau liat seberapa kuat harga saham Rasa Nusantara kalau besok pabrik mereka yang kena masalah."