Penasaran dengan ceritanya yuk langsung aja kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26: Warisan di Balik Kaca
Putih. Semuanya terasa terlalu putih dan terlalu diam di ruangan ICU ini. Aris membenci bagaimana kedinginan rumah sakit mencoba membekukan semangatnya. Di dadanya, berbagai sensor menempel, mengirimkan grafik detak jantung ke layar monitor yang berkedip-kedip. Namun, di tangan kanannya, Aris menggenggam sebuah ponsel pintar yang menampilkan siaran langsung dari drone milik salah satu pemuda bantaran.
Tahun 2025 telah mengubah cara orang-orang kecil melawan raksasa. Di layar itu, Aris melihat Rumah Senja dari ketinggian. Atap bambunya yang melengkung tampak seperti perahu raksasa yang sedang berlabuh di tepi sungai.
"Lihat, Pak," bisik Maya yang duduk di samping tempat tidurnya. "Warga tidak menunggu Bapak untuk bergerak. Mereka sudah mulai mengelola perpustakaan di lantai dua. Anak-anak Jaka adalah pengunjung pertamanya."
Aris tersenyum di balik masker oksigennya. "Arsitektur yang berhasil... adalah arsitektur yang tidak lagi membutuhkan arsiteknya," suaranya lirih, nyaris teredam oleh bunyi mesin jantung.
Di lokasi proyek, suasana transisi sedang terjadi. Rumah Senja bukan lagi sebuah situs konstruksi; ia telah menjadi organisme sosial. Para ibu di bantaran sungai telah mengatur jadwal dapur umum, sementara Hendra memimpin tim pemeliharaan bangunan. Mereka menggunakan aplikasi pesan singkat untuk melaporkan setiap detail, dari kebocoran pipa kecil hingga stok beras di gudang sosial.
Namun, di luar sana, Sterling Global belum benar-benar menyerah. Robert Sterling, yang kini sedang diperiksa oleh komisi etik karena skandal sabotase, mencoba melakukan langkah hukum terakhir. Ia menggugat status hak milik tanah tersebut ke pengadilan tinggi, mengklaim adanya kesalahan prosedur dalam pengalihan aset dari Mahakarya.
"Yudha sedang berada di pengadilan sekarang, Pak," Maya mencoba menenangkan Aris yang tampak gelisah melihat pergerakan mobil-mobil hitam di sekitar Sektor 12-B melalui layar ponselnya. "Dia membawa bukti baru. Rekaman pembicaraan antara Baskoro dan Sterling tentang konspirasi penguasaan lahan."
Tiba-tiba, monitor jantung Aris berbunyi lebih cepat. Ia melihat di layar ponselnya, sekelompok pria berseragam hitam mencoba memasuki area Rumah Senja dengan dalih "surat sita jaminan".
"Mereka... mereka tidak boleh masuk..." Aris mencoba bangkit, namun tubuhnya terlalu lemah.
Di layar, pemandangan luar biasa terjadi. Warga tidak melawan dengan kekerasan. Mereka semua, dari anak-anak hingga lansia, keluar dari bangunan dan duduk melingkar di halaman depan. Mereka membawa ponsel masing-masing, melakukan siaran langsung dari puluhan sudut berbeda. Jutaan penonton di internet menyaksikan secara real-time upaya penggusuran paksa tersebut.
Kekuatan digital di tahun 2025 menjadi benteng yang lebih kuat dari tembok beton mana pun. Para pria berseragam itu terhenti. Mereka tahu, satu langkah salah akan membuat mereka menjadi musuh publik nomor satu di seluruh negeri. Di bawah tekanan ribuan pasang mata virtual, mereka terpaksa mundur.
Aris mengembuskan napas lega. Dadanya terasa sedikit lebih ringan. Ia menyadari bahwa ia telah berhasil membangun sesuatu yang lebih penting daripada sekadar struktur fisik: ia telah membangun kesadaran kolektif.
"Maya," panggil Aris, suaranya kini terdengar lebih tenang. "Ambilkan buku sketsaku. Aku ingin menuliskan sesuatu untuk mereka... untuk jaga-jaga jika aku tidak bisa bicara lagi esok hari."
Dengan tangan yang gemetar hebat, Aris menuliskan pesan di halaman terakhir: "Rumah ini bukan dindingnya, bukan atapnya. Rumah ini adalah keberanian kalian untuk tetap berdiri saat dunia meminta kalian tunduk. Jaga apinya, jangan biarkan padam."
Malam itu, Jakarta diguyur hujan ringan. Aris menatap ke luar jendela rumah sakit, melihat kerlap-kerlip lampu kota. Ia tahu, di salah satu sudut gelap kota itu, ada sebuah bangunan bambu yang bersinar terang, bukan karena lampu-lampunya, tapi karena harapan yang ia nyalakan di sana. Aris menutup matanya, membiarkan dirinya beristirahat, sementara di Sektor 12-B, warga mulai menyanyikan lagu-lagu perjuangan, sebuah simfoni yang menggema hingga ke dalam mimpinya.